Sebuah
Rasa Yang Tertinggal
“ Ra, ku kenalin ya sama temanku?” Icha
tersenyum ceria penuh arti, bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Lagi-lagi aku
tertawa lalu menggeleng dan bilang “ Nanti ya Cha, aku masih belum siap” dengan
tampang nyengir. Icha cemberut, bibirnya manyun,” Kenapa sih Ra?” tanyanya
jengkel, menarik kursi didepanku dan duduk dengan dagu menempel di meja ku,
menatapku dengan penasaran dan jengkel.
Aku menahan senyum melihatnya. “ Gak
ada, belum siap aja,” jawabku seperti biasa.
“ Kalo gitu ya gak ada masalah kan?” Kan
gak harus jadian, yang penting sudah ketemu. Itung-itung nambah temen,”
cerocosnya bersemangat.
“ Iya. Tapi gak perlu pake kenal-kenalan
kan? Nanti juga kenal sendiri,” elakku.
“ Huuuuh,” Icha nyembur lalu bangkit,
beranjak keluar kelas yang sudah kosong melompong ditinggal kabur penghuninya
ke kantin atau kemana. “ Eh,” serunya sambil balik badan. “ Tapi kamu jadi kan
nemenin aku sore ini?”
“ Sip,” aku tersenyum sambil
mengacungkan ibu jari.
Aku menoleh kearah kanan, melepaskan
pandangan dari novel yang sedang ku baca, memandangi langit siang hari yang
biru bersih lewat jendela kaca kelas yang besar sambil bertumpu pada tangan
kiriku. “ Maaf ya Cha,” aku mulai bergumam seperti kebiasaanku. “ Aku bukannya gak mau, aku mau dan penasaran,
tapi jujur aku gak pede. Aku takut Cha,” gumamku sambil menghembuskan nafas dan
menelungkupkan wajah.
Sekarang lagi masanya classmeeting sampai satu minggu kedepan,
semua anak gak ada yang betah duduk dalam kelas pada kabur kemana-mana, kantin,
nonton pertandingan yang diselenggarakan osis, ngetem di perpustakaan, ngegosip iseng di ruang kesenian, atau
malah ada yang rajin pake berkebun segala. Berhubung aku
lagi diserang rasa malas, jadi aku memilih betah
di kelas dengan novel-novel yang baru kemarin
sore aku pinjam
dari taman bacaan kota.
Aku
menguap pelan mungkin karena semalam balas dendam sehabis ujian semester dengan
ngedem di depan komputer sekarang yang notabene baru jam sebelas siang mataku sudah berat. Sambil berandai-andai dengan tawaran
Icha, tanpa sadar aku tertidur di meja dengan posisi menelungkup.
Semenit, dua menit, Aku masih merem
melek dibuai angin dari jendela kelas yang sengaja aku buka
lebar-lebar,
entah menit ke berapa aku tertidur
dengan
pulas.
*
Aku berjalan dengan santai sambil memainkan bola basket ditangan
sepanjang lorong kelas tiga, di-dribel,
dilempar ke udara atau hanya diputar-putar di tangan. Pertandingan kelas tiga IPA 1 baru dimulai sehabis zhuhur nanti, jadi daripada berpanas-panas ria di lapangan aku memilih ngadem
di kelas.
“ Tap,” aku refleks
menangkap bola yang semula hendak ku lempar ke
lantai namun urung saat mataku menangkap
seseorang tengah tertidur dengan nyamannya di meja. Spontan aku menyunggingkan senyum separo saat menyadari siapa yang
tengah tidur. Ingatanku melayang
pada
dumelannya Icha dan anak-anak di lapangan basket tadi yang terdengar jelas
ditelingaku. Lagi-lagi nih anak gak mau diajakkin kenalan sama
cowok. Tanpa sadar aku tertawa tanpa
suara. Dan entah kenapa aku jadi berjingkat-jingkat saat hendak duduk dibangku milikku sendiri, aku melepas
sepatu sambil berkipas dengan buku yang kebetulan ada di atas
meja, dan memasang earphone mp3
player. Sambil memejamkan mata, aku bersenandung
kecil mengikuti irama lagu. Sesekali aku
melirik pada teman disebelahku, Dira tampak bergerak, mungkin karena
mendengar suaraku, namun gadis
itu tetap terlihat nyenyak. Dengan kesadaran penuh akhirnya aku hanya bernyanyi dengan gumaman.
Aku kembali membuka mata dan melirik sekilas ke samping. Kini mataku benar-benar tertuju pada Dira yang tengah tertidur
di meja yang letaknya hanya dipisah satu meja dari tempatku duduk.
Tanpa sadar aku mengamatinya yang kini tidur
dengan posisi kepala menghadap kearahku.
Mereka akrab tapi tidak dekat, sering ngobrol bareng, teman satu sekolah, satu angkatan,
dan Ega baru menyadari bahwa ternyata mereka selalu satu kelas dari kelas satu
SMA.
Bibirnya sedikit tertarik saat menyadari
itu. Yang dia dan semua anak lain tahu, Dira belum pernah pacaran, begitulah
yang diingatnya, padahal cewek ini termasuk dekat
dengan anak-anak cowok, baik yang
sekelas maupun yang berbeda kelas. Apalagi anak ini termasuk golongan yang
rajin mencatat pelajaran jadi sudah pasti selalu kena uber-uber
anak yang lain.
Ega semakin tertarik mengamati, apalagi setelah ingat kalau Dira terkenal anti
dikenal-kenalin sama yang namanya cowok.
Apa memang nih anak gak tertarik
pacaran? Batinya menyelidik. Dira memang tidak terlalu cantik, tapi menurutnya
nih anak juga gak jelek-jelek amat, gak mungkin gak ada cowok yang tertarik
padanya, pasti pernah ada yang tertarik dengannya.
Kalau boleh dibilang dia juga sebenarnya
tertarik, tapi mungkin gak sejauh yang namanya cinta, secara ya
dia juga suka yang lebih bening dan sedikit agak gimana-gimana gitu, yah standar selera cowok SMA.
Mungkin yang membuatnya tertarik pada gadis itu, karena Dira selalu
enerjik, bersemangat, rame, selalu bisa tertawa lepas, tapi kalau dibecandain
sama anak-anak bisa malu-malu juga atau malah ikut menimpali balik, kalau pas ketiban sial dapat hukuman dari guru dengan pedenya
dia maju. Tapi mungkin yang membuat Ega lebih angkat jari saat dia tahu bahwa Dira sudah punya mimpi yang dibangunnya sejak
lama, yang membuat dirinya sendiri terhenyak dan menyadari bahwa dia sendiri tak punya mimpi
apa-apa
selepas SMA yang hanya tinggal menghitung bulan ini. Dan dirinya tak tahu mau kemana.
Dia sendiri baru
tahu impian Dira saat tanpa sengaja mendengar
pembicaraan Dira dan Pak Son di ruang BP. Saat semua anak bingung mau memilih
kuliah dimana, Dira dengan
mantapnya menyebutkan nama universitas yang diinginkannya berikut alasan
tentang mimpi-mimpinya dan jurusan
yang hendak dipilihnya.
Dan sekarang setelah mengamati gadis ini dan sekian kali mendengar Icha dan
anak-anak yang lain ngedumel soal Dira yang paling susah diajak pergi kalau gak
ada tujuan, Ega jadi tergelitik pengen tahu kenapa dan apa yang mengganjal
gadis itu.
“ Hoaaahmmm.” Aku
tersadar dari pengamatan dadakanku begitu melihat
Dira bangun sambil menggerakkan badanya yang pasti pegal-pegal tidur dengan
posisi begitu.
“ Sakit ya??” celetukku spontan.
“ Hah!!” Dira
menoleh kesumber suara lalu nyengir malu tanpa dosa. Wajahnya merona merah. “
Iya sakit nih. Tanganku sampe kaku,”. Aku melihat gadis
itu mengurut-urut tangannya.
“ Tumben kamu di kelas Ga? Bukannya kamu
ikut tanding??”
“ Kelas kita kebagian habis zuhur nanti. Di luar panas, jadi aku ngadem bentar disini. Eh gak tahunya ada
kamu tidur.”
“ Hehehehe,” lagi-lagi dia nyengir tanpa dosa bercampur malu. “ Sori, tapi
yang penting aku gak ngiler kan??” lalu tawapun pecah.
Aku
melirik jam tanganku lalu mulai
memakai sepatu kembali.
“ Pasti tadi ada bau-bau, sepatumu ya??”
dia berseloroh.
“ Alah, bau-bau begini buktinya kamu makin
pules hahaha,” sekali lagi tawa pecah.
“ Kamu gak nonton kita-kita tanding?”
“ Halah paling juga gegayaan doang.”
“ Eh jangan salah, gini-gini aku calon
pemain pro.”
“ Ciah, pro apaan. Pro buat cewek-cewek
iye.”
“ Sialan,” umpatku.
Lalu sekali lagi dia tertawa.
“ Sudah ah aku mau cuci muka dulu,” Dira beringsut meninggalkan kelas menuju kamar mandi. “ Eh tunggu,” teriakku sambil mengejarnya yang sudah
keluar.
Aku mengikutinya berjalan dari belakang, sepi.
“ Kok kamu berenti juga?” tanyanya penasaran saat aku
ikut
berhenti di depan toilet tapi gak masuk. Aku tergagap dan nyengir sebelum berkata-kata.
“ Nunggu kamu???” jawabku akhirnya, enteng.
Alisnya
bertaut, “ Mau ngintip ya?” tuduhnya asal. Aku nyengir keki ditembak begitu,
“ Enak aja. Sudah buruan sana trus kita ke lapangan sama-sama.” Kataku dengan sedikit nada tinggi. Habis aku juga
bingung kok jadi tiba-tiba ikut berhenti tadi.
“ Eh sapa yang mau ke lapangan?” bantahnya keras. Lalu
memandangku dengan mata disipitkan
Aku tersenyum
geli. “ Ya Ra, gak seru amat sih kamu. Masa kelasnya tanding bukannya doain
malah ngedem di kelas!!!” Yes akhirnya aku
menemukan alasan tepat.
Dira
langsung nyelonong masuk ke kamar kecil tanpa babibu. Aku melongo merasa dicuekin. Bukan Ega namanya kalo kalah, batinku.
Lalu tanpa niat dan entah buat apa aku menunggunya, berdiri bersandar pada
tiang dengan cueknya.
*
“ Masya Allah!!!” aku kaget dan nyaris
terpeleset di lantai keramik toilet yang basah saat membuka pintu dan mendapati
Ega masih di sana, berdiri bersandar dengan santainya di tiang penyangga. Cowok
itu hanya nyengir tanpa tedeng aling-aling. “ Sudah kan???” tanyanya. “ Yuk ah
buruan ke bawah, aku sudah dipanggil pake mikrofon nih,” ajaknya tanpa malu dan basa-basi. Aku melongo tapi juga gak bisa menolak,
masih dengan perasaan bingung akhirnya
mengikuti dia berjalan ke bawah menuju lapangan basket.
Sepanjang jalan yang pendek itu aku dan
dia tertawa geli mendengar komentar Ega yang basi soal kenapa letak toilet di
sekolah ini sangat aneh bukannya di belakang tapi ditengah-tengah antar lorong
kelas, jadi kalo lagi di ruang kelas bawah bingung mau bilang permisi ke
belakang karena letak toilet kan malah jadi di depan.
“ Sinting,” komentarku soal pemikirannya yang aneh bin ngawur
itu.
“ Diraaa!!!” Icha berteriak keras dan
melambaikan tangan saat aku sudah mendekati lapangan, ada raut terkejut
dimukanya lalu sedetik kemudian berganti senyum mengajakku ikut bergabung
dengannya. Aku melambaikan tangan pada Ega saat kami berpisah.
“ Kok bisa bareng Ega pake acara ketawa
ketiwi lagi???” cecarnya saat aku duduk disampingnya, diatas bangku semen yang
lumayan panas oleh matahari siang bolong.
Aku tertawa geli. “ Gak sengaja ketemu
di kelas tadi,” jawabku akhirnya lalu mengalihkan pandangan ke pertandingan
yang baru mau dimulai.
“ Kok kamu jadi mau nonton classmeeting??” Icha mencecar lagi.
“ Dia yang maksa tadi,” jawabku tak acuh
tanpa meninggalkan pandangan dari lapangan.
“ Hemmm,” Icha mencibir dan mengerutkan kening yang tak terlihat olehku. Lalu tak lama ikut larut dalam teriakan saling
mensuport antar supporter.
Selama classmeeting itu dan sesudahnya kita jadi lumayan dekat, awalnya aku curiga ada udang dibalik tepung. Icha dan
teman dekatku juga curiga kalo Ega ada maksud apa-apa padaku, aku juga jadi
ikutan curiga dan ge er namun perlahan semuanya berjalan baik-baik saja. Kita
jadi malah sering
main catur rame-rame kalo gak ada kegiatan atau malah ribut gak jelas di kelas.
Perlahan tanpa aku sadar, kami
jadi lebih sering ngobrol ngalur
ngidul, kerja kelompok bareng dan yang pasti aku jadi sering dapet tebengan
pulang dengan motornya. Intinya kita dekat. Tak munafik kadang rasa ge er itu
ada tapi aku sadar dan dengan perlahan rasa itu luruh sendiri, terlupakan
begitu saja.
“ Kamu belum pernah pacaran kan Ra??”
Ega menanyakan pertanyaan bodoh itu saat kami berteduh dari hujan di sebuah
gardu kosong saat pulang sekolah. Untuk sesaat aku terhenyak, belum pernah ada
yang menanyakan pertanyaan yang menurutku sensitif sesantai ini. Entah kenapa
aku jadi menelan ludah dengan susah payah. “ Belum,” jawabku
tersenyum. “ Kenapa?? Aneh ya??” balasku.
Ega tertawa kecil. “ Kenapa kamu gak terima
aja tuh tawaran Icha dan yang lain yang sering ngajak kamu buat kenal-kenalan. Si Vivin aja jadi
dapet tuh pacar.”
Aku tertawa, yang menurutku terdengar agak
sumbang dan hambar. “ Ya iyalah Vivin cantik gitu. Kamu
juga aneh ngebandingin dia sama aku.”
Tapi intinya sih aku agak takut, yah kamu ngerti lah maksud aku.”
“ Takut!!!!! Takut gimana??”
Aku menghela nafas sebentar sembari berpikir untuk menyusun kata-kata “ Ya takut aja kalo ternyata aku gak sesuai seperti yang
diharapkan. Cowok
maunya juga yang agak tinggi dikit kali, yang bening-bening gitu,” aku
menjelaskan panjang lebar menoleh untuk melihat respon Ega yang entah kenapa
jadi diam, pandangannya lurus ke depan entah melihat apa. “ Lagian,” lanjutku,” pengennya juga yang nyaman.”
Lalu dia tersenyum “
Nyaman ya!!” gumamnya halus dan menoleh padaku, untuk sepersekian detik kami
bertatapan sebelum akhirnya saling melempar pandangan ke depan, pada hujan yang
masih setia turun. “ Tapi gak masalah kan Ra. Toh kenalan juga gak dosa, gak
harus jadi, namanya juga kenalan,” ucapnya.
Aku menghela nafas, “ Memang sih gak
dosa, tapi kalo sesudah kenalan caranya baik yah gak masalah, yang masalah kalo
sesudah kenalan caranya gak baik, malah bikin kecewa dan sakit hati.”
Aku bisa merasakan Ega menatapku dengan
heran, namun aku memilih tidak menoleh dan asyik berkecamuk dengan pikiranku
sendiri.
“ Maksud kamu apa?? Aku gak nangkep??”
tanyanya kemudian, tebakanku tepat seratus persen.
Kami saling bertatapan kembali, aku
memilih mengalihkan pandangan. Sedangkan dia masih dan
malah serius memperhatikanku.
Aku diam kembali, berpikir, kata apa yang bagus untuk
menjelaskannya “ Aku pernah di
kenalkan pada seseorang,” akhirnya aku memilih menceritakan salah satu
peristiwa masa SMAku yang membuat aku menyadari siapa aku. “ Dari awal aku
memang tidak berharap banyak, seperti katamu namanya juga kenalan toh gak jadi
gak akan bikin dosa. Kami janji bertemu di Kharisma,” aku menyebut salah satu
toko buku di kota tempat tinggalku,” dan kami bertemu, ngobrol dan sempat jalan
sebentar. Sesudahnya kami tidak kontak lagi, dan yah aku menerimanya toh dari
awal tidak berharap lebih dan aku juga hanya menganggapnya sebatas kenalan,”
aku menghela nafas sebelum melanjutkan, terasa berat. “ Tapi aku sedih, kecewa,
dan agak marah saat dia mengabariku dengan pesan pendek menanyakan kabar dan lantas bertanya apakah aku punya teman lain
yang bisa diajak kenalan. Demi Tuhan aku kecewa bukan karena aku tidak dipilih
karena dari awal aku memang tidak berharap,
tapi caranya memintaku memperkenalkan temanku yang lain, sungguh terasa mengecewakan,” aku mengakhiri ceritaku pandangan menerawang.
Akh kenapa aku jadi bercerita pada cowok ini. Padahal aku sendiri sudah tidak
ingin mengingat-ingatnya.
Aku masih berdiri mematung, dan
kurasakan Ega meremas bahuku pelan. Membuat air mataku akhirnya tanpa disadari tumpah
tanpa bisa dibendung. Rasa kecewa dan sakit itu menjalari diriku kembali dan
untuk kali pertama aku menangis sesenggukan di depan orang lain, seorang
laki-laki.
*
Jadi begitukah, batinku. Itukah alasan keengganan Dira. Sebelah tanganku
yang lain mengepal keras. Dan kulihat Dira memejamkan matanya, mungkin berharap menghapus semuanya. “ Mungkin
aku memang tidak cantik, tidak menarik, membosankan, dan sangat biasa,” Dia terbata,” Tapi aku berharap tidak diperlakukan
seperti itu,” lalu dia kembali menangis dan tanpa sadar aku memeluknya. Kurasakan tubuhnya kaku dan bergetar
Sebagai laki-laki jujur aku merasa malu
dan brengsek banget. Mungkin laki-laki yang diceritakan Dira hanya sebatas
iseng dan basa-basi, tapi tetap saja
kalau memang tidak suka yah jangan mengatakan apa-apa lebih baik diam dan
mencari saja kenalan yang lain sendiri. Ku remas bahunya perlahan, berharap dia
tahu bahwa aku disini akan ada untuknya selalu. Ketika air mata yang turun itu
menderas sadarlah aku betapa kecewa yang dialaminya teramat dalam, tanpa sadar
sebelah tanganku terkepal, aku kesal dan ingin sekali menghajar laki-laki itu
sampai dia berkata maaf pada gadis ini. Ku peluk Dira, kembali aku menyadari
betapa rapuh gadis ini. Dia tampak kuat, percaya diri, dan selalu ceria, tapi hari ini aku tahu dia menyimpan
sendiri semua kegalaunnya. Aku masih memeluknya yang masih menangis dan
merasakan perasaan nyaman yang selama ini terlewatkan olehku sejak aku mulai
dekat dengannya.
***
Aku tidak ingin menjadi lelaki brengsek.
Kuakui aku menyukai Dira. Namun entah kenapa aku tidak memiliki keberanian
untuk sekadar bilang bahwa aku menyukainya. Saat teman-teman mempertanyakan
kedekatanku dan Dira aku mengelak dan mengatakan bahwa kami teman biasa.
“Syukurlah kalo kamu hanya teman sama Dira. Dia gak serasi buatmu Ga. Mending
sama anak Osis saja yang lebih serasi.”
Sejujurnya komentar itu menyengatku tapi
aku pun menyadari bahwa aku takut jika reputasiku jatuh dan akhirnya malu. Dan
satu sisi yang lain aku juga kasihan pada Dira jika harus dibanding-bandingkan.
Atas comblangan temanku, aku jadian
dengan salah satu anak Osis. Dia cantik, baik, juga pintar. Semenjak itu aku
menyadari kami menjauh. Mungkin karena aku terlalu sibuk dengan pacaran,
sekolah, dan basket sehingga untuk sekadar ngobrol dengannya pun aku tak bisa.
Tapi aku tetap senang karena Dira senantiasa menyapa dan tersenyum jika kami
bertemu. Tapi tetap saja aku merasakan ada yang aneh. Namun sudahlah, nanti
juga berlalu.
*
Aku tahu aku menyukainya, sangat mudah
untuk menyukainya karena Ega begitu terlihat sempurna. Namun aku menutupnya
rapat, menguncinya dan bersyukur bahwa pernah menyukainya.
Aku tahu omongan anak-anak dibelakangku.
Tapi mereka benar karena kami memang tak serasi dan tak sama. Tapi aku
menerimanya dengan lapang dada.
Saat Ega berpacaran dengan salah satu
anak osis. Aku turut bahagia walaupun tak munafik aku kecewa. Tapi mereka
memang begitu serasi. Begitu sepadan. Kami menjauh. Kesibukanku ikut bimbel
agar bisa lulus dengan nilai baik dan diterima di perguruan tinggi bergengsi
membuat kami menjauh dan jarang ngobrol lagi. Aku pun sadar diri bahwa sekarang
dia sudah milik orang lain. Suatu hari nanti akupun akan bertemu dengan pria
terbaik yang akan mempersembahkan cintanya dengan tulus padaku. Bisikku untuk
membahagiakan diriku.
*
Hari kelulusan itu tiba. Dengan setelan
kebaya aku menghadiri acara perpisahan di sekolah. Senyum sumringah teman-teman
menyambutku. Dan akupun tertawa bahagia bersama mereka. Kira-kira jika kami
bertemu lima atau sepuluh tahun lagi tentulah semuanya sudah berubah. Begitu
juga dengan aku.
Dalam setelan kemeja dan jas rapi, Ega
mendekati aku yang tengah terlibat obrolan seru dengan Icha dan teman-teman
yang lain.
“Dir, ngobrol bentar yuk!” ajaknya.
Aku tersenyum mengangguk dan pamit pada
Icha dan yang lain. Berjalan mengikuti Ega ke arah lapangan basket.
“Gak apa kan duduk disini?” tanyanya
sembari duduk diatas bangku semen di lapangan basket.
Sekali lagi aku tersenyum dan
mengangguk. Karena aku memakai kain dan selop lumayan tinggi jadi sedikit agak
ribet.
“Huhhh,” ucapku lega begitu duduk
disebelahnya.
Ega melirik sekilas sambil tersenyum
geli. “Cantik loh pakai batik sama kain begitu,” katanya lantas memandang lurus
kedepan.
Aku tertawa diikuti Ega.
“Trims,”sahutku.
“Setelah ini kita pasti akan jarang
ketemu,” ucapnya sambil melepaskan jas hitamnya.
“Iyalah. Kamu aja dimana. Aku dimana.
Anak-anak lain juga dimana.”
“Aku sudah putus Dir,” ucapnya memberi
tahu entah penting atau tidak. Aku menoleh sekilas.
“Turut sedih ya Ga,” aku mencoba
bersimpati.
Ega menoleh, menatapku sebentar, lantas
tertawa puas. Aku hanya menatapnya bingung dengan kening mengernyit. “ Gila,”
gumamku pelan.
“Dir!!” ucapnya setelah tawanya mereda.
“Kita tetep teman kan? Walaupun gak akan sering ketemu?” katanya tersenyum.
Aku tersenyum geli. “Iyalah Ga. Kamu tuh
yang jangan gak kontak-kontak. Awas ya kalo sampe nomor hape aku ilang. Aku
jabanin ke Bandung ntar,” ancamku berpura-pura.
“Akh kalo gitu mau aku hilangin aja biar
kamu nyamperin aku ke Bandung hahaha,” Ega terbahak. “Bukkk,” aku memukul
bahunya. Ega hanya meringis nyengir sambil mengelus bahunya. “Kalo nanti mudik
pas lebaran kabarin aku ya. Biar aku tagih oleh-oleh dari Jogja-nya.”
“Huh enak aja. Gak ada oleh-oleh,”
sahutku cepat, bercanda.
“Gak ada oleh-oleh juga gak apa-apa.
Yang penting kamu kabarin aku. Ok!! Janji!!!” ucapnya sambil menyodorkan jari
kelingking.
Aku tertawa namun lantas ikut mengulurkan
jari kelingking sebagai tanda janji.
“Ayo kita foto dulu Dir. Sini rapetan
dikit!!”
“Ikh kamu aja yang rada kesini, susah
tahu geser-geser pake kain begini.”
“Klik..klikk..klikk,” bunyi suara kamera
ponsel.
Lantas kami tertawa-tawa begitu melihat
hasilnya. Rasanya aku ingin mengungkapkan kebenaran begitu dia bilang dia
putus. Tapi biarlah, menjadi teman dekatnya itu sudah lebih dari cukup. Aku
melirik sekilas pada Ega yang tengah asyik melihat hasil jepertan kamera
ponselnya dan tersenyum.
*
Aku tidak ingin jadi pengecut. Begitu
melihat Dira berkumpul bersama teman-temannya aku memaksakan diri untuk
mendekatinya dan mengajaknya ngobrol, berdua.
Terserah apa kata teman-temanku, aku
sudah tak perduli. Begitu duduk di lapangan basket, aku ingin meminta maaf
namun bingung meminta maaf atas apa. Apa atas aku menjauhinya? Jadian dengan
anak osis? Atau atas ketidakberanianku?
Akhirnya aku hanya bisa bilang bahwa aku
sudah putus. Entah itu penting atau tidak. Namun saat meminta agar kami tetap bisa
berteman dekat, itu adalah kelegaan yang tak terkira.
Mendengar ancamannya dengan nada
bercanda agar aku tetap mengontak dia, meyakinkan aku bahwa kami masih berteman
dekat.
Ini adalah kenangan masa SMA terindah,
bisa mengenalnya dan menemukan orang sepertinya ternyata adalah hal yang
menyenangkan.
Jika suatu saat nanti ternyata rasa ini
makin menjadi, dengan jujur aku akan mengatakannya.
Kami berfoto dan berpose sambil
tertawa-tawa. Aku meliriknya yang tengah membetulkan kainnya dan tersenyum.
***
Tapi ungkapan itu tak pernah terucap,
terkubur bersama jasad dan tanah merah yang sudah mengeras.
Ini tahun keempat aku datang kemari
dengan seikat segar bunga lili putih yang harumnya semerbak.
Kutatap nisan itu dengan senyum yang
sudah jauh lebih tulus karena keikhlasan hati ini.
Aku duduk dipinggir nisan sambil
membisikkan untaian kata. Tanpa aku sadari air mataku meleleh.
“Ga!” ucapku pelan,” aku datang kemari
ingin mengundangmu,” aku berusaha tersenyum. “Dua bulan lagi aku berulang tahun
yang ke 27 dan itu artinya aku akan menikah. Kamu datang ya,” ucapku lirih. “Oh
ya satu lagi sebelum semuanya terlupakan dan ini mungkin yang terakhir. Aku
tidak tahu bagaimana perasaanmu, aku tidak perduli, yang aku tahu aku
mencintaimu dan rasa itu kini tertinggal disini,” aku terisak pelan dengan rasa
sakit yang teramat sangat, kucium nisan itu lantas beranjak.
Sejujurnya aku tidak ingin beranjak,
tapi jika aku tidak beranjak sekarang aku tidak yakin aku bisa kembali lagi
pada keputusanku.
“Selamat tinggal,” akhirnya kata ini
kuucapkan dengan pelan.
Dan aku berjalan tegap keluar dari
pemakaman sambil menyeka sisa-sisa air mata dan tersenyum dengan tegar.
Puri Putri
25/02/2012
16.22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar