Karena
Kamu
Siapa yang tidak mengenal Jihan dan
Kanti. Dua gadis yang sejak pertama kali mengenal bangku sekolah sudah
bersahabat. Sekarang ini mereka sama-sama kelas tiga SMU. Jadi kalau
dihitung-hitung sudah dua belas tahun mereka saling mengenal. Bukan hanya
mereka, tapi keluarga masing-masing pun sudah saling menganggap satu sama lain
sebagai keluarga.
Tapi yang namanya persahabatan pasti
ada ujiannya, tak terkecuali mereka berdua. Bahkan persahabatan yang mereka
anggap kuat ini pun ternyata cukup rapuh untuk dihempas oleh gelombang cobaan.
Cobaan sederhana yang nyaris mampu mencerai-beraikan ikatan mereka. Tapi
seperti segala sesuatu yang harus ada awalnya. Penyatuan ikatan yang nyaris
putus itupun harus dimulai dengan kerelaan sebelah pihak yang mau memulai untuk
menyambung ikatan itu kembali. Dan karena penerimaan yang lain akhirnya mampu
mengeratkan ikatan itu kembali.
Seperti segala hal yang sulit untuk
kembali ke asal setelah rusak. Ikatan mereka pun seperti itu. Akhirnya dengan
keputusan bersama, mereka ingin membuka pintu untuk orang-orang lain yang
mungkin menjadi sahabat-sahabat baru mereka. Jadi, kalaupun sekarang mereka
punya teman jalan dan gaul masing-masing, tetap saja satu sama lain akan
menjadi pelabuhan terakhir untuk menghabiskan waktu bersama-sama, berdua,
bercerita dan tertawa bersama.
***
Di SMP Bakti Negeri Kota Palembang,
siapa yang tidak mengenal Ganang Satio Pritjahyono. Sekalipun bukan kapten
basket dan hanya berstatus sebagai anggota, namanya tidak asing lagi bahkan
sampai ke sekolah-sekolah tetangga. Otaknya yang lumayan encer untuk ukuran
anak laki-laki yang terkenal malas dan kesupelannya bergaul yang tidak
pilih-pilih adalah modal dasarnya.
Sama seperti anak SMP yang sedang
puber-pubernya. Jihan dan Kanti pun sedang dalam masa pencarian. Kanti yang
pernah sedikit mengenal Ganang karena dulu pernah bersekolah di TK yang sama
hanya salut pada cowok itu tidak lebih. Sedangkan Jihan ikut-ikutan bergabung
dalam geng anak-anak cewek yang semuanya menganggap Ganang sebagai gebetan.
Namun sebagai sahabat yang selalu bersama, Kanti selalu terlihat berada
diantara sekelompok cewek-cewek itu, apalagi kalau bukan menemani Jihan
menonton pertandingan basket yang dijalani Ganang.
Sampai suatu ketika secara
terang-terangan Jihan mengakui pada Kanti bahwa dia menyukai Ganang dan sedikit
gak rela Ganang jadi gebetan rame-rame.
“ Maksud kamu, kamu cemburu??? “
tanya Kanti tanpa menoleh karena sedang berkonsentrasi pada permainan caturnya
lawan Eko, teman sekelasnya, setelah Jihan cerita panjang lebar soal
perasaaanya.
Jihan mengangguk pelan. Bibirnya
tetap manyun. Akhirnya dia menyandarkan kepalanya pada bahu Kanti.
“ Cemburu sama siapa?” kali ini Eko
ikut-ikutan nanya. Habis dia bingung sama cerita Jihan, gak jelas siapa yang
jadi objeknya. Karena Jihan kebanyakan menggunakan kata dia, dia, gak pernah
menyebut nama orangnya.
Jihan mengangkat kepala dan
memandang Eko dengan gemas. Sebenarnya dia agak malas dekat-dekat sama Eko
karena di sekolah Eko terkenal sebagai cowok yang jarang mandi. Tapi setelah
masuk ke kelas Kanti dan mendapati tuh anak lagi asyik main catur bareng Eko,
mau gak mau dia mendekat dan mulai nyerocos dengan nada sendu pada sahabatnya
itu. Sebenarnya Jihan sudah puluhan kali nanya kenapa sahabatnya ini betah
sekali main catur bareng Eko, padahal dari jarak yang ibaratnya ratusan meter,
aroma tubuh Eko itu sudah semriwing kemana-mana. Dan Kanti dengan santainya
hanya menjawab dengan senyuman atau kalimat gak apalah. Bosan dapat jawaban
yang itu-itu saja, akhirnya Jihan berhenti bertanya dan memilih menerima.
“ Kamu mau bantuin gak Ko?” kali ini
Kanti nyeletuk asal. Jihan mencubitnya pelan dan Kanti hanya meringis keki.
Eko tersenyum memamerkan deretan
giginya yang rapi dan putih. “ Oh, jadi Jihan lagi naksir cowok ya? Siapa dulu
orangnya. Kalau aku kenal pasti aku bantuin,” Eko menawarkan bantuan tanpa
basa-basi. Langsung saja Jihan yang tadi seperti bunga layu langsung segar
kembali dan bersinar-sinar.
“ Sama si Tio, bisa gak?” beritahu
Kanti. Jihan yang terlalu bahagia tidak bisa ngomong apa-apa hanya
manggut-manggut persis patung kucing selamat datang di toko-toko orang
tionghoa. Bukan hal yang aneh kalau ada sebagian anak yang memanggil Ganang
dengan nama Tio, terutama mereka yang cukup kenal dekat dengan Ganang. Itu
panggilan Ganang di keluarganya dan Kanti yang pernah satu sekolah walaupun
jaman TK sudah memanggil demikian sejak mereka berkenalan pertama kali. Jadi
begitu tahu Ganang adalah temannya semasa TK dulu, otomatis panggilan yang
keluar dari mulutnya adalah Tio.
“ Akh dia mah aku kenal, rumah
nenekku satu komplek sama dia. Ok deh aku bantuin,” kata Eko sambil
mengacungkan ibu jari. “ Lagian buat orang kayak kamu gak susah masarinnya,
kecuali si Kanti nih, harus ada ekstra iklan buat masarinnya,” Eko bercanda
sambil tergelak diikuti Jihan.
“ Brengsek kamu Ko,” Kanti pura-pura
meninjunya lalu dia sendiri ikut tergelak.
“ Nah kamu sudah bisa tenang Han,
tunggu kabar selanjutnya saja,” Kanti menenangkan sahabatnya.
“ Ok deh Ko, kabar-kabari kalau ada
berita ya?” Jihan mengatakannya dengan muka bersemu merah jambu. Eko tersenyum.
“ Sudah sana . Balik ke kelasmu. Jangan ganggu
permainan kita lagi,” Kanti pura-pura mengusir Jihan.
“ Ok deh. Bye bye semua,” katanya
riang.
Siang ini Kanti tidak langsung
pulang ke rumah. Hari ini dia niat mau ke perpustakaan untuk mengembalikan buku
pinjaman sekaligus meminjam buku baru lagi. Sekolahan sudah mulai sepi, anak
kelas satu yang masuk siang baru satu dua yang sudah datang.
Perpustakaan sekolah yang terletak
di belakang gedung utama tak kalah sepinya. Hanya ada bu Daliana, penjaga
perpustakaan yang seperti biasa berkutat dengan buku kunjungan. Setelah berbasa
basi sebentar untuk mengembalikan buku dan mengisi buku kunjungan, Kanti
memilih deretan meja baca didekat jendela. Diletakkannya tas ranselnya dan
mulai mencari buku yang hendak dibacanya sebentar dan kalau ceritanya menarik
tentu saja akan dipinjamnya untuk dilanjutkan baca di rumah.
“ Kamu juga dapat tugas dari bu Naya Kan!!?” suara seorang cowok dari sampingnya membuatnya spontan menoleh.
Dilihatnya Tio tengah mencari buku di rak paling atas disebelahnya.
Kanti tersenyum dan menggeleng. “
Tugas apaan?? Gak tuh!!,” jawabnya sambil kembali mencari buku.
“ Biasalah, diminta mencari buku
sastra tahun puluhan gitu. Terus disuruh mengambil intisari dari cerita yang
dibuat,” Tio menjelaskan panjang lebar. Kanti manggut-manggut mengerti.
“ Kamu madol ya pas pelajaran Bahasa
Indonesia?? Jadi dapet tugas ribet begini,” Kanti nyeletuk yang diikuti derai
tawa Tio. “ Tau aja kamu Kan ,”
katanya. Kanti tersenyum pura-pura mencibir. “ Sudah ketahuan sih karena si
Wengku juga dapet tugas begituan dari bu Naya,” katanya. Wengku, teman sekelasnya yang senin kemaren
madol seharian ketiban duren
dapet tugas dari bu Naya yang sama persis dengan yang diberikan ke Tio.
Tio tertawa kembali. Untung yang
sedang di perpustakaan hanya mereka berdua, coba kalau lagi rame. Bisa diusir
paksa mereka.
“ Nih kamu buat intisari cerita ini
saja,” Kanti menyodorkan buku berjudul Tembang Ilalang pada Tio. “ Ceritanya
tentang apaan?” tanya Tio sambil mengambil buku itu dan membaca ringkasan di
cover belakang buku. Sambil mencari bacaan buat dirinya sendiri, Kanti
menceritakan sedikit penggalan cerita dari buku tersebut yang masih diingatnya.
“ Lumayan,” kata Tio. “ Eh sekalian lah Kan kamu bantuin aku
buat nih tugas. Lama kalau harus baca sendiri, bisa mingguan aku bacanya.
Padahal kan
jumat besok harus sudah di kumpulin. Kalau gak selesai bisa gak ikut UAN aku,”
Tio ngoceh dengan memohon panjang lebar.
Kanti menoleh, memandang Tio yang
sedang cengengesan sambil berpikir.
“ Okelah,” putusnya sambil berjalan
kearah meja yang tadi sudah dipilihnya.
“ Asyik!!!!” kata Tio riang sambil
mengikuti Kanti.
Sejak itu, entah sudah berapa kali
mereka bertemu di perpustakaan pada jam pulang sekolah. Sekadar ngobrol bareng
sambil mencari bacaan atau mengerjakan tugas sekolah masing-masing.
Awalnya Kanti merasa biasa saja, toh
mereka dulu pernah temanan. Tapi soal hati siapa yang tahu??
Dia juga gak pernah cerita pada
Jihan perihal pertemuan-pertemuan dirinya dengan Tio di perpustakaan. Karena
menurutnya itu hanyalah sebuah ketidak sengajaan, toh dia sendiri tidak pernah
mengajak atau diajak Tio ke perpustakaan bareng. Semuanya mengalir begitu saja.
Tapi kini Kanti mulai takut. Takut
dengan hatinya dan takut kalau Jihan akan marah. Pernah suatu kali Jihan belum
dijemput dan akhirnya menunggu jemputan bareng Kanti di perpustakaan. Saat itu
Tio datang dan langsung menyapa Kanti dengan riang dan ramah. Ada sebentuk keterkejutan dan keheranan di
wajah Jihan. Besoknya Jihan mencecarnya dan Kanti mengatakan seadanya.
Untunglah sahabatnya itu bisa mengerti dan paham.
Namun itu dulu saat Kanti tidak
merasakan apa-apa, tapi kini???
Setelah berpikir dan menimbang-nimbang
untuk ukuran anak seumurnya, akhirnya Kanti memilih untuk memendamnya sendiri.
Toh bisa saja ini hanyalah perasaan yang bertepuk sebelah tangan. Seperti
prinsipnya, hanya menjadi teman bagi orang yang kita sukai bukanlah akhir bagi
dunia, tapi bisa menjadi awal untuk mengenalnya lebih dekat.
“ Eh Ko!!! Gimana si Tio sama Jihan.
Sudah berapa minggu gak ada kabar apa-apa?” Kanti nyeletuk, teringat kejadian
beberapa minggu yang lewat.
“ Eko yang sedang konsentrasi dengan
langkah bidaknya karena tadi nyaris kalah oleh Kanti hanya memandang Kanti
sekali lewat.
“ Kan !!!” panggilnya setelah diam beberapa
detik dan berhasil membuat langkah bagi bidaknya.
“ Hmm,” kini giliran Kanti yang
sedang serius.
“ Anak-anak yang lain kayak si Jihan
kan pada
ngebet tuh sama Tio. Kamu sendiri gimana?” tanya Eko santai.
“ Maksudnya?” tanya Kanti tanpa
melirik.
“ Kamu suka gak sama si Tio?” tanya
Eko lagi, kali ini tanpa tedeng aling-aling.
Kanti memandangnya dalam diam. Ada serbuan gelombang di
dada dan perutnya. Setelah cukup menenangkan diri, Kanti tergelak. “ Ya gak lah
Ko. Kamu sendiri bisa lihat kan ?
Kelas aku sama dia itu beda banget. Kasian akunya Ko kalau sampai suka sama
Tio, kebanting,” Kanti menjelaskan lalu tertawa kembali. “ Gak lah Ko. Aku gak suka dia,” katanya
kemudian sambil tersenyum yang
sebenarnya setengah dipaksa.
Eko ikutan tertawa dan
mengangguk-angguk tanda mengerti. Tak lama pandangan cowok di depannya ini
berubah lalu dengan spontan dia mengangkat tangan, seperti menyapa seseorang. “
Woi Yo!!! Tumben kemari, “ katanya.
Melihat tingkah Eko, Kanti ikutan
menoleh untuk melihat siapa yang sedang disapa Eko.
Kontan matanya mendelik dan debaran
di jantungnya tiba-tiba bergolak. Dilihatnya Tio sedang berada di meja Wengku,
dua meja di belakangnya, sedang duduk membelakanginya. Pandangan Tio yang kini
menatap ke
arah mereka tak bisa diartikan.
Kanti mengigit bibir bawahnya,
yakinlah dia kalau Tio mendengar semua ucapannya tadi. Apalagi kelas sedang
sepi karena jam istirahat. Ada
rasa bersalah yang menikam hatinya. Tapi setelah diingat-ingat sepertinya tak
ada kalimat khusus yang mengacu pada penghinaan terhadap diri Tio. Justru
dirinyalah yang terluka dengan mengatakan hal yang justru bertentangan dengan
suara dihatinya dan didengar sendiri oleh orang yang sudah membuat dirinya
beberapa waktu ini berada dalam kebingungan dan perasaan yang tak pasti.
Sejak itu Kanti membatasi diri untuk pergi ke perpustakaan. Dia
memilih untuk datang ke sana
pada jam istirahat. Baru kalau terpaksa sekali dia akan pergi ke sana sehabis bel pulang
sekolah.
Beberapa waktu setelah kejadian itu,
Jihan bercerita padanya bahwa dia sudah mulai berhubungan dekat dengan Ganang.
Kanti tahu harusnya dia bergembira sepenuhnya, tapi entah kenapa ada sedikit
rasa sakit yang dirasakannya. Dia ingin minta maaf pada Tio tentang semua
ucapannya waktu itu, tapi entah kenapa separuh hatinya yang lain mengatakan itu
tidak perlu. Dan pada akhirnya dia memilih mengikuti suara sebelah hatinya itu.
Hubungan Jihan berjalan beberapa
minggu dan bulan. Bahkan semenjak dua bulan yang lalu mereka resmi jadian.
Sering Kanti diajak Jihan untuk jalan ke mall bareng atau sekadar nongkrong di
BKB—Benteng Kuto Besak dan lari pagi di KI—Kambang Iwak, tapi Kanti selalu
menolaknya dengan halus.
Entah ini perasaan Kanti atau memang itu tengah terjadi. Perlahan
Jihan seperti menjauhinya. Mereka sudah jarang ngobrol dan bertukar cerita lagi.
Berita yang Kanti terima dari teman-teman yang lain bahwa hubungan Jihan dan
Tio memburuk pun semakin banyak dan sering. Kalau dia berusaha bertanya pada
Jihan, gadis itu akan menjawab ketus dengan kalimat jangan mencampuri urusan
orang.
Puncaknya, sebulan sebelum UAN, Jihan dan Tio putus. Dan semenjak
itu Kanti benar-benar menyadari bahwa Jihan juga menjauh darinya. Mereka tidak
lagi bertegur sapa. Semua teman Kanti dan Jihan yang satu angkatan bertanya
heran. Tapi Kanti selalu berusaha menjawabnya dengan tenang seolah tidak ada
apa-apa.
UAN sudah selesai. Ujian masuk SMA pun sudah selesai. Tinggal
menunggu malam perpisahan dan liburan panjang menuju transisi masa SMP ke masa
SMA.
Kanti berjalan menyusuri komplek perumahan Raya Residence di bawah
terik matahari menjelang sore. Tadi dia datang kemari naik bus, sendirian.
Tawaran Mas Saka, kakaknya, untuk diantar dengan motor ditolaknya halus. Dia
ingin pergi sendiri dengan satu tujuan. Menyelesaikan masalah dengan Jihan,
walaupun dia sendiri bingung dengan apa yang sudah terjadi diantara mereka.
Kanti juga sudah siap kena amuk oleh Jihan. Kalaupun sehabis ini
harus ada permusuhan yang lebih besar, dirinya sudah siap. Yang penting dia
sudah tahu dimana salahnya dan ada apa sebenarnya.
Kanti menghembuskan nafas pelan sebelum memencet bel rumah Jihan.
Pintu terbuka, Raihan, adik Jihan yang masih kelas dua SD menyambutnya riang.
Setelah berbasa-basi dengan seluruh keluarga Jihan. Kanti menaiki tangga menuju
kamar Jihan.
Dipegangnya gagang pintu. Klek, ternyata pintunya tidak terkunci.
Kanti menutup pintu dibelakangnya dan mendapati Jihan yang sedang tiduran
sambil membaca majalah menatapnya nanar sekaligus bingung.
“ Mau apa?” katanya ketus, sembari duduk bersila di atas kasur.
Kanti masih berdiri tanpa suara ditempatnya. “ Mau minta penjelasan,” katanya.
“ Apa??”
“ Kenapa kamu menjauhi aku seperti wabah penyakit? Apa aku membuat
ucapan atau tingkah yang melukaimu?” Kanti mulai mengeluarkan unek-uneknya.
Dilihatnya tubuh Jihan sedikit menegang.
Jihan meliriknya tajam. “ Memang kamu penyakit. Penyakit Munafik,”
katanya tajam.
“ Memang aku kenapa?” kali ini Kanti berjalan mendekati tempat tidur
Jihan, dagunya terangkat.
“ Alah,” Jihan menepiskan tangannya di udara. “ Jangan pura-pura gak
merasa. Sadar dong kalau kamu itu sudah menusuk orang yang kamu anggap sebagai
sahabatmu ini dari belakang.’
“ Menusuk bagaimana?” Kanti mulai frustasi.
Jihan yang sudah sama jengkelnya berdiri dan berkacak pinggang di
depan Kanti. “ Kamu tahu kenapa aku putus sama Ganang?” katanya tajam. Kanti
menggeleng. “ Karena dia mengaku suka orang lain. Dan aku gak nyangka orang
lain itu kamu,” tunjuk Jihan.
“ A..aku,” Kanti terbata tidak percaya.
“ Aku sudah menduga dan merasa waktu aku menemanimu di perpustakaan
dan melihat Ganang datang lalu ngobrol akrab denganmu. Dia bukan tipe orang
yang ramah Kan ,” Jihan memulai
penjelasannya. “ Tapi akhirnya kukira dugaanku itu keliru setelah dia mau
mengenalku dan dekat denganku karena Eko, temanmu itu, menyampaikan salamku
padanya. Sampai akhirnya kami jadian dan aku selalu mendapati dia tidak pernah
konsen ketika berada didekatku,” Jihan menelan ludah dan terlihat berusaha
menahan isaknya. Dan kanti mendengarkannya dengan hati bergemuruh. “ Dia selalu
mengalihkan pandangan ke tempat lain. Dan kamu tahu ke mana pandangannya???”
Jihan setengah berteriak. “ Ke arah yang selalu ada dirimu. Akhirnya aku
memaksanya untuk bicara jujur. Dan yeah,” Jihan mengatakannya sambil mengangkat
bahu. “ Dia mengakuinya dan kami putus,” Jihan menyudahi penjelasannya dan
menatap tajam ke arah Kanti.
“ Maaf Han,” Kanti hanya bisa mengucapkannya pelan. Sungguh dia
tidak menyangka semuanya.
“ Kamu tahu yang membuat aku kecewa dan marah??” kali ini Jihan
terisak. “ Bukan karena dia menyukaimu lalu kami putus,” Jihan membersit
hidungnya. “ Okelah aku memang kecewa dan cemburu. Tapi lebih dari itu adalah
bahwa kamu, sahabatku, tidak pernah mau jujur padaku tentang perasaanmu. Kenapa Kan ??
Kenapa???” kali ini isakan Jihan berubah jadi tangis begitupun Kanti.
“ Tidak ada yang memberitahuku bahkan Ganang pun tidak tahu, tapi
aku tahu Kan.
Aku tahu,” Jihan kembali menangis. Kanti menangis, merosot ke lantai seperti
daging tanpa tulang. Menangis sesegukan terduduk di lantai.
“ Karena kamu sahabatku Han,” Kanti bersuara disela isak tangisnya.
“ Aku tahu kamu sangat menyukainya dan karena kamu, aku memilih memendamnya
berharap bahwa waktu akan menguburnya.”
“ Dan kalaupun seandainya aku jujur. Apakah kamu sungguh-sungguh
akan menerima pengakuanku. Kalau ku katakan aku menyukainya. Apa kamu menerima?
Lagipula aku tahu siapa aku Han. Aku berada di dunia yang berbeda dengannya,
aku biasa Han, aku biasa. Sedangkan dia, dia lebih cocok bersama dengan orang
seperti mu,” Kanti menyelesaikan unek-uneknya. Jihan memandang Kanti tak
percaya, ada batu besar yang seolah menghantam pikirannya. Yah, Kanti benar.
Seandainya sahabatnya ini pun jujur apa dia akan menerimanya. Jihan kembali
terisak menyadari bahwa betapa keegoisannya begitu besar. Sahabatnya rela tidak
berbagi agar dia tidak kecewa. Sedangkan dia apa??
Jihan terduduk dan memeluk Kanti. Akhirnya mereka menangis bersama
dan saling berjanji untuk lebih menjaga persahabatan ini dan memulai membuka
diri dengan orang lain. Agar setiap kesalah pahaman seperti ini ada teman lain
yang bisa menjembatani. Agar mereka
tak larut dalam kecurigaan sendiri-sendiri.
***
Kanti menghela nafas dibangkunya. Malam perpisahan seperti ini
kembali mengingatkannya pada seseorang di masa SMP dulu. Seseorang yang tidak
bisa dilihatnya di saat-saat terakhir masa SMP. Padahal Kanti berharap bisa
melihatnya sebagai kenang-kenangan terakhir. Yah, Tio pindah ke luar kota beberapa hari sebelum
malam perpisahan dan Kanti tidak pernah bertemu semenjak ujian selesai sampai
hari kepindahannya.
“ Woi Kan berhenti ngelamun. Yuk foto bareng,”
suara Jihan menyadarkannya. Kanti tersenyum dan ikut saja saat tangan Jihan
menyeretnya.
Ini malam terakhir mereka di SMA. Setelah ini Kanti, Jihan, dan
semua teman-temannya yang lain akan mencari masa depan sendiri-sendiri. Mereka
larut dalam canda dan tawa bersama, seolah hari ini adalah hari terakhir di
dunia dan bahwasannya cadangan kebahagiaan dan tawa mereka harus dihabiskan
malam ini. Dengan riang Jihan dan Kanti ikut larut didalamnya dan bergaya
dengan teman-teman yang lain agar hasil fotonya lebih bisa dikenang.
Delapan Tahun Ke Depan……..
Kanti meregangkan tubuhnya sebelum masuk ke sebuah supermarket yang
terdapat di kawasan sebuah mall di Jakarta Barat. Sore ini, setelah shiftnya
selesai, dia bermaksud hendak berbelanja. Maklum kulkas di kamar kosnya sudah
kosong melompong minta diisi. Dan baru sore ini dia punya kesempatan berbelanja
setelah seminggu yang penuh dengan kepanikan akibat siklus tahunan penyebaran
penyakit demam berdarah.
Kanti mendorong troly dan mulai memilih-milih bahan makanan di
deretan rak yang tersusun rapi.
Bruukkk, seorang anak kecil yang tengah berlari-lari menabraknya.
Membuat dompet yang dipegangnya jatuh dan membuat isinya yang kebanyakan kartu
jadi berserakan. Kanti hendak memungut barang-barangnya saat mendengar anak itu
menangis, mungkin karena kaget dan terpeleset. Spontan Kanti mambantunya
berdiri dan menenangkannya. Tak lama ibu si bocah datang dan mengucapkan terima
kasih setelah sebelumnya meminta maaf pada Kanti.
Kanti membereskan barang-barangnya dibantu dengan pengunjung lain.
Terlihat olehnya nama tanda pengenal yang biasa dipakai di rumah sakit terlempar jauh
ke ujung rak. Kanti baru mau memungutnya saat tangan seseorang meraihnya.
Sambil berdiri dan menerima kartu tanda pengenalnya Kanti mengucapkan terima
kasih dan berlalu.
“ Kanti!!!” sebuah suara seperti memukul lonceng di kepalanya,
menembus selubung yang membentengi hatinya. Suara ini, suara yang sangat
dirindukannya. Yang tak pernah lewat dalam setiap doa dan sujud panjangnya.
Yang selalu membuatnya merasa bersalah membohongi setiap pria yang dekat
dengannya. Sampai pada akhirnya dia memilih berserah diri.
“ Maulinda Kinanti!!!,” suara itu kembali berulang. Kali ini menyebut nama lengkapnya.
Kanti menoleh dan mendapati seorang pria, pria yang membantunya
mengambil tanda pengenalnya sedang tersenyum ramah kearahnya. Senyum yang sama
yang pernah dia dapat dari seseorang di masa SMP dulu.
Pria itu mendekatinya dan masih tersenyum padanya.
“ Tio,” katanya lirih setelah pria itu mendekat dan berusaha
tersenyum sekuat tenaga.
“ Syukurlah kamu masih ingat. Kamu sudah jadi bu dokter ya?” Tanya pria itu riang. Kanti
tersenyum tersipu.
“ Kamu sendiri gimana?”
“ Sesuai dengan saranmu,” katanya. Kening Kanti berkerut. “ Kamu ingat
di perpustakaan dulu?” kata Tio, membuat memori Kanti kembali ke masa-masa
menyenangkan dulu. “ Kamu selalu bilang kalau aku berbakat di pelajaran eksakta
ditambah aku lumayan pintar menggambar jadi sekarang aku arsitek,” Tio
memamerkan dirinya. Kanti yang mendengarnya tertawa geli diikuti Tio. Anak ini
masih sama seperti saat mereka sering bertemu dan ngobrol di perpustakaan dulu.
Sepertinya senja hari itu dan seterusnya akan lebih berwarna dengan
tawa yang mungkin sama seperti dulu. Tawa yang akan terus berlanjut untuk
menjelaskan semua kesalah pahaman yang pernah terjadi.
Karena kamu ada, entah sebagai teman atau apapun, aku pun berharap
bahwa aku juga ada, bisik Kanti di dalam hati sambil terus tersenyum dan berbagi
cerita seru dengan Tio di kedai kopi di mall tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar