Sabtu, 04 Februari 2012

Karena Kamu (end)


Karena Kamu

            Siapa yang tidak mengenal Jihan dan Kanti. Dua gadis yang sejak pertama kali mengenal bangku sekolah sudah bersahabat. Sekarang ini mereka sama-sama kelas tiga SMU. Jadi kalau dihitung-hitung sudah dua belas tahun mereka saling mengenal. Bukan hanya mereka, tapi keluarga masing-masing pun sudah saling menganggap satu sama lain sebagai keluarga.
            Tapi yang namanya persahabatan pasti ada ujiannya, tak terkecuali mereka berdua. Bahkan persahabatan yang mereka anggap kuat ini pun ternyata cukup rapuh untuk dihempas oleh gelombang cobaan. Cobaan sederhana yang nyaris mampu mencerai-beraikan ikatan mereka. Tapi seperti segala sesuatu yang harus ada awalnya. Penyatuan ikatan yang nyaris putus itupun harus dimulai dengan kerelaan sebelah pihak yang mau memulai untuk menyambung ikatan itu kembali. Dan karena penerimaan yang lain akhirnya mampu mengeratkan ikatan itu kembali.
            Seperti segala hal yang sulit untuk kembali ke asal setelah rusak. Ikatan mereka pun seperti itu. Akhirnya dengan keputusan bersama, mereka ingin membuka pintu untuk orang-orang lain yang mungkin menjadi sahabat-sahabat baru mereka. Jadi, kalaupun sekarang mereka punya teman jalan dan gaul masing-masing, tetap saja satu sama lain akan menjadi pelabuhan terakhir untuk menghabiskan waktu bersama-sama, berdua, bercerita dan tertawa bersama.
***
            Di SMP Bakti Negeri Kota Palembang, siapa yang tidak mengenal Ganang Satio Pritjahyono. Sekalipun bukan kapten basket dan hanya berstatus sebagai anggota, namanya tidak asing lagi bahkan sampai ke sekolah-sekolah tetangga. Otaknya yang lumayan encer untuk ukuran anak laki-laki yang terkenal malas dan kesupelannya bergaul yang tidak pilih-pilih adalah modal dasarnya.
            Sama seperti anak SMP yang sedang puber-pubernya. Jihan dan Kanti pun sedang dalam masa pencarian. Kanti yang pernah sedikit mengenal Ganang karena dulu pernah bersekolah di TK yang sama hanya salut pada cowok itu tidak lebih. Sedangkan Jihan ikut-ikutan bergabung dalam geng anak-anak cewek yang semuanya menganggap Ganang sebagai gebetan. Namun sebagai sahabat yang selalu bersama, Kanti selalu terlihat berada diantara sekelompok cewek-cewek itu, apalagi kalau bukan menemani Jihan menonton pertandingan basket yang dijalani Ganang.

            Sampai suatu ketika secara terang-terangan Jihan mengakui pada Kanti bahwa dia menyukai Ganang dan sedikit gak rela Ganang jadi gebetan rame-rame.
            “ Maksud kamu, kamu cemburu??? “ tanya Kanti tanpa menoleh karena sedang berkonsentrasi pada permainan caturnya lawan Eko, teman sekelasnya, setelah Jihan cerita panjang lebar soal perasaaanya.
            Jihan mengangguk pelan. Bibirnya tetap manyun. Akhirnya dia menyandarkan kepalanya pada bahu Kanti.
            “ Cemburu sama siapa?” kali ini Eko ikut-ikutan nanya. Habis dia bingung sama cerita Jihan, gak jelas siapa yang jadi objeknya. Karena Jihan kebanyakan menggunakan kata dia, dia, gak pernah menyebut nama orangnya.
            Jihan mengangkat kepala dan memandang Eko dengan gemas. Sebenarnya dia agak malas dekat-dekat sama Eko karena di sekolah Eko terkenal sebagai cowok yang jarang mandi. Tapi setelah masuk ke kelas Kanti dan mendapati tuh anak lagi asyik main catur bareng Eko, mau gak mau dia mendekat dan mulai nyerocos dengan nada sendu pada sahabatnya itu. Sebenarnya Jihan sudah puluhan kali nanya kenapa sahabatnya ini betah sekali main catur bareng Eko, padahal dari jarak yang ibaratnya ratusan meter, aroma tubuh Eko itu sudah semriwing kemana-mana. Dan Kanti dengan santainya hanya menjawab dengan senyuman atau kalimat gak apalah. Bosan dapat jawaban yang itu-itu saja, akhirnya Jihan berhenti bertanya dan memilih menerima.
            “ Kamu mau bantuin gak Ko?” kali ini Kanti nyeletuk asal. Jihan mencubitnya pelan dan Kanti hanya meringis keki.
            Eko tersenyum memamerkan deretan giginya yang rapi dan putih. “ Oh, jadi Jihan lagi naksir cowok ya? Siapa dulu orangnya. Kalau aku kenal pasti aku bantuin,” Eko menawarkan bantuan tanpa basa-basi. Langsung saja Jihan yang tadi seperti bunga layu langsung segar kembali dan bersinar-sinar.
            “ Sama si Tio, bisa gak?” beritahu Kanti. Jihan yang terlalu bahagia tidak bisa ngomong apa-apa hanya manggut-manggut persis patung kucing selamat datang di toko-toko orang tionghoa. Bukan hal yang aneh kalau ada sebagian anak yang memanggil Ganang dengan nama Tio, terutama mereka yang cukup kenal dekat dengan Ganang. Itu panggilan Ganang di keluarganya dan Kanti yang pernah satu sekolah walaupun jaman TK sudah memanggil demikian sejak mereka berkenalan pertama kali. Jadi begitu tahu Ganang adalah temannya semasa TK dulu, otomatis panggilan yang keluar dari mulutnya adalah Tio.
            “ Akh dia mah aku kenal, rumah nenekku satu komplek sama dia. Ok deh aku bantuin,” kata Eko sambil mengacungkan ibu jari. “ Lagian buat orang kayak kamu gak susah masarinnya, kecuali si Kanti nih, harus ada ekstra iklan buat masarinnya,” Eko bercanda sambil tergelak diikuti Jihan.
            “ Brengsek kamu Ko,” Kanti pura-pura meninjunya lalu dia sendiri ikut tergelak.
            “ Nah kamu sudah bisa tenang Han, tunggu kabar selanjutnya saja,” Kanti menenangkan sahabatnya.
            “ Ok deh Ko, kabar-kabari kalau ada berita ya?” Jihan mengatakannya dengan muka bersemu merah jambu. Eko tersenyum.
            “ Sudah sana. Balik ke kelasmu. Jangan ganggu permainan kita lagi,” Kanti pura-pura mengusir Jihan.
            “ Ok deh. Bye bye semua,” katanya riang.

            Siang ini Kanti tidak langsung pulang ke rumah. Hari ini dia niat mau ke perpustakaan untuk mengembalikan buku pinjaman sekaligus meminjam buku baru lagi. Sekolahan sudah mulai sepi, anak kelas satu yang masuk siang baru satu dua yang sudah datang.
            Perpustakaan sekolah yang terletak di belakang gedung utama tak kalah sepinya. Hanya ada bu Daliana, penjaga perpustakaan yang seperti biasa berkutat dengan buku kunjungan. Setelah berbasa basi sebentar untuk mengembalikan buku dan mengisi buku kunjungan, Kanti memilih deretan meja baca didekat jendela. Diletakkannya tas ranselnya dan mulai mencari buku yang hendak dibacanya sebentar dan kalau ceritanya menarik tentu saja akan dipinjamnya untuk dilanjutkan baca di rumah.
            “ Kamu juga dapat tugas dari bu Naya Kan!!?” suara seorang cowok dari sampingnya membuatnya spontan menoleh. Dilihatnya Tio tengah mencari buku di rak paling atas disebelahnya.
            Kanti tersenyum dan menggeleng. “ Tugas apaan?? Gak tuh!!,” jawabnya sambil kembali mencari buku.
            “ Biasalah, diminta mencari buku sastra tahun puluhan gitu. Terus disuruh mengambil intisari dari cerita yang dibuat,” Tio menjelaskan panjang lebar. Kanti manggut-manggut mengerti.
            “ Kamu madol ya pas pelajaran Bahasa Indonesia?? Jadi dapet tugas ribet begini,” Kanti nyeletuk yang diikuti derai tawa Tio. “ Tau aja kamu Kan,” katanya. Kanti tersenyum pura-pura mencibir. “ Sudah ketahuan sih karena si Wengku juga dapet tugas begituan dari bu Naya,” katanya. Wengku, teman sekelasnya yang senin kemaren madol seharian ketiban duren dapet tugas dari bu Naya yang sama persis dengan yang diberikan ke Tio.
            Tio tertawa kembali. Untung yang sedang di perpustakaan hanya mereka berdua, coba kalau lagi rame. Bisa diusir paksa mereka.
            “ Nih kamu buat intisari cerita ini saja,” Kanti menyodorkan buku berjudul Tembang Ilalang pada Tio. “ Ceritanya tentang apaan?” tanya Tio sambil mengambil buku itu dan membaca ringkasan di cover belakang buku. Sambil mencari bacaan buat dirinya sendiri, Kanti menceritakan sedikit penggalan cerita dari buku tersebut yang masih diingatnya.
            “ Lumayan,” kata Tio. “ Eh sekalian lah Kan kamu bantuin aku buat nih tugas. Lama kalau harus baca sendiri, bisa mingguan aku bacanya. Padahal kan jumat besok harus sudah di kumpulin. Kalau gak selesai bisa gak ikut UAN aku,” Tio ngoceh dengan memohon panjang lebar.
            Kanti menoleh, memandang Tio yang sedang cengengesan sambil berpikir.
            “ Okelah,” putusnya sambil berjalan kearah meja yang tadi sudah dipilihnya.
            “ Asyik!!!!” kata Tio riang sambil mengikuti Kanti.

            Sejak itu, entah sudah berapa kali mereka bertemu di perpustakaan pada jam pulang sekolah. Sekadar ngobrol bareng sambil mencari bacaan atau mengerjakan tugas sekolah masing-masing.
            Awalnya Kanti merasa biasa saja, toh mereka dulu pernah temanan. Tapi soal hati siapa yang tahu??
            Dia juga gak pernah cerita pada Jihan perihal pertemuan-pertemuan dirinya dengan Tio di perpustakaan. Karena menurutnya itu hanyalah sebuah ketidak sengajaan, toh dia sendiri tidak pernah mengajak atau diajak Tio ke perpustakaan bareng. Semuanya mengalir begitu saja.
            Tapi kini Kanti mulai takut. Takut dengan hatinya dan takut kalau Jihan akan marah. Pernah suatu kali Jihan belum dijemput dan akhirnya menunggu jemputan bareng Kanti di perpustakaan. Saat itu Tio datang dan langsung menyapa Kanti dengan riang dan ramah. Ada sebentuk keterkejutan dan keheranan di wajah Jihan. Besoknya Jihan mencecarnya dan Kanti mengatakan seadanya. Untunglah sahabatnya itu bisa mengerti dan paham.
            Namun itu dulu saat Kanti tidak merasakan apa-apa, tapi kini???

            Setelah berpikir dan menimbang-nimbang untuk ukuran anak seumurnya, akhirnya Kanti memilih untuk memendamnya sendiri. Toh bisa saja ini hanyalah perasaan yang bertepuk sebelah tangan. Seperti prinsipnya, hanya menjadi teman bagi orang yang kita sukai bukanlah akhir bagi dunia, tapi bisa menjadi awal untuk mengenalnya lebih dekat.

            “ Eh Ko!!! Gimana si Tio sama Jihan. Sudah berapa minggu gak ada kabar apa-apa?” Kanti nyeletuk, teringat kejadian beberapa minggu yang lewat.
            “ Eko yang sedang konsentrasi dengan langkah bidaknya karena tadi nyaris kalah oleh Kanti hanya memandang Kanti sekali lewat.
            “ Kan!!!” panggilnya setelah diam beberapa detik dan berhasil membuat langkah bagi bidaknya.
            “ Hmm,” kini giliran Kanti yang sedang serius.
            “ Anak-anak yang lain kayak si Jihan kan pada ngebet tuh sama Tio. Kamu sendiri gimana?” tanya Eko santai.
            “ Maksudnya?” tanya Kanti tanpa melirik.
            “ Kamu suka gak sama si Tio?” tanya Eko lagi, kali ini tanpa tedeng aling-aling.
            Kanti memandangnya dalam diam. Ada serbuan gelombang di dada dan perutnya. Setelah cukup menenangkan diri, Kanti tergelak. “ Ya gak lah Ko. Kamu sendiri bisa lihat kan? Kelas aku sama dia itu beda banget. Kasian akunya Ko kalau sampai suka sama Tio, kebanting,” Kanti menjelaskan lalu tertawa kembali. “ Gak lah Ko. Aku gak suka dia,” katanya kemudian sambil tersenyum yang sebenarnya setengah dipaksa.
            Eko ikutan tertawa dan mengangguk-angguk tanda mengerti. Tak lama pandangan cowok di depannya ini berubah lalu dengan spontan dia mengangkat tangan, seperti menyapa seseorang. “ Woi Yo!!! Tumben kemari, “ katanya.
            Melihat tingkah Eko, Kanti ikutan menoleh untuk melihat siapa yang sedang disapa Eko.
            Kontan matanya mendelik dan debaran di jantungnya tiba-tiba bergolak. Dilihatnya Tio sedang berada di meja Wengku, dua meja di belakangnya, sedang duduk membelakanginya. Pandangan Tio yang kini menatap ke arah mereka tak bisa diartikan.
            Kanti mengigit bibir bawahnya, yakinlah dia kalau Tio mendengar semua ucapannya tadi. Apalagi kelas sedang sepi karena jam istirahat. Ada rasa bersalah yang menikam hatinya. Tapi setelah diingat-ingat sepertinya tak ada kalimat khusus yang mengacu pada penghinaan terhadap diri Tio. Justru dirinyalah yang terluka dengan mengatakan hal yang justru bertentangan dengan suara dihatinya dan didengar sendiri oleh orang yang sudah membuat dirinya beberapa waktu ini berada dalam kebingungan dan perasaan yang tak pasti.
           
Sejak itu Kanti membatasi diri untuk pergi ke perpustakaan. Dia memilih untuk datang ke sana pada jam istirahat. Baru kalau terpaksa sekali dia akan pergi ke sana sehabis bel pulang sekolah.
            Beberapa waktu setelah kejadian itu, Jihan bercerita padanya bahwa dia sudah mulai berhubungan dekat dengan Ganang. Kanti tahu harusnya dia bergembira sepenuhnya, tapi entah kenapa ada sedikit rasa sakit yang dirasakannya. Dia ingin minta maaf pada Tio tentang semua ucapannya waktu itu, tapi entah kenapa separuh hatinya yang lain mengatakan itu tidak perlu. Dan pada akhirnya dia memilih mengikuti suara sebelah hatinya itu.

            Hubungan Jihan berjalan beberapa minggu dan bulan. Bahkan semenjak dua bulan yang lalu mereka resmi jadian. Sering Kanti diajak Jihan untuk jalan ke mall bareng atau sekadar nongkrong di BKB—Benteng Kuto Besak dan lari pagi di KI—Kambang Iwak, tapi Kanti selalu menolaknya dengan halus.
           
Entah ini perasaan Kanti atau memang itu tengah terjadi. Perlahan Jihan seperti menjauhinya. Mereka sudah jarang ngobrol dan bertukar cerita lagi. Berita yang Kanti terima dari teman-teman yang lain bahwa hubungan Jihan dan Tio memburuk pun semakin banyak dan sering. Kalau dia berusaha bertanya pada Jihan, gadis itu akan menjawab ketus dengan kalimat jangan mencampuri urusan orang.
Puncaknya, sebulan sebelum UAN, Jihan dan Tio putus. Dan semenjak itu Kanti benar-benar menyadari bahwa Jihan juga menjauh darinya. Mereka tidak lagi bertegur sapa. Semua teman Kanti dan Jihan yang satu angkatan bertanya heran. Tapi Kanti selalu berusaha menjawabnya dengan tenang seolah tidak ada apa-apa.

UAN sudah selesai. Ujian masuk SMA pun sudah selesai. Tinggal menunggu malam perpisahan dan liburan panjang menuju transisi masa SMP ke masa SMA.
Kanti berjalan menyusuri komplek perumahan Raya Residence di bawah terik matahari menjelang sore. Tadi dia datang kemari naik bus, sendirian. Tawaran Mas Saka, kakaknya, untuk diantar dengan motor ditolaknya halus. Dia ingin pergi sendiri dengan satu tujuan. Menyelesaikan masalah dengan Jihan, walaupun dia sendiri bingung dengan apa yang sudah terjadi diantara mereka.
Kanti juga sudah siap kena amuk oleh Jihan. Kalaupun sehabis ini harus ada permusuhan yang lebih besar, dirinya sudah siap. Yang penting dia sudah tahu dimana salahnya dan ada apa sebenarnya.
Kanti menghembuskan nafas pelan sebelum memencet bel rumah Jihan. Pintu terbuka, Raihan, adik Jihan yang masih kelas dua SD menyambutnya riang. Setelah berbasa-basi dengan seluruh keluarga Jihan. Kanti menaiki tangga menuju kamar Jihan.
Dipegangnya gagang pintu. Klek, ternyata pintunya tidak terkunci. Kanti menutup pintu dibelakangnya dan mendapati Jihan yang sedang tiduran sambil membaca majalah menatapnya nanar sekaligus bingung.
“ Mau apa?” katanya ketus, sembari duduk bersila di atas kasur.
Kanti masih berdiri tanpa suara ditempatnya. “  Mau minta penjelasan,” katanya.
“ Apa??”
“ Kenapa kamu menjauhi aku seperti wabah penyakit? Apa aku membuat ucapan atau tingkah yang melukaimu?” Kanti mulai mengeluarkan unek-uneknya. Dilihatnya tubuh Jihan sedikit menegang.
Jihan meliriknya tajam. “ Memang kamu penyakit. Penyakit Munafik,” katanya tajam.
“ Memang aku kenapa?” kali ini Kanti berjalan mendekati tempat tidur Jihan, dagunya terangkat.
“ Alah,” Jihan menepiskan tangannya di udara. “ Jangan pura-pura gak merasa. Sadar dong kalau kamu itu sudah menusuk orang yang kamu anggap sebagai sahabatmu ini dari belakang.’
“ Menusuk bagaimana?” Kanti mulai frustasi.
Jihan yang sudah sama jengkelnya berdiri dan berkacak pinggang di depan Kanti. “ Kamu tahu kenapa aku putus sama Ganang?” katanya tajam. Kanti menggeleng. “ Karena dia mengaku suka orang lain. Dan aku gak nyangka orang lain itu kamu,” tunjuk Jihan.
“ A..aku,” Kanti terbata tidak percaya.
“ Aku sudah menduga dan merasa waktu aku menemanimu di perpustakaan dan melihat Ganang datang lalu ngobrol akrab denganmu. Dia bukan tipe orang yang ramah Kan,” Jihan memulai penjelasannya. “ Tapi akhirnya kukira dugaanku itu keliru setelah dia mau mengenalku dan dekat denganku karena Eko, temanmu itu, menyampaikan salamku padanya. Sampai akhirnya kami jadian dan aku selalu mendapati dia tidak pernah konsen ketika berada didekatku,” Jihan menelan ludah dan terlihat berusaha menahan isaknya. Dan kanti mendengarkannya dengan hati bergemuruh. “ Dia selalu mengalihkan pandangan ke tempat lain. Dan kamu tahu ke mana pandangannya???” Jihan setengah berteriak. “ Ke arah yang selalu ada dirimu. Akhirnya aku memaksanya untuk bicara jujur. Dan yeah,” Jihan mengatakannya sambil mengangkat bahu. “ Dia mengakuinya dan kami putus,” Jihan menyudahi penjelasannya dan menatap tajam ke arah Kanti.
“ Maaf Han,” Kanti hanya bisa mengucapkannya pelan. Sungguh dia tidak menyangka semuanya.
“ Kamu tahu yang membuat aku kecewa dan marah??” kali ini Jihan terisak. “ Bukan karena dia menyukaimu lalu kami putus,” Jihan membersit hidungnya. “ Okelah aku memang kecewa dan cemburu. Tapi lebih dari itu adalah bahwa kamu, sahabatku, tidak pernah mau jujur padaku tentang perasaanmu. Kenapa Kan?? Kenapa???” kali ini isakan Jihan berubah jadi tangis begitupun Kanti.
“ Tidak ada yang memberitahuku bahkan Ganang pun tidak tahu, tapi aku tahu Kan. Aku tahu,” Jihan kembali menangis. Kanti menangis, merosot ke lantai seperti daging tanpa tulang. Menangis sesegukan terduduk di lantai.
“ Karena kamu sahabatku Han,” Kanti bersuara disela isak tangisnya. “ Aku tahu kamu sangat menyukainya dan karena kamu, aku memilih memendamnya berharap bahwa waktu akan menguburnya.”
“ Dan kalaupun seandainya aku jujur. Apakah kamu sungguh-sungguh akan menerima pengakuanku. Kalau ku katakan aku menyukainya. Apa kamu menerima? Lagipula aku tahu siapa aku Han. Aku berada di dunia yang berbeda dengannya, aku biasa Han, aku biasa. Sedangkan dia, dia lebih cocok bersama dengan orang seperti mu,” Kanti menyelesaikan unek-uneknya. Jihan memandang Kanti tak percaya, ada batu besar yang seolah menghantam pikirannya. Yah, Kanti benar. Seandainya sahabatnya ini pun jujur apa dia akan menerimanya. Jihan kembali terisak menyadari bahwa betapa keegoisannya begitu besar. Sahabatnya rela tidak berbagi agar dia tidak kecewa. Sedangkan dia apa??
Jihan terduduk dan memeluk Kanti. Akhirnya mereka menangis bersama dan saling berjanji untuk lebih menjaga persahabatan ini dan memulai membuka diri dengan orang lain. Agar setiap kesalah pahaman seperti ini ada teman lain yang bisa menjembatani. Agar mereka tak larut dalam kecurigaan sendiri-sendiri.
***
Kanti menghela nafas dibangkunya. Malam perpisahan seperti ini kembali mengingatkannya pada seseorang di masa SMP dulu. Seseorang yang tidak bisa dilihatnya di saat-saat terakhir masa SMP. Padahal Kanti berharap bisa melihatnya sebagai kenang-kenangan terakhir. Yah, Tio pindah ke luar kota beberapa hari sebelum malam perpisahan dan Kanti tidak pernah bertemu semenjak ujian selesai sampai hari kepindahannya.
Woi Kan berhenti ngelamun. Yuk foto bareng,” suara Jihan menyadarkannya. Kanti tersenyum dan ikut saja saat tangan Jihan menyeretnya.
Ini malam terakhir mereka di SMA. Setelah ini Kanti, Jihan, dan semua teman-temannya yang lain akan mencari masa depan sendiri-sendiri. Mereka larut dalam canda dan tawa bersama, seolah hari ini adalah hari terakhir di dunia dan bahwasannya cadangan kebahagiaan dan tawa mereka harus dihabiskan malam ini. Dengan riang Jihan dan Kanti ikut larut didalamnya dan bergaya dengan teman-teman yang lain agar hasil fotonya lebih bisa dikenang.

Delapan Tahun Ke Depan……..

Kanti meregangkan tubuhnya sebelum masuk ke sebuah supermarket yang terdapat di kawasan sebuah mall di Jakarta Barat. Sore ini, setelah shiftnya selesai, dia bermaksud hendak berbelanja. Maklum kulkas di kamar kosnya sudah kosong melompong minta diisi. Dan baru sore ini dia punya kesempatan berbelanja setelah seminggu yang penuh dengan kepanikan akibat siklus tahunan penyebaran penyakit demam berdarah.
Kanti mendorong troly dan mulai memilih-milih bahan makanan di deretan rak yang tersusun rapi.
Bruukkk, seorang anak kecil yang tengah berlari-lari menabraknya. Membuat dompet yang dipegangnya jatuh dan membuat isinya yang kebanyakan kartu jadi berserakan. Kanti hendak memungut barang-barangnya saat mendengar anak itu menangis, mungkin karena kaget dan terpeleset. Spontan Kanti mambantunya berdiri dan menenangkannya. Tak lama ibu si bocah datang dan mengucapkan terima kasih setelah sebelumnya meminta maaf pada Kanti.
Kanti membereskan barang-barangnya dibantu dengan pengunjung lain. Terlihat olehnya nama tanda pengenal yang biasa dipakai di rumah sakit terlempar jauh ke ujung rak. Kanti baru mau memungutnya saat tangan seseorang meraihnya. Sambil berdiri dan menerima kartu tanda pengenalnya Kanti mengucapkan terima kasih dan berlalu.

“ Kanti!!!” sebuah suara seperti memukul lonceng di kepalanya, menembus selubung yang membentengi hatinya. Suara ini, suara yang sangat dirindukannya. Yang tak pernah lewat dalam setiap doa dan sujud panjangnya. Yang selalu membuatnya merasa bersalah membohongi setiap pria yang dekat dengannya. Sampai pada akhirnya dia memilih berserah diri.
“ Maulinda Kinanti!!!,” suara itu kembali berulang. Kali ini menyebut nama lengkapnya.
Kanti menoleh dan mendapati seorang pria, pria yang membantunya mengambil tanda pengenalnya sedang tersenyum ramah kearahnya. Senyum yang sama yang pernah dia dapat dari seseorang di masa SMP dulu.
Pria itu mendekatinya dan masih tersenyum padanya.
“ Tio,” katanya lirih setelah pria itu mendekat dan berusaha tersenyum sekuat tenaga.
“ Syukurlah kamu masih ingat. Kamu sudah jadi bu dokter ya?” Tanya pria itu riang. Kanti tersenyum tersipu.
“ Kamu sendiri gimana?”
Sesuai dengan saranmu,” katanya. Kening Kanti berkerut. “ Kamu ingat di perpustakaan dulu?” kata Tio, membuat memori Kanti kembali ke masa-masa menyenangkan dulu. “ Kamu selalu bilang kalau aku berbakat di pelajaran eksakta ditambah aku lumayan pintar menggambar jadi sekarang aku arsitek,” Tio memamerkan dirinya. Kanti yang mendengarnya tertawa geli diikuti Tio. Anak ini masih sama seperti saat mereka sering bertemu dan ngobrol di perpustakaan dulu.

Sepertinya senja hari itu dan seterusnya akan lebih berwarna dengan tawa yang mungkin sama seperti dulu. Tawa yang akan terus berlanjut untuk menjelaskan semua kesalah pahaman yang pernah terjadi.

Karena kamu ada, entah sebagai teman atau apapun, aku pun berharap bahwa aku juga ada, bisik Kanti di dalam hati sambil terus tersenyum dan berbagi cerita seru dengan Tio di kedai kopi di mall tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar