By dsi - Fiction
Ruang Pertemuan
Jumat pagi,
matahari belum sepenuhnya naik dan aku sudah berdiri dengan manis di luar pagar
kosan, menanti taksi pesanan yang akan membawaku ke bandara. Kulirik jam tangan
dipergelangan tangan kiriku, masih sepuluh menit lagi dari waktu janjian pukul
setengah tujuh.
Aku memasuki
pintu pemeriksaan dengan santai. Pertama jam keberangkatanku masih lumayan
lama, kedua barang bawaanku sangatlah tidak banyak, hanya sebuah ransel dan tas
berisi kamera, ketiga aku memang sedang tidak ada agenda khusus dengan
keberangkatanku ini selain hanya sosialisasi biasa dari kantor pusat di Jakarta
dan itupun untuk besok.
Sebenarnya aku
memilih jadwal penerbangan siang, namun seorang rekan kantor yang biasa
mengurusi jadwal keberangkatan karyawan memberi info bahwa untuk penerbangan
dengan maskapai kelas wahid di Indonesia dari jadwal pukul sembilan sampai enam
sore menuju Jakarta dari Palembang yang tersisa hanyalah untuk kelas bisnis.
Dan yeah, kalau sudah begitu mau apa dikata selain memilih jadwal penerbangan
yang tersisa.
Setelah check in aku memilih langsung masuk
ruang tunggu, sebuah gerai kopi internasional menarik perhatianku. Tanpa pikir
panjang aku memasuki counter dan
memesan kopi racikan yang selalu sama yang biasa aku minum jika sedang ngopi di
kedai kopi ini. Setelah menerima minuman sesuai pesanan aku melenggang keluar,
mengedarkan pandangan di sekitar ruang tunggu yang masih sepi sambil memutuskan
dimana hendak duduk.
Aku baru
mendekati sebuah tempat duduk di dekat saluran tv yang masih kosong di salah
satu ujungnya ketika mataku menatap sesosok siluet yang tidak asing bagiku.
Sosok itu sedang asyik memainkan tablet di salah satu sudut kursi yang hendak
aku duduki.
“Pak Panji!”
seruku pelan. Agak takut juga jika ternyata salah orang.
Orang yang
kupanggil itu menoleh, menatapku sebentar sebelum kemudian menyunggingkan
senyum ramah yang selalu kulihat jika aku sedang berkonsultasi dengannya, namun
kali ini dengan mimik agak terkejut. Akh jangankan kamu aku pun terkejut bisa
bertemu di ruang tunggu bandara ini.
“Loh mbak Ara.”
Lelaki itu bangkit dan mengulurkan tangan dengan sopan.
“Apa kabar pak?”
sapaku sambil menjabat tangannya. “Liburan akhir pekan atau tugas kantor?”
tebakku mencairkan suasana. Alih-alih duduk diujung kursi yang tadi hendak
kududuki, akhirnya aku duduk didekatnya berjarak satu kursi dari dirinya.
“Ada rapat kecil
siang ini di Jakarta mewakili pimpinan langsung yang berhalangan datang, tapi
yah sekalian pulang ke rumah juga,” jawabnya disertai tawa kecil. Mau tak mau
aku ikut tertawa. “Mbak sendiri??”
Aku tersenyum
sebelum menjawab pertanyaannya. Sudah pernah kukatakan untuk cukup memanggilku
dengan nama, tapi yah karena lelaki ini selalu kembali memanggilku dengan
embel-embel ‘mbak’ jadi aku tidak akan pernah meralatnya lagi. Toh aku juga
tidak bisa tidak memanggilnya dengan sebutan bapak. Jadi impaslah. “Ada
sosialisasi pak, tapi itu besok,” jawabku.
Oh ya sedikit info tentang lelaki ini, kenapa aku
bisa mengenalnya. Dia adalah Panji Senna Wiguna, AR dari direktorat pajak untuk
kantorku. Sebagai orang yang berurusan di bagian keuangan, maka aku senantiasa
berkonsultasi dengan AR ku ini untuk masalah pajak yang terjadi di kantor.
Itulah kenapa aku bisa mengenalnya, semua pertemuan kami sebelum ini adalah
masalah profesional. Ini kali pertama aku melihatnya sebagai seorang pribadi,
diluar seragam dan name tag sebuah
kantor pajak. Ternyata sebagai pribadi lelaki ini cukup ramah dan hangat.
Jika ada yang bertanya apa yang aku kagumi dari
lelaki ini, dengan lantang aku menjawab jari-jemarinya. Aku baru memperhatikan
jemarinya pada pertemuan kami yang kesekian. Itupun tanpa sengaja saat aku
datang untuk berkonsultasi, karena hari itu aku datang sendirian tanpa sadar
aku jadi memperhatikan jemarinya yang tengah memegang dokumen kantorku. Ternyata
jari-jemarinya panjang, langsing, dan lurus. Kukunya pun bagus, membuatku
langsung berpikir untuk mengambil kutex milikku dan memakaikannya pada lelaki
ini. Jika jari jemari itu dipotret aku yakin tak akan ada yang tahu bahwa itu
jari jemari seorang pria karena begitu cantiknya.
Dan saat ini pun, saat pagi ini kami bertemu tanpa
sengaja dan terlibat obrolan, sesekali aku mencuri pandang pada jari jemari
langsing yang tengah menari-nari diatas layar tablet miliknya. Untuk yang
kesekian kalinya tanpa sadar aku jadi membandingkannya dengan jari jemariku
yang kecil-kecil.
Beberapa menit yang lalu panggilan untuk boarding pada jadwal penerbanganku berkumandang
diseantro bandara. Kami jalan berbarengan menuju pesawat. Begitu memasuki
pesawat dan lelaki ini menemukan nomor tempat duduknya, lelaki ini tersenyum
ramah seraya berkata ini nomor kursinya. Aku membalasnya dengan anggukan ramah
dan senyuman.
Selama lima puluh menit penerbangan, sesekali aku
melihat kearahnya. Dari deretan bangku dibelakang aku bisa melihat siluet
kepalanya dan tanpa sadar menahan senyum dibibirku.
“Sampai ketemu lagi mbak Ara,” pamitnya saat kami
sudah sampai diterminal kedatangan dan hendak berpisah di pintu keluar.
“Sampai ketemu lagi pak,” aku membalas ucapannya
sambil melambaikan tangan dan kami berpisah di jalan yang berbeda. Panji
langsung berbelok ke kiri ke tempat dimana kendaraan angkutan masal berhenti,
sedangkan aku memiliki agenda rutin untuk mengunjungi sebuah tempat setiap aku
tiba di bandara Soekarno Hatta ini. Mengunjungi sebuah restoran fast food dengan makanan jepangnya yang
tak ada di Palembang. Aku suka duduk di sana, sekadar untuk sarapan sambil
memandangi hiruk pikuk bandara sebelum melanjutkan perjalananku menuju hotel.
Setelah sepuluh langkah lebih berjalan, aku
memberanikan diri untuk menoleh, aku berdiri diam sejenak sambil memandangi
siluet tinggi itu sebelum akhirnya menghilang dibalik rimbunnya semak yang
terpangkas rapi. Aku tersenyum. Ah, andai kita tidak berbeda dengan perbedaan
yang sebegitu dalamnya, mungkin dengan lebih terang-terangan aku akan lebih
berani untuk bisa lebih dekat denganmu, karena aku tahu bahwa kamu adalah
lelaki yang baik.
Tapi dengan perbedaan yang sebegitu dalamnya, aku
lebih memilih membiarkan hatiku untuk tidak terlibat terlalu jauh.
Di ruang tunggu bandara, sebuah ruang pertemuan
bagi siapapun untuk bersua, aku juga menemukan bahwa mungkin saja keakraban
kita bertemu, tapi tidak dengan keimanan kita. Karena bagaimana pun itu adalah
sesuatu yang hakiki yang tidak boleh dicampuri ataupun dipengaruhi oleh apapun
atau siapapun.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar