Sabtu, 25 Februari 2012

Sebuah Rasa Yg Tertinggal

Sebuah Rasa Yang Tertinggal

“ Ra, ku kenalin ya sama temanku?” Icha tersenyum ceria penuh arti, bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Lagi-lagi aku tertawa lalu menggeleng dan bilang “ Nanti ya Cha, aku masih belum siap” dengan tampang nyengir. Icha cemberut, bibirnya manyun,” Kenapa sih Ra?” tanyanya jengkel, menarik kursi didepanku dan duduk dengan dagu menempel di meja ku, menatapku dengan penasaran dan jengkel.
Aku menahan senyum melihatnya. “ Gak ada, belum siap aja,” jawabku seperti biasa.
“ Kalo gitu ya gak ada masalah kan?” Kan gak harus jadian, yang penting sudah ketemu. Itung-itung nambah temen,” cerocosnya bersemangat.
“ Iya. Tapi gak perlu pake kenal-kenalan kan? Nanti juga kenal sendiri,” elakku.
“ Huuuuh,” Icha nyembur lalu bangkit, beranjak keluar kelas yang sudah kosong melompong ditinggal kabur penghuninya ke kantin atau kemana. “ Eh,” serunya sambil balik badan. “ Tapi kamu jadi kan nemenin aku sore ini?”
“ Sip,” aku tersenyum sambil mengacungkan ibu jari.
Aku menoleh kearah kanan, melepaskan pandangan dari novel yang sedang ku baca, memandangi langit siang hari yang biru bersih lewat jendela kaca kelas yang besar sambil bertumpu pada tangan kiriku. “ Maaf ya Cha,” aku mulai bergumam seperti kebiasaanku.  “ Aku bukannya gak mau, aku mau dan penasaran, tapi jujur aku gak pede. Aku takut Cha,” gumamku sambil menghembuskan nafas dan menelungkupkan wajah.
Sekarang lagi masanya classmeeting sampai satu minggu kedepan, semua anak gak ada yang betah duduk dalam kelas pada kabur kemana-mana, kantin, nonton pertandingan yang diselenggarakan osis, ngetem di perpustakaan, ngegosip iseng di ruang kesenian, atau malah ada yang rajin pake berkebun segala. Berhubung aku lagi diserang rasa malas, jadi aku memilih betah di kelas dengan novel-novel yang baru kemarin sore aku pinjam dari taman bacaan kota.
Aku menguap pelan mungkin karena semalam balas dendam sehabis ujian semester dengan ngedem di depan komputer sekarang yang notabene baru jam sebelas siang mataku sudah berat. Sambil berandai-andai dengan tawaran Icha, tanpa sadar aku tertidur di meja dengan posisi menelungkup. Semenit, dua menit, Aku masih merem melek dibuai angin dari jendela kelas yang sengaja aku buka lebar-lebar, entah menit ke berapa aku tertidur dengan pulas.
*
Aku berjalan dengan santai sambil memainkan bola basket ditangan sepanjang lorong kelas tiga, di-dribel, dilempar ke udara atau hanya diputar-putar di tangan. Pertandingan kelas tiga IPA 1 baru dimulai sehabis zhuhur nanti, jadi daripada berpanas-panas ria di lapangan aku memilih ngadem di kelas.
“ Tap,” aku refleks menangkap bola yang semula hendak ku lempar ke lantai namun urung saat mataku menangkap seseorang tengah tertidur dengan nyamannya di meja. Spontan aku menyunggingkan senyum separo saat menyadari siapa yang tengah tidur. Ingatanku melayang pada dumelannya Icha dan anak-anak di lapangan basket tadi yang terdengar jelas ditelingaku. Lagi-lagi nih anak gak mau diajakkin kenalan sama cowok. Tanpa sadar aku tertawa tanpa suara.  Dan entah kenapa aku jadi berjingkat-jingkat saat hendak duduk dibangku milikku sendiri, aku melepas sepatu sambil berkipas dengan buku yang kebetulan ada di atas meja, dan memasang earphone mp3 player. Sambil memejamkan mata, aku bersenandung kecil mengikuti irama lagu. Sesekali aku melirik pada teman disebelahku, Dira tampak bergerak, mungkin karena mendengar suaraku, namun gadis itu tetap terlihat nyenyak. Dengan kesadaran penuh akhirnya aku hanya bernyanyi dengan gumaman.
Aku kembali membuka mata dan melirik sekilas ke samping. Kini mataku benar-benar tertuju pada Dira yang tengah tertidur di meja yang letaknya hanya dipisah satu meja dari tempatku duduk. Tanpa sadar aku mengamatinya yang kini tidur dengan posisi kepala menghadap kearahku.
Mereka akrab tapi tidak dekat, sering ngobrol bareng, teman satu sekolah, satu angkatan, dan Ega baru menyadari bahwa ternyata mereka selalu satu kelas dari kelas satu SMA.
Bibirnya sedikit tertarik saat menyadari itu. Yang dia dan semua anak lain tahu, Dira belum pernah pacaran, begitulah yang diingatnya, padahal cewek ini termasuk dekat dengan anak-anak cowok, baik yang sekelas maupun yang berbeda kelas. Apalagi anak ini termasuk golongan yang rajin mencatat pelajaran jadi sudah pasti selalu kena uber-uber anak yang lain.
Ega semakin tertarik mengamati, apalagi setelah ingat kalau Dira terkenal anti dikenal-kenalin sama yang namanya cowok.
Apa memang nih anak gak tertarik pacaran? Batinya menyelidik. Dira memang tidak terlalu cantik, tapi menurutnya nih anak juga gak jelek-jelek amat, gak mungkin gak ada cowok yang tertarik padanya, pasti pernah ada yang tertarik dengannya.
Kalau boleh dibilang dia juga sebenarnya tertarik, tapi mungkin gak sejauh yang namanya cinta, secara ya dia juga suka yang lebih bening dan sedikit agak gimana-gimana gitu, yah standar selera cowok SMA.
Mungkin yang membuatnya tertarik pada gadis itu, karena Dira selalu enerjik, bersemangat, rame, selalu bisa tertawa lepas, tapi kalau dibecandain sama anak-anak bisa malu-malu juga atau malah ikut menimpali balik, kalau pas ketiban sial dapat hukuman dari guru dengan pedenya dia maju. Tapi mungkin yang membuat Ega lebih angkat jari saat dia tahu bahwa Dira sudah punya mimpi yang dibangunnya sejak lama, yang membuat dirinya sendiri terhenyak dan menyadari bahwa dia sendiri tak punya mimpi apa-apa selepas SMA yang hanya tinggal menghitung bulan ini. Dan dirinya tak tahu mau kemana.
Dia sendiri baru tahu impian Dira saat tanpa sengaja mendengar pembicaraan Dira dan Pak Son di ruang BP. Saat semua anak bingung mau memilih kuliah dimana, Dira dengan mantapnya menyebutkan nama universitas yang diinginkannya berikut alasan tentang mimpi-mimpinya dan jurusan yang hendak dipilihnya.
Dan sekarang setelah mengamati gadis ini dan sekian kali mendengar Icha dan anak-anak yang lain ngedumel soal Dira yang paling susah diajak pergi kalau gak ada tujuan, Ega jadi tergelitik pengen tahu kenapa dan apa yang mengganjal gadis itu.
“ Hoaaahmmm.” Aku tersadar dari pengamatan dadakanku begitu melihat Dira bangun sambil menggerakkan badanya yang pasti pegal-pegal tidur dengan posisi begitu.
“ Sakit ya??” celetukku spontan.
“ Hah!!” Dira menoleh kesumber suara lalu nyengir malu tanpa dosa. Wajahnya merona merah. “ Iya sakit nih. Tanganku sampe kaku,”. Aku melihat gadis itu mengurut-urut tangannya.
“ Tumben kamu di kelas Ga? Bukannya kamu ikut tanding??”
Kelas kita kebagian habis zuhur nanti. Di luar panas, jadi aku ngadem bentar disini. Eh gak tahunya ada kamu tidur.”
“ Hehehehe,” lagi-lagi dia nyengir tanpa dosa bercampur malu. “ Sori, tapi yang penting aku gak ngiler kan??” lalu tawapun pecah.
Aku melirik jam tanganku lalu mulai memakai sepatu kembali.
“ Pasti tadi ada bau-bau, sepatumu ya??” dia berseloroh.
“ Alah, bau-bau begini buktinya kamu makin pules hahaha,” sekali lagi tawa pecah.
“ Kamu gak nonton kita-kita tanding?”
“ Halah paling juga gegayaan doang.”
“ Eh jangan salah, gini-gini aku calon pemain pro.”
“ Ciah, pro apaan. Pro buat cewek-cewek iye.”
“ Sialan,” umpatku. Lalu sekali lagi dia tertawa.
“ Sudah ah aku mau cuci muka dulu,” Dira beringsut meninggalkan kelas menuju kamar mandi. “ Eh tunggu,” teriakku sambil mengejarnya yang sudah keluar.
Aku mengikutinya berjalan dari belakang, sepi.
“ Kok kamu berenti juga?” tanyanya penasaran saat aku ikut berhenti di depan toilet tapi gak masuk. Aku tergagap dan nyengir sebelum berkata-kata.
“ Nunggu kamu???” jawabku akhirnya, enteng.
Alisnya bertaut, “ Mau ngintip ya?” tuduhnya asal. Aku nyengir keki ditembak begitu, “ Enak aja. Sudah buruan sana trus kita ke lapangan sama-sama.” Kataku dengan sedikit nada tinggi. Habis aku juga bingung kok jadi tiba-tiba ikut berhenti tadi.
“ Eh sapa yang mau ke lapangan?” bantahnya keras. Lalu memandangku dengan mata disipitkan
Aku tersenyum geli. “ Ya Ra, gak seru amat sih kamu. Masa kelasnya tanding bukannya doain malah ngedem di kelas!!!” Yes akhirnya aku menemukan alasan tepat.
Dira langsung nyelonong masuk ke kamar kecil tanpa babibu. Aku melongo merasa dicuekin. Bukan Ega namanya kalo kalah, batinku. Lalu tanpa niat dan entah buat apa aku menunggunya, berdiri bersandar pada tiang dengan cueknya.
*
“ Masya Allah!!!” aku kaget dan nyaris terpeleset di lantai keramik toilet yang basah saat membuka pintu dan mendapati Ega masih di sana, berdiri bersandar dengan santainya di tiang penyangga. Cowok itu hanya nyengir tanpa tedeng aling-aling. “ Sudah kan???” tanyanya. “ Yuk ah buruan ke bawah, aku sudah dipanggil pake mikrofon nih,” ajaknya tanpa malu dan basa-basi. Aku melongo tapi juga gak bisa menolak, masih dengan perasaan bingung akhirnya mengikuti dia berjalan ke bawah menuju lapangan basket.
Sepanjang jalan yang pendek itu aku dan dia tertawa geli mendengar komentar Ega yang basi soal kenapa letak toilet di sekolah ini sangat aneh bukannya di belakang tapi ditengah-tengah antar lorong kelas, jadi kalo lagi di ruang kelas bawah bingung mau bilang permisi ke belakang karena letak toilet kan malah jadi di depan.
“ Sinting, komentarku soal pemikirannya yang aneh bin ngawur itu.

“ Diraaa!!!” Icha berteriak keras dan melambaikan tangan saat aku sudah mendekati lapangan, ada raut terkejut dimukanya lalu sedetik kemudian berganti senyum mengajakku ikut bergabung dengannya. Aku melambaikan tangan pada Ega saat kami berpisah.
“ Kok bisa bareng Ega pake acara ketawa ketiwi lagi???” cecarnya saat aku duduk disampingnya, diatas bangku semen yang lumayan panas oleh matahari siang bolong.
Aku tertawa geli. “ Gak sengaja ketemu di kelas tadi,” jawabku akhirnya lalu mengalihkan pandangan ke pertandingan yang baru mau dimulai.
“ Kok kamu jadi mau nonton classmeeting??” Icha mencecar lagi.
“ Dia yang maksa tadi,” jawabku tak acuh tanpa meninggalkan pandangan dari lapangan.
“ Hemmm,” Icha mencibir dan mengerutkan kening yang tak terlihat olehku. Lalu tak lama ikut larut dalam teriakan saling mensuport antar supporter.

Selama classmeeting itu dan sesudahnya kita jadi lumayan dekat, awalnya aku curiga ada udang dibalik tepung. Icha dan teman dekatku juga curiga kalo Ega ada maksud apa-apa padaku, aku juga jadi ikutan curiga dan ge er namun perlahan semuanya berjalan baik-baik saja. Kita jadi malah sering main catur rame-rame kalo gak ada kegiatan atau malah ribut gak jelas di kelas.
Perlahan tanpa aku sadar, kami jadi lebih sering ngobrol ngalur ngidul, kerja kelompok bareng dan yang pasti aku jadi sering dapet tebengan pulang dengan motornya. Intinya kita dekat. Tak munafik kadang rasa ge er itu ada tapi aku sadar dan dengan perlahan rasa itu luruh sendiri, terlupakan begitu saja.

“ Kamu belum pernah pacaran kan Ra??” Ega menanyakan pertanyaan bodoh itu saat kami berteduh dari hujan di sebuah gardu kosong saat pulang sekolah. Untuk sesaat aku terhenyak, belum pernah ada yang menanyakan pertanyaan yang menurutku sensitif sesantai ini. Entah kenapa aku jadi menelan ludah dengan susah payah. “ Belum,” jawabku tersenyum. “ Kenapa?? Aneh ya??” balasku.
 Ega tertawa kecil. “ Kenapa kamu gak terima aja tuh tawaran Icha dan yang lain yang sering ngajak kamu buat kenal-kenalan. Si Vivin aja jadi dapet tuh pacar.”
Aku tertawa, yang menurutku terdengar agak sumbang dan hambar. “ Ya iyalah Vivin cantik gitu. Kamu juga aneh ngebandingin dia sama aku.” Tapi intinya sih aku agak takut, yah kamu ngerti lah maksud aku.
“ Takut!!!!! Takut gimana??”
Aku menghela nafas sebentar sembari berpikir untuk menyusun kata-kata “ Ya takut aja kalo ternyata aku gak sesuai seperti yang diharapkan. Cowok maunya juga yang agak tinggi dikit kali, yang bening-bening gitu,” aku menjelaskan panjang lebar menoleh untuk melihat respon Ega yang entah kenapa jadi diam, pandangannya lurus ke depan entah melihat apa. “ Lagian,” lanjutku,” pengennya juga yang nyaman.”
Lalu dia tersenyum “ Nyaman ya!!” gumamnya halus dan menoleh padaku, untuk sepersekian detik kami bertatapan sebelum akhirnya saling melempar pandangan ke depan, pada hujan yang masih setia turun. “ Tapi gak masalah kan Ra. Toh kenalan juga gak dosa, gak harus jadi, namanya juga kenalan,” ucapnya.
Aku menghela nafas, “ Memang sih gak dosa, tapi kalo sesudah kenalan caranya baik yah gak masalah, yang masalah kalo sesudah kenalan caranya gak baik, malah bikin kecewa dan sakit hati.”
Aku bisa merasakan Ega menatapku dengan heran, namun aku memilih tidak menoleh dan asyik berkecamuk dengan pikiranku sendiri.
“ Maksud kamu apa?? Aku gak nangkep??” tanyanya kemudian, tebakanku tepat seratus persen.
Kami saling bertatapan kembali, aku memilih mengalihkan pandangan. Sedangkan dia masih dan malah serius memperhatikanku.
Aku diam kembali, berpikir, kata apa yang bagus untuk menjelaskannya   “ Aku pernah di kenalkan pada seseorang,” akhirnya aku memilih menceritakan salah satu peristiwa masa SMAku yang membuat aku menyadari siapa aku. “ Dari awal aku memang tidak berharap banyak, seperti katamu namanya juga kenalan toh gak jadi gak akan bikin dosa. Kami janji bertemu di Kharisma,” aku menyebut salah satu toko buku di kota tempat tinggalku,” dan kami bertemu, ngobrol dan sempat jalan sebentar. Sesudahnya kami tidak kontak lagi, dan yah aku menerimanya toh dari awal tidak berharap lebih dan aku juga hanya menganggapnya sebatas kenalan,” aku menghela nafas sebelum melanjutkan, terasa berat. “ Tapi aku sedih, kecewa, dan agak marah saat dia mengabariku dengan pesan pendek menanyakan kabar dan lantas bertanya apakah aku punya teman lain yang bisa diajak kenalan. Demi Tuhan aku kecewa bukan karena aku tidak dipilih karena dari awal aku memang tidak berharap, tapi caranya memintaku memperkenalkan temanku yang lain, sungguh terasa mengecewakan,” aku mengakhiri ceritaku pandangan menerawang. Akh kenapa aku jadi bercerita pada cowok ini. Padahal aku sendiri sudah tidak ingin mengingat-ingatnya.
Aku masih berdiri mematung, dan kurasakan Ega meremas bahuku pelan. Membuat air mataku akhirnya tanpa disadari tumpah tanpa bisa dibendung. Rasa kecewa dan sakit itu menjalari diriku kembali dan untuk kali pertama aku menangis sesenggukan di depan orang lain, seorang laki-laki.
*
Jadi begitukah, batinku. Itukah alasan keengganan Dira. Sebelah tanganku yang lain mengepal keras. Dan kulihat Dira memejamkan matanya, mungkin berharap menghapus semuanya. “ Mungkin aku memang tidak cantik, tidak menarik, membosankan, dan sangat biasa,” Dia terbata,” Tapi aku berharap tidak diperlakukan seperti itu,” lalu dia kembali menangis dan tanpa sadar aku memeluknya. Kurasakan tubuhnya kaku dan bergetar

Sebagai laki-laki jujur aku merasa malu dan brengsek banget. Mungkin laki-laki yang diceritakan Dira hanya sebatas iseng dan basa-basi, tapi tetap saja kalau memang tidak suka yah jangan mengatakan apa-apa lebih baik diam dan mencari saja kenalan yang lain sendiri. Ku remas bahunya perlahan, berharap dia tahu bahwa aku disini akan ada untuknya selalu. Ketika air mata yang turun itu menderas sadarlah aku betapa kecewa yang dialaminya teramat dalam, tanpa sadar sebelah tanganku terkepal, aku kesal dan ingin sekali menghajar laki-laki itu sampai dia berkata maaf pada gadis ini. Ku peluk Dira, kembali aku menyadari betapa rapuh gadis ini. Dia tampak kuat, percaya diri, dan selalu ceria, tapi hari ini aku tahu dia menyimpan sendiri semua kegalaunnya. Aku masih memeluknya yang masih menangis dan merasakan perasaan nyaman yang selama ini terlewatkan olehku sejak aku mulai dekat dengannya.
***
Aku tidak ingin menjadi lelaki brengsek. Kuakui aku menyukai Dira. Namun entah kenapa aku tidak memiliki keberanian untuk sekadar bilang bahwa aku menyukainya. Saat teman-teman mempertanyakan kedekatanku dan Dira aku mengelak dan mengatakan bahwa kami teman biasa. “Syukurlah kalo kamu hanya teman sama Dira. Dia gak serasi buatmu Ga. Mending sama anak Osis saja yang lebih serasi.”
Sejujurnya komentar itu menyengatku tapi aku pun menyadari bahwa aku takut jika reputasiku jatuh dan akhirnya malu. Dan satu sisi yang lain aku juga kasihan pada Dira jika harus dibanding-bandingkan.
Atas comblangan temanku, aku jadian dengan salah satu anak Osis. Dia cantik, baik, juga pintar. Semenjak itu aku menyadari kami menjauh. Mungkin karena aku terlalu sibuk dengan pacaran, sekolah, dan basket sehingga untuk sekadar ngobrol dengannya pun aku tak bisa. Tapi aku tetap senang karena Dira senantiasa menyapa dan tersenyum jika kami bertemu. Tapi tetap saja aku merasakan ada yang aneh. Namun sudahlah, nanti juga berlalu.
*
Aku tahu aku menyukainya, sangat mudah untuk menyukainya karena Ega begitu terlihat sempurna. Namun aku menutupnya rapat, menguncinya dan bersyukur bahwa pernah menyukainya.
Aku tahu omongan anak-anak dibelakangku. Tapi mereka benar karena kami memang tak serasi dan tak sama. Tapi aku menerimanya dengan lapang dada.
Saat Ega berpacaran dengan salah satu anak osis. Aku turut bahagia walaupun tak munafik aku kecewa. Tapi mereka memang begitu serasi. Begitu sepadan. Kami menjauh. Kesibukanku ikut bimbel agar bisa lulus dengan nilai baik dan diterima di perguruan tinggi bergengsi membuat kami menjauh dan jarang ngobrol lagi. Aku pun sadar diri bahwa sekarang dia sudah milik orang lain. Suatu hari nanti akupun akan bertemu dengan pria terbaik yang akan mempersembahkan cintanya dengan tulus padaku. Bisikku untuk membahagiakan diriku.
*
Hari kelulusan itu tiba. Dengan setelan kebaya aku menghadiri acara perpisahan di sekolah. Senyum sumringah teman-teman menyambutku. Dan akupun tertawa bahagia bersama mereka. Kira-kira jika kami bertemu lima atau sepuluh tahun lagi tentulah semuanya sudah berubah. Begitu juga dengan aku.
Dalam setelan kemeja dan jas rapi, Ega mendekati aku yang tengah terlibat obrolan seru dengan Icha dan teman-teman yang lain.
“Dir, ngobrol bentar yuk!” ajaknya.
Aku tersenyum mengangguk dan pamit pada Icha dan yang lain. Berjalan mengikuti Ega ke arah lapangan basket.
“Gak apa kan duduk disini?” tanyanya sembari duduk diatas bangku semen di lapangan basket.
Sekali lagi aku tersenyum dan mengangguk. Karena aku memakai kain dan selop lumayan tinggi jadi sedikit agak ribet.
“Huhhh,” ucapku lega begitu duduk disebelahnya.
Ega melirik sekilas sambil tersenyum geli. “Cantik loh pakai batik sama kain begitu,” katanya lantas memandang lurus kedepan.
Aku tertawa diikuti Ega. “Trims,”sahutku.
“Setelah ini kita pasti akan jarang ketemu,” ucapnya sambil melepaskan jas hitamnya.
“Iyalah. Kamu aja dimana. Aku dimana. Anak-anak lain juga dimana.”
“Aku sudah putus Dir,” ucapnya memberi tahu entah penting atau tidak. Aku menoleh sekilas.
“Turut sedih ya Ga,” aku mencoba bersimpati.
Ega menoleh, menatapku sebentar, lantas tertawa puas. Aku hanya menatapnya bingung dengan kening mengernyit. “ Gila,” gumamku pelan.
“Dir!!” ucapnya setelah tawanya mereda. “Kita tetep teman kan? Walaupun gak akan sering ketemu?” katanya tersenyum.
Aku tersenyum geli. “Iyalah Ga. Kamu tuh yang jangan gak kontak-kontak. Awas ya kalo sampe nomor hape aku ilang. Aku jabanin ke Bandung ntar,” ancamku berpura-pura.
“Akh kalo gitu mau aku hilangin aja biar kamu nyamperin aku ke Bandung hahaha,” Ega terbahak. “Bukkk,” aku memukul bahunya. Ega hanya meringis nyengir sambil mengelus bahunya. “Kalo nanti mudik pas lebaran kabarin aku ya. Biar aku tagih oleh-oleh dari Jogja-nya.”
“Huh enak aja. Gak ada oleh-oleh,” sahutku cepat, bercanda.
“Gak ada oleh-oleh juga gak apa-apa. Yang penting kamu kabarin aku. Ok!! Janji!!!” ucapnya sambil menyodorkan jari kelingking.
Aku tertawa namun lantas ikut mengulurkan jari kelingking sebagai tanda janji.
“Ayo kita foto dulu Dir. Sini rapetan dikit!!”
“Ikh kamu aja yang rada kesini, susah tahu geser-geser pake kain begini.”
“Klik..klikk..klikk,” bunyi suara kamera ponsel.
Lantas kami tertawa-tawa begitu melihat hasilnya. Rasanya aku ingin mengungkapkan kebenaran begitu dia bilang dia putus. Tapi biarlah, menjadi teman dekatnya itu sudah lebih dari cukup. Aku melirik sekilas pada Ega yang tengah asyik melihat hasil jepertan kamera ponselnya dan tersenyum.
*
Aku tidak ingin jadi pengecut. Begitu melihat Dira berkumpul bersama teman-temannya aku memaksakan diri untuk mendekatinya dan mengajaknya ngobrol, berdua.
Terserah apa kata teman-temanku, aku sudah tak perduli. Begitu duduk di lapangan basket, aku ingin meminta maaf namun bingung meminta maaf atas apa. Apa atas aku menjauhinya? Jadian dengan anak osis? Atau atas ketidakberanianku?
Akhirnya aku hanya bisa bilang bahwa aku sudah putus. Entah itu penting atau tidak. Namun saat meminta agar kami tetap bisa berteman dekat, itu adalah kelegaan yang tak terkira.
Mendengar ancamannya dengan nada bercanda agar aku tetap mengontak dia, meyakinkan aku bahwa kami masih berteman dekat.
Ini adalah kenangan masa SMA terindah, bisa mengenalnya dan menemukan orang sepertinya ternyata adalah hal yang menyenangkan.
Jika suatu saat nanti ternyata rasa ini makin menjadi, dengan jujur aku akan mengatakannya.
Kami berfoto dan berpose sambil tertawa-tawa. Aku meliriknya yang tengah membetulkan kainnya dan tersenyum.
***
Tapi ungkapan itu tak pernah terucap, terkubur bersama jasad dan tanah merah yang sudah mengeras.
Ini tahun keempat aku datang kemari dengan seikat segar bunga lili putih yang harumnya semerbak.
Kutatap nisan itu dengan senyum yang sudah jauh lebih tulus karena keikhlasan hati ini.
Aku duduk dipinggir nisan sambil membisikkan untaian kata. Tanpa aku sadari air mataku meleleh.
“Ga!” ucapku pelan,” aku datang kemari ingin mengundangmu,” aku berusaha tersenyum. “Dua bulan lagi aku berulang tahun yang ke 27 dan itu artinya aku akan menikah. Kamu datang ya,” ucapku lirih. “Oh ya satu lagi sebelum semuanya terlupakan dan ini mungkin yang terakhir. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu, aku tidak perduli, yang aku tahu aku mencintaimu dan rasa itu kini tertinggal disini,” aku terisak pelan dengan rasa sakit yang teramat sangat, kucium nisan itu lantas beranjak.
Sejujurnya aku tidak ingin beranjak, tapi jika aku tidak beranjak sekarang aku tidak yakin aku bisa kembali lagi pada keputusanku.
“Selamat tinggal,” akhirnya kata ini kuucapkan dengan pelan.
Dan aku berjalan tegap keluar dari pemakaman sambil menyeka sisa-sisa air mata dan tersenyum dengan tegar.

Puri Putri
25/02/2012
16.22




Tidak ada komentar:

Posting Komentar