Minggu, 25 Januari 2015

PESONA - Sebuah cerita

PESONA - Sebuah cerita by Daysee
Inspired by Wacoal Campaign Video 


                Rubi terpekur duduk di ruang tamu sambil memandangi paket yang sudah terbuka dihadapannya. Dilihatnya sekali lagi kertas pembungkus yang sudah dirobeknya dan langsung menyadari kebodohannya.
                “Kenapa ma??” Diaz menegurnya sambil mendekatinya.
                “Aduh Yaz mama bodoh banget nih, gimana nih celaka deh,” Rubi merutuk sendiri dengan nada hampir menangis.
                “Aduh ma emang kenapa?? Paketnya kenapa??? Barangnya salah???” Diaz jadi memilih duduk disebelah mamanya. Tanganya ikutan memegang kertas dan kotak paket.
                “He eh. Paketnya salah,” Rubi mengangguk pelan.
                “Ya udah telepon aja tempat mama beli kemaren trus barangnya balikin.”
                “Barangnya salah dan alamatnya juga salah Yaz.”
                “Hah!!” Diaz setengah terkejut. “Maksudnya alamatnya salah gimana ma???”.
                “Kamu baca deh alamatnya. Ini paket bukan ditujukan buat mama. Kurirnya salah kirim dan mama udah terlanjur ngebuka paketnya. Gimana dong Yaz???” Rubi menatap anaknya dengan tatapan mau menangis.
                Diaz menghela nafas pelan. Dia sudah hapal dengan sifat mamanya ini. “Ehmm ada alamatnya gak ma di kertas pembungkusnya???” tanya Diaz sambil mengambil kertas-kertas yang sudah robek-robek di atas meja.
                “Hmmm harusnya ada. Mana ya!”. “Nih nih Yaz ada alamatnya,” Rubi mengacungkan kertas yang sudah robek jadi beberapa bagian itu kepada anaknya.
                Diaz meraihnya dan berusaha menyambungnya. “Bisa dicari ma alamatnya. Atas nama Rully Aditya. Kalo saran Diaz daripada mama balikin ke ekspedisinya udah hancur begini mending mama balikin ke alamatnya aja sekalian minta maaf.”
                “Mana coba mama lihat dulu.” Rubi membaca alamat pemilik paket ini dengan seksama sekalian mengingat-ingat jalan menuju alamat yang tertulis. “Hmm besok deh mama coba cari alamatnya.”
                “Ya udah mama beresin gih sampah-sampahnya.” Diaz beranjak masuk ke dalam.
                “Kamu mau kemana Yaz??? Udah ngerjain Prnya??” Rubi setengah berteriak begitu melihat Diaz hilang dibalik pintu.
                “Lagi proses ngerjain ma!!” Diaz tak kalah berteriak.
                “Kamu mau makan apa nak??? Mama mau masak,” Rubi mengintip dari balik pintu kamar anaknya.
                “Bakso aja ma mendung nih hehehe,” Diaz nyengir.
                “Oke deh bos. Kamu gak basket hari ini??”.
                “Kalo gak hujan pergi ma.”.
                Rubi menutup pintu sambil menenteng kertas-kertas pembungkus paket ke dapur.
*

                Rubi sudah memasuki sebuah kawasan perumahan di daerah Kenten Palembang, namun dia bingung begitu masuk dan ketemu persimpangan. Gak ada petunjuk soal blok-blok rumahnya. Akhirnya dia melajukan X-over nya ke arah kanan dengan harapan kalau salah dia bisa memutar. Di tempat duduk penumpang bertengger satu kantong berisi kotak dan satu lagi berisi pastel buatan dirinya.
                Ide membuat pastel mendadak datang tadi pagi. Dia ingin memberikan pastel ini sebagai tanda permintaan maaf. Bukankah semua orang suka makanan enak dan membuat makanan enak termasuk salah satu kemampuannya. Jadi tidak ada salahnya memberikan makanan sebagai permintaan maaf. Mungkin saja pemilik paket bernama Rully ini memiliki keluarga yang bisa turut mencicipi makanan buatannya.
                Rubi sudah nyaris mengelilingi kompleks perumahan ini yang ternyata luas banget. Matanya sampai pegal memelototi setiap rumah namun hasilnya masih nihil. Akhirnya dia memilih memarkirkan X-overnya di bawah sebuah pohon rindang di dekat taman bermain sambil sekali lagi membaca alamat yang tertulis di atas kertas coklat pembungkus paket.
                “Bodohnya,” umpatnya pelan sambil tepok jidat. Rubi baru sadar di alamat itu selain nama jalan juga tertera nomor ponsel pemilik paket. Kenapa dia gak mencoba menghubungi nomor ponselnya saja dan menanyakan rumahnya langsung daripada capek muter-muter.
                “Halo maaf mengganggu. Saya Rubi,” ucap Rubi ramah begitu nomor diseberang sana terjawab.
                “Praktek?? Oh maaf saya tidak ingin berobat. Saya hanya ingin mengembalikan paket anda yang salah kirim ke rumah saya.”
                “Oh sedang tidak ada di rumah. Iyah saya sudah berada di komplek perumahannya, tapi belum ketemu sama rumahnya. Dimana? Dari gerbang depan ketemu pertigaan belok kiri sampai ketemu papan nama praktek dokter. Oke baiklah saya cari. Iya, nanti saya titip sama asisten rumahnya bapak. Sekali lagi saya mohon maaf. Terima kasih.” Rubi menutup telepon dan bergegas mencari rumah yang disebutkan pria di ujung telepon sana dengan raut sumringah.
                Rully memandangi ponselnya dengan kening berkerut. Seorang wanita baru saja meneleponnya dengan alasan paket yang tertukar. Alasan apalagi ini. Benarkah paketnya benar-benar salah kirim atau hanya akal-akalan seorang wanita yang ingin mendekatinya.
                Rully urung memasukkan ponselnya ke saku celana. Dia memencet-mencet key pad mencari nomor kontak mang ujang, asisten rumahnya.
                “Halo mang,” serunya begitu telepon diangkat. “Mang nanti kalau ada wanita datang bawa paket diterima saja ya. Sekalian perhatiin wanitanya kayak apa.” pesan Rully.
                “Iya mas. Hehehe mas Rully takut ya dia wanita yang mau dijodohin sama nyonya,” kata mang Ujang sambil terkekeh mendengar permintaan majikannya.
                “Mang Ujang suka kalau saya dijodohin sama wanita yang aneh-aneh lagi??? Mau tinggal sama nyonya rumah yang galak dan malas??” Rully berpura-pura marah.
                “Ya enggak lah mas. Eh mas ada mobil berhenti depan rumah. Mungkin itu yang mau antar paket. Nanti saya kabarin lagi ya.”
                “Ya sudah sana. Saya juga mau balik kerja lagi dulu.”
*
                “Mang Ujang yakin pastel ini gak ada apa-apanya??” tanya Rully masih sangsi. Dia sudah duduk di meja makan yang bersambung dengan dapur. Didepannya ada kotak paket yang ternyata sepatu kiriman sepupunya dan sekotak pastel yang tampak menggoda.
                “Enggaklah mas. Tadi saya sudah cicip hehehe enak mas. Yang anter juga orangnya sopan. Dia bawa pastel sebagai permohonan maaf karena sudah terlanjur membuka paket yang salah kirim ini,” jelas mang Ujang. “Yah kalo mas gak mau pastelnya sini buat saya saja. “
                “Enak aja. Saya yang dikasih aja belum makan kamu malah udah makan.”
                Mang Ujang nyengir malu.
                Sepeninggal mang Ujang yang entah pergi kemana, Rully kembali memandang sekilas lalu mengambil satu dan mengucapkan basmallah sebelum memakannya.
                Mang Ujang benar, pastel ini enak, sambal cocol yang dibuat juga enak, tidak terlalu pedas namun rasa asam manisnya terasa.Rully menyomot satu pastel lagi sambil membuka kotak sepatu dan mencobanya. Pilihannya gak salah, sepupunya emang jago kalo soal milih barang bagus hehehe.
                “Mas jangan dihabisin semua, sisain saya satu. Kepengin nih,” suara mang Ujang yang tiba-tiba nongol mengagetkannya.
                “Bisa gak sih gak bikin kaget,” dengus Rully agak kesal. Mang Ujang hanya nyengir. Rully menoleh ke arah meja dan kaget karena dia nyaris menghabiskan satu kotak pastel yang berisi 20an biji itu. “Kamu benar mang, pastelnya enak hehehe.”
                “Tuh kan bener. Makan malamnya masih mau mas? Apa udah kenyang?” tanya mang Ujang sambil menghidupkan kompor.
                “Maulah, kamu panasin aja apa yang kamu masak itu.”
                Rully masih duduk di meja makan sambil menyelesaikan pekerjaannya memeriksa kunjungan pasien ke rumah besok dan kunjungan ke sebuah sekolah menengah pertama akhir minggu ini, sedangkan mang Ujang sibuk di dapur menyiapkan makan malam mereka.
                “Eh mang yang anter nih pastel orangnya kayak gimana??” tanya Rully saat mereka sudah duduk berhadapan di meja makan.
                Mang Ujang menghentikan suapannya dan tampak berpikir sejenak.
                “Cewek mas, orangnya manis, tingginya sedang, langsing, sopan mas pokoknya. Dia juga cerita sudah muter-muter komplek namun gak ketemu dan akhirnya telepon ke ponsel mas Rully. Baru deh ketemu katanya. Dia juga titip salam dan permohonan maaf dan semoga suka dengan pastelnya,” mang Ujang menjelaskan pertemuan tadi siang.
                Rully melamun sejenak kepada suara empuk yang tadi siang mendadak meneleponnya terngiang kembali ditelinganya. Rubi begitulah suara itu memperkenalkan diri.
                “Mas!! Mas Rully!!”
                “Oh kenapa mang??” Rully tergeragap.
                “Makannya udahan??? Kok melamun?”.
                “Udah deh udah kenyang banget, saya masuk kamar duluan ya,” Rully pamit sambil membereskan peralatan kerjanya di atas meja.
                Sambil berbaring di atas tempat tidur tiba-tiba satu ide tercetus dikepalanya. Rully bangkit duduk bersila di atas tempat tidur dan mencari sebuah nomor.
                “Halo maaf dengan siapa?” suara diseberang sana menyahut. Kening Rully berkerut dipandanginya ponselnya, benar nomor yang tadi siang, batinnya. Namun yang menjawab teleponnya bukanlah pemilik suara tadi siang, tapi suara seorang laki-laki yang baru beranjak remaja karena suaranya berat.
                “Maaf apa benar ini nomor ponsel Rubi?” Rully akhirnya memberanikan diri.
                “Iyah benar. Sebentar saya panggilkan.” Terdengar ponsel itu seperti dibawa-bawa. “Ma, ada telepon.” Sebuah suara samar-samar terdengar, tapi Rully yakin dengan pendengarannya. Lalu ponsel itu berpindah.
                “Halo, dengan Rubi!” sebuah suara empuk yang didengarnya tadi siang mengalun. Namun Rully tidak bisa membohongi hatinya mencelos dengan apa yang didengarnya sebelum ini.
                “Saya Rully, yang paketnya anda kirimkan tadi siang. Saya berterima kasih untuk itu dan juga soal pastelnya. Pastel yang anda kirimkan enak.” Rully mencoba bersikap sopan.
                “Oh pak Rully. Syukurlah kalau anda suka. Saya benar-benar minta maaf soal paket itu.”
                “Tidak apa-apa. Sekali lagi terima kasih. Selamat malam.” Ucap Rully.
                Didengarnya Rubi tertawa renyah. “Iya sama-sama. Saya juga terima kasih. Selamat malam.” Lalu sambungan terputus.
                Rully kembali berbaring sambil pikirannya menerawang jauh. Suara yang empuk, tawa yang renyah, orang ini pasti orang yang ceria. Ternyata dia seorang ibu. Tanpa sadar Rully tersenyum kecut. Untuk kali pertama dalam waktu yang sudah sangat lama dia merasa kecewa.
*
                “Kamu jadi gantiin dokter kepala Rudi untuk kegiatan CSR rumah sakit ke SMP negeri 1 sabtu nanti?” Suara lembut Cynthia memasuki ruangan Rully, membuyarkan konsentrasinya yang tengah melihat hasil rontgen seorang pasiennya.
                Rully hanya melihat rekan kerjanya itu sekilas. “Sepertinya begitu. Dokter Rudi sudah bilang padaku kemarin. Beliau terpaksa menggantinya karena bentrok dengan seminar yang harus dihadirinya di Jakarta.”. Rully mengatakannya tanpa menoleh dari laporan yang tengah dipelajarinya sambil mencoret-coret sesuatu di atas kertas.
                Cynthia mengamati rekan kerja dihadapannya. “Kalau begitu, aku boleh ikut kan ya??” ucap Cynthia sambil tersenyum. Rully mendongak sesaat. “Tidak ada batasan dokter yang boleh ikut kan?” tanya Cynthia sambil tersenyum manis.
                “Memangnya kamu tidak ada jadwal hari itu?” tanya Rully sangsi.
                “Ada. Tapi itu bukan masalah. Aku bisa minta digantikan.”
                “Oh,” Rully manggut-manggut.
                “Lagipula aku ingin mencoba lebih banyak berinteraksi dengan anak-anak remaja itu sebelum memutukan apakah aku merasa yakin untuk melanjutkan rencanaku mengambil spesialis anak,” ucap Cynthia. “Bagaimana menurutmu?” tanyanya kemudian.
                “Bagus juga. Ide yang lumayan,” Rully kembali manggut-manggut.
                “Oh ya kamu sudah makan siang??” tanya Cynthia kemudian.
                “Aku sudah minta ambilkan jatah makan siangku untuk diantar kemari.”
                Cynthia menggigit bibirnya sejenak. “Kalau begitu apa aku boleh ikut makan siang di sini?” tanyanya. “Siapa tahu ada hal baru yang bisa aku pelajari darimu siang ini,” wanita itu menyunggingkan senyum cerianya.
                “Terserah saja,” Rully mengangkat bahu.
*
                “Kunjungan dokter??” ucap Rubi tak percaya. “Dalam rangka apa Yaz?”.
                “Enggak tahu ma. Kata ibu guru kunjungan rutin tiap tahun. Untuk anak kelas 7 orangtuanya diminta untuk bisa datang ma,” Diaz menyampaikan amanat gurunya yang sebenarnya nyaris telat.
                Dia baru ingat undangan dari sekolahnya itu pagi ini saat tengah membereskan buku-buku pelajaran. Undangan itu terselip diantara paper tugas sekolahnya dan baru terlihat pagi ini. Agak takut dirinya saat harus memberitahu mamanya pagi ini.
                “Kok kamu baru kasih info mama sekarang sih??” Rubi protes. Sebisa mungkin ditahannya perasaan marahnya karena keteledoran anak laki-lakinya ini, tapi pun begitu nada suaranya tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya.
                “Maaf ma. Diaz bener-bener lupa,” ucapnya takut-takut. “Tapi mama bisakan hadir?”.
                Rubi menatap anaknya sejenak. Dihembuskannya nafas pelan. “Sudah kamu habisin sarapanmu dulu dan berangkat sekolah. Nanti mama lihat jadwal mama dulu,” perintahnya tegas, tanda tidak mau dibantah.
                Rubi membaca sekilas undangan yang diletakkan Diaz diatas meja sepeninggal anaknya menuju sekolah. Cukup penting karena disebutkan akan ada pemeriksaan kesehatan anak didik yang wajib diketahui oleh orang tua. Dari sana juga bisa dilihat apakah anak didik diam-diam merokok atau terlibat dalam kenakalan remaja seperti alkohol dan obat-obatan.
                Rubi menggigit bibir bawahnya. Hari ini dia ada jadwal bertemu beberapa klien baik yang membuat janji untuk datang kekantornya atau yang minta ditemui di tempat usaha masing-masing. Rubi mendaftar beberapa klien yang bisa dia geser ke hari besok dan mencoba menghubungi beberapa klien untuk mengubah jadwal pertemuan hari ini. Pagi ini sebelum menuju sekolah anaknya Rubi memutukan untuk datang ke tempat usaha salah seorang kliennya yang terkenal strict. Dia memutuskan untuk datang menemui kliennya lebih awal dan mengatakan secara langsung alasan dia harus mengubah jadwalnya.
                Rubi tergesa keluar dari mobilnya ditengah parkiran yang sangat penuh. Dia sudah sangat terlambat. Setengah berlari dia memasuki ruangan pertemuan yang sudah penuh sesak. Saat dia berhasil duduk setelah diantar oleh seorang guru dan diberikan sebuah buklet sorang dokter laki-laki tengah membawakan presentasinya terkait penyakit menular yang bisa menjangkiti anak-anak remaja produktif. Rubi manggut-manggut mendengarkan dengan seksama dan bertekad untuk meminta hasil check up  putranya.
                “Demikianlah pemaparan dari dokter Rully Aditya. Bagi yang ingin bertanya seputar kesehatan anak dan keluarga kami membuka sesi tanya jawab.” Suara moderator membahana di seluruh penjuru gedung.
                Rubi terperenyak mendengar suara moderator. Dokter Rully Aditya, gumamnya dalam hati. “Mirip sama pemilik paket yang minggu lalu aku datangi. Papan nama prakteknya tulisannya dokter Rully Aditya? Apa kebeneran namanya sama ya??” gumam Rubi mengernyit. Rubi berusaha menjulurkan lehernya demi bisa melihat jelas wajah sang dokter. Maklum dia kebagian duduk di deretan belakang dan jaraknya cukup jauh dengan tempat dokter itu duduk.
                “Dokter Rully?” sapa Rubi saat sesi acara itu usai. Rubi sengaja menunggu ruangan cukup sepi untuk bisa menghampiri sang dokter yang tengah sibuk membereskan peralatan dan paper di atas meja.
                “Oh iya. Ada yang bisa saya bantu?” Rully mengangkat wajahnya. Sangat lumrah ada orang tua yang menemui dirinya saat sesi sudah usai. Karena bisa saja si orang tua terlalu malu untuk bertanya atau berdiskusi pada sesi tanya jawab.
                “Apa dokter Rully membuka praktek di perumahan Kenten?” tanya Rubi, karena dia takut salah orang.
                “Iyah benar. Tapi itu bukan tempat praktek. Saya hanya memperkenalkan diri sebagai dokter kalau-kalau ada masyarakat yang butuh dokter darurat dan tidak tahu kalau dilingkungannya ternyata ada seorang dokter.”
                Rubi tersenyum sumringah. “Saya Rubi, yang pernah mengantarkan paket anda yang salah kirim ke rumah saya. Senang sekali bisa bertemu.” Rubi mengangsurkan tangannya.
                Rully tercekat sejenak. Kejutan yang terlalu menyenangkan. “Oh anda yang mengirimkan pastel juga kan?? Pastelnya enak. Salam kenal,” Rully tertawa kecil dan balas menjabat tangan dihadapannya.
                “Terima kasih,” Rubi mengangguk ramah.
                “Itu paket kiriman dari sepupu saya di Bandung. Agak aneh kurirnya bisa salah kirim.”
                “Namanya juga manusia dok pasti ada khilafnya.”
                “Hahaha iyah. Hmm anda bisa panggil saya cukup dengan Rully, tidak usah dokter.”
                “Oh ya?? rasanya tidak sopan, tapi baiklah kalau dokter lebih suka begitu.”
                “Rul udah kelar??” suara Cynthia memutus obrolan santai diantara mereka. “Maaf anda orang tua siswa?? Hasil tes bisa diambil di rumah sakit jika mau.” Ucap Cynthia ramah.
                “Oh iya maaf mengganggu. Saya jadi lupa,” Rubi baru sadar dia sudah menyita waktu Rully. “Iyah saya orang tua siswa. Saya tadi memang ingin menanyakan perihal hasil tes siswa. Terima kasih dok atas infonya,” Rubi tersenyum ramah pada Cynthia. “Mari Rully saya pamit dulu. Terima kasih.” Rubi langsung pamit dan tak lupa tersenyum pada Cynthia.
                Rully masih memandang kepergian Rubi dengan senyum tipis yang maih tanpa sadar tercetak dibibirnya. Dugaanya tidak salah. Rubi memang wanita yang cukup menyenangkan untuk diajak ngobrol.
                “Kenalanmu?” tanya Cynthia tiba-tiba.
                “Oh dia?? Rubi maksudmu? Iyah begitulah.” Rully kembali membereskan berkas-berkas di atas meja dan memasukkannya ke dalam map.
                “Teman lama?”tanya Cynthia lagi.
                “Bukan. Ayo kita harus ikut kegiatan selanjutnya. Acara periksa giginya masih kan?” tanya Rully sambil berjalan keluar.
                Cynthia memandangi punggung laki-laki yang mengenakan kemeja batik coklat itu dengan setengah kesal.
*
                Rubi tersenyum ramah dan berdiri dari duduknya saat Rully menghampirinya. Rubi memang sengaja mampir sebentar ke rumah sakit untuk mengambil hasil tes Diaz. Beberapa waktu lalu Rully meneleponnya jika ingin mengambil hasil tes Diaz dia bisa mencari Rully di rumah sakit.
                “Hai!” sapa Rubi ramah.
                “Baru balik kerja?” tanya Rully sambil mengangsurkan sebuah amplop dan duduk di samping Rubi.
                “Iyah. Sori ganggu karena aku bisanya ambil setelah jam kerja.”
                “Gak masalah. Saya juga habis istirahat.”
                “Bagaimana hasil tes kesehatan Diaz?” tanya Rubi langsung.
                “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semuanya sehat.”
                “Syukurlah kalo begitu. Kalau begitu saya pamit dulu sudah sore.” Rubi berdiri diikuti Rully. Dan Rubi meninggalkan lobi rumah sakit setelah mereka berjabat tangan.
                Rully menggeleng sejenak dengan raut wajah yang sulit diartikan ketika melihat Rubi bergerak menjauh.
                “Rubi!!! Kamu ngapain di sini?? Siapa sakit?? Diaz???” suara seorang wanita membuat langkah Rully yang sudah bergerak menjauh menghentikan langkahnya sejenak. Dia mengenali suara ini. Suara perawat kepala yang biasa bekerja dengannya di ruang operasi. Perawat Siska.
                “Ya ampun Siska. Iyah aku lupa kamu kerja di sini. Enggak Diaz sehat kok. Aku hanya mengambil hasil tes nya di sekolah tiga hari lalu. Kamu apa kabarnya??? Mas Bayu apa kabarnya??”.
                “Alhamdulillah semua sehat. Kamu gimana??? Kapan kamu undang aku??? Masa masih belum ketemu yang cocok sih???” Siska menggoda teman sekolahnya ini sambil tertawa kecil.
                Rully masih enggan untuk beranjak, tanpa sadar dia berdiri di koridor rumah sakit yang jarang dilewati orang karena menuju ruangan pribadi para dokter itu tanpa bergerak. Dia masih bisa dengan jelas mendengar pembicaraan dua orang itu di pintu keluar samping rumah sakit.
                Didengarnya tawa renyah Rubi. “Doain aja Sis.”
                “Eh aku absen dulu yah, dapet piket sore. Ntar kita ngobrol lagi. Nomor ponselmu masih yang lama kan??” Suara Siska terdengar buru-buru.
                “Iyah. Ya udah aku balik dulu ya. Dah Siska.”
*
                “Hai Sis?” Rully masuk ke ruang perawat yang sudah agak sepi.
                “Loh dok belum balik?” Siska melihat sekilas ke jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh lewat.
                Rully hanya tersenyum. “Kamu kenal Rubi?” tanyanya to the point.
                “Rubi??” Siska masih gak yakin Rubi siapa yang dimaksud oleh dokter dihadapannya ini.
                “Iyah Rubi yang tadi sore ketemu sama kamu di lobi samping,” tukas Rully menanggapi kebingungan Siska.
                “Ohh. Dokter kenal sama Rubi teman saya itu?” senyum sumringah terkembang di wajah Siska.
                “Baru. Gak sengaja. Kamu kenal dia?” tanya Rully agak ragu. “Tadi dia datang menemui saya untuk mengambil hasil tes.”
                Senyum Siska kembali terkembang. “Dia teman sekolah saya waktu di SMA dok.”
                Rully manggut-manggut. Wajahnya tampak ingin mengatakan sesuatu namun ia agak ragu. “Dia janda ya?” tanya Rully akhirnya dengan suara pelan.
                Kening Siska mengernyit sesaat. “Setahu saya Rubi malah belum pernah merit, gimana dokter bisa bilang dia janda?” Siska masih gak mengerti.
                “Tapi dia sudah punya anak kan??”
                Satu pemahaman tertulis jelas di wajah Siska. Wanita itu tersenyum sesaat. “Dia memang punya anak, tapi dia bukan seorang janda. Dia belum pernah menikah,” tegas Siska.
                Rully akhirnya memilih duduk di kursi sofa di dalam ruangan. Dipandangnya Siska sejenak sebelum berkata , “Bukan janda. Belum menikah. Punya anak remaja. Apa maksudmu dia pernah melakukan kesalahan, kenakalan masa remaja dan memilih bertanggung jawab dengan kenakalannya dalam bentuk seorang anak?” ucap Rully panjang lebar.
                Mulut Siska membulat. Agak takjub oleh ucapan Rully. Bukan karena ucapan Rully karena dulu pun sebelum tahu apa yang terjadi pada Rubi tanpa sadar Siska menghakimi temannya itu demikian. Dia takjub karena ternyata Rully bisa bicara panjang dan banyak karena biasanya Rully pelit bicara.
                “Dokter menyukai teman saya?” tembak Siska langsung. Rully agak terperanjat dibuatnya. Sesaat dia salah tingkah.
                “Saya penasaran,” ucapnya diplomatis.
                “Rubi Ayunda memang memiliki seorang anak. Tapi dia single sesingle singlenya. Dia belum pernah menikah. Saya tidak tahu cerita lengkapnya tentang Diaz karena Rubi tidak pernah mau membahasnya. Yang saya tahu hanya satu, Diaz bukan anak biologisnya.
                “Awalnya kami semua berpikir seperti yang dokter pikirkan. Namun saya yang kebetulan belajar di sekolah keperawatan otomatis menganalisis Rubi dari segi medis. Walau kami jarang bertemu karena kesibukan kuliah saya tahu seperti apa Rubi. Saya pernah iseng menanyakan tanggal dan tahun kelahiran Diaz. Dari sana saya tahu, Diaz lahir saat kami semua sedang mengikuti ujian akhir sekolah. Dari sana saja saya tahu Diaz bukan anak biologis Rubi. Tapi tentang siapa orang tua biologis Diaz, Rubi tak pernah mau membahasnya. Baginya cukup orang tahu dialah ibunya Diaz.
                “Sebenarnya dia diterima sekolah di salah satu universitas bergengsi di Singapura apalagi orang tuanya termasuk sangat mampu. Tapi demi bayi mungilnya dia memutuskan untuk tetap kuliah di Palembang,” Siska mengakhiri ceritanya.
                Rully memandang Siska tanpa berkedip. Ingatanya melayang pada suara empuk yang didengarnya. Wajah manis nan ramah yang tiba-tiba menemuinya dan memperkenalkan diri dihadapannya. Yang tiba-tiba membuatnya penasaran setengah mati. Tadinya nyali Rully sudah menciut. Bagaimana bisa dirinya menyukai isteri orang lain. Tapi penjelasan Siska membuat rasa yang tadinya malu-malu bangkit menggelora.
                “Terima kasih ceritanya Sis. Benar-benar di luar dugaan.” Rully bangkit berdiri. Ada rasa lega yang mendobrak keluar. Senyum tersungging dibibirnya.
                “Kalau dokter Rully benar-benar menyukainya. Saya sangat mendukung,” ucap Siska tulus saat doker muda itu beranjak dari duduknya. “Dia layak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya. Dia berlian yang sesungguhnya. Seperti namanya,” Siska tertawa kecil.
                Rully mengangguk pelan dan pamit keluar. Begitu pintu dibelakangnya tertutup rapat. Senyum lebar terkembang dari bibirnya. Sebuah rencana mendadak terlintas dibenaknya.
*
                Sejak membukakan pintu di malam itu dan menemukan dokter Rully yang beberapa hari lalu menjadi dokter pembicara di acara sekolah, Diaz tahu ada yang berbeda.
                Ibunya yang memang ramah dan ceria menjadi lebih hidup. Beberapa kali Diaz dan mamanya diajak makan bareng dokter Rully. Dia juga sudah akrab dengan asisten rumah tangga dokter Rully yang jenaka dan anjing Golden Retriever milik dokter itu.
                Namun naluri laki-lakinya yang mulai dewasa semakin tumbuh. Bukan satu kali ini saja ibunya akrab dengan seorang pria. Namun dari semuanya lebih banyak berakhir kecewa ketimbang bahagia. Dan dia tidak ingin melihat mamanya bersedih apalagi menangis. Diaz tahu siapa dirinya. Namun kebahagiaan wanita yang menjadi ibunya ini adalah segalanya baginya. Tidak bisa dihitung dengan apapun perjuangan wanita ini. Dan baginya ibunya layak untuk mendapat kebahagiaan yang sesungguhnya.
*
                “Apa aku boleh tahu siapa Diaz??” tanya Rully hati-hati. Hubungannya dengan Rubi sudah lumayan dekat. Namun kalau menyinggung soal Diaz tetap saja Rully harus hati-hati. Dia tidak mau kedekatan ini jadi mundur lagi kalau dia sampai salah bicara. Dia butuh kejelasan soal Diaz karena Rully bermaksud untuk memperkenalkan mereka kepada keluarganya.
                “Diaz? Anakku. “ jawab Rubi singkat.
                “Aku dengar cerita soalmu. Tentang bagaimana kamu saat sekolah. Namun aku belum pernah dengar cerita soal Diaz.” Ucap Rully mantap.
                Rubi tersenyum. Dia cukup tahu Rully tahu darimana cerita tentang dirinya. Siska pernah meneleponnya dan berteriak histeris sambil tertawa-tawa.
                “Bagian mana yang kamu ingin tahu tentang Diaz??” akhirnya Rubi memutuskan bicara setelah hening agak lama.
                “Orang tua biologisnya. Apa keluargamu menemukannya lalu merawatnya??” tanya Rully dengan rasa penasaran yang tidak bisa diembunyikan.
                Rubi menggeleng sambil tersenyum tipis. “Dia memang bukan anak biologisku,” Rubi mengatakannya dengan hati yang berat.
                “Kamu tidak pernah bilang pada siapapun siapa orang tuanya?? Apa kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan?? Kamu membuat orang di luar sana yang mengetahui tentang statusmu menuduhmu macam-macam??” tuntut Rully.
                “Kenapa aku peduli?? Mereka tidak tahu apa-apa. itu tidak seberapa menyakitkan untukku karena untuk Diaz itu jauh lebih menyakitkan. Kami saling menguatkan.”
                “Tapi kamu tetap perlu bicara Rubi. Siapa orang tua Diaz yang sebenarnya.”
                “Apa bedanya kalau aku mengatakannya. Nama keluargaku yang tetap akan rusak. Cukup satu kali. Cukup ketika kakakku kawin lari dan meninggalkan seorang bayi yang hingga detik ini belum pernah ia temui.” Tukas Rubi pedih. Matanya memerah menahan kesedihan. Rully terhenyak mendengar apa yang baru saja Rubi katakan.
                “Jadi Diaz....dia.....”.
                “Yah. Dia anak kakakku secara biologis. Tapi secara hukum dia adalah anakku. Anakku yang sah.  Diaz memang bukan lahir dari rahimku, tapi dia lahir dari hatiku. Ketika orangtuaku yang malu atas perbuatan kakakku ingin membuang bayi tak berdosa itu. Aku jatuh cinta saat melihat binar mata mungilnya. Aku memutuskan mengasuhnya walaupun orangtuaku tidak pernah setuju. Lalu apa yang harus aku katakan pada dunia luar. Diaz bukan anakku. Tidakkah itu akan lebih menyakitkan??”. Rubi mengakhiri ceritanya.
*
               
                “Rul!” suara mama diseberang telepon membuat Rully harus berkonsentrasi mendengarkannya. “Cynthia bilang kamu lagi dekat dengan seorang wanita yang sudah memiliki anak ya???”.
                Rully memanyukan bibirnya tanpa suara begitu mendengar nama Cynthia disebut. Anak dari teman lama ayahnya yang juga rekan kerjanya itu sebenarnya memang hendak dijodohkan dengan Rully. Tapi bagi Rully Cynthia seperti seorang adik manis yang manja bukan seorang wanita yang ingin dijadikannya pendamping hidup. Rully sudah mencoba segala cara untuk bisa menyukai Cynthia, tapi perasaannya tetap datar saja. Dan dia tidak tahu bagaimana menjelaskan soal perasaannya tentang Cynthia pada orang tuanya.
                “Iya ma. Dia wanita yang baik dan manis. Mama pasti suka.” Ucapnya sambil tertawa kecil.
                “Rul. Dia sudah punya anak. Mama akan lebih suka kalau kamu mengencani wanita single saja. Seperti Cynthia itu.” Ucap mama khawatir.
                Rully tertawa keras. “Ma. Mama juga punya anak kan selain aku. Mama besarin mereka, biayain semua kebutuhan mereka. Mama sendiri yang bilang sayang sama mereka.”
                “Kamu nih ngomong apa sih. Mama bilang apa kamu jawabnya apa. Mereka semua, adik-adikmu itu anak asuh mama. Mereka berhak dapet pendidikan dan kehidupan yang layak. Mama kan tanya soal teman perempuanmu yang sudah punya anak itu kenapa jadi ngelantur ke anak asuh mama.”
                “Nah itu dia. Bedanya kalau anak asuh mama tetap anak orang tua mereka. Karena satu dan lain hal Rubi membuat anak yang sekarang ada padanya sah di mata hukum menjadi anaknya.”
                “Oh jadi namanya Rubi. Bagus namanya.” Komentar mama.
                “Yup, sebaik hatinya. Mama harus ketemu dia.”
                “Jadi maksudmu anaknya dia bukan anak kandungnya??? Dia bukan janda???” tanya mama memastikan.
                “Bukan. Tapi maaf ma Rully gak bisa cerita. Mama percaya sama Rully kan??”.
                “Apa kamu yakin dia gak bohong soal anaknya??” mama masih ragu.
                “Rully sudah memastikan.” Jawabnya mantap.
                “Ehmmm...sepertinya kamu harus ngomong sendiri ke papamu Rul. Baik soal Cynthia maupun soal Rubi.”
                “Iyah ma. Rully akan ngomong langsung sama papa. Langsung dihadapan beliau.” Ucap Rully mantap.
*
                Diaz membukakan pintu untuk ibunya. Anak laki-laki itu mengernyit ketika ibunya masuk. Dia menyusul ibunya ke dapur setelah menutup pintu dan menguncinya.
                “Mama kenapa?” tanyanya sambil ikut duduk di kursi makan.
                “Hmm,” Rubi yang tengah minum menoleh sambil mengernyit. “Kenapa apa?” tanyanya tidak mengerti.
                “Mama banyak kerjaan?” tanya Diaz lagi.
                “Lumayan. Kamu udah makan? Udah nyelesain tugas??” tanyanya kemudian.
                “Nah gitu tuh. Mama aneh deh,” komentarnya yang bikin alis Rubi naik separo. “Biasanya mama udah nanya-nanya Diaz, ini begitu masuk kusut.”
                “Hehehe sori-sori. Mama emang lagi banyak kerjaan,” Elak Rubi. “Ya sudah mama bersih-bersih dulu ya. Kamu lanjutin kegiatan kamu aja.”
                Diaz mengikuti kepergian mamanya dengan tetap rasa penasaran. Tadi sore dokter Rully menelpon ke rumah dan menanyakan kabar mamanya. Aneh mengingat hampir beberapa minggu ini mamanya kerap pergi dengan dokter Rully. Pasti ada apa-apa. Diaz kembali melirik pintu kamar tidur mamanya yang masih terkunci semenjak tadi. Kalau ada masalah antara dua orang dewasa itu, Diaz sudah bisa menebak pasti masalahnya gak jauh berbeda karena dirinya. Tapi bukankah selama ini dokter Rully sangat baik terhadap mereka. Dokter itu sendiri yang mengulurkan tangan untuk mengenal Diaz. Dokter Rully juga beberapa kali mengajak Diaz main kerumahnya, bahkan dia sudah akrab dengan mang Ujang. Dokter Rully juga baik pada Diaz. Beberapa kali mereka main basket bareng. Lalu kenapa sekarang mama murung??? Sebanyak apapun pekerjaan mama, mama gak pernah mengeluh atau pasang tampang kusut. Diaz sudah hapal luar kepala, kalau mama sedang berhubungan dengan seseorang dan mendadak murung pasti ada sesuatu dengan hubungan itu. Tanya enggak ya???. Diaz menggigit bibir ragu. Dia sudah melangkah ke depan pintu kamar, sudah siap hendak mengetuk pintu, namun kemudian urung ketika sebuah ide muncul dibenaknya. Kenapa harus selalu mama yang menjadi pelindungnya?? Dia sudah 12 tahun, sudah cukup besar untuk membela mamanya. Dia ingin mama bahagia sama seperti yang selama ini mama berikan padanya. Lalu kenapa tidak dia membantu mama. Apalagi mama tampak suka dan nyaman dengan dokter Rully.
                Di dalam kamar, Rubi duduk terpekur di atas ranjang. Pertemuannya dengan Cynthia sore tadi masih membekas. Cynthia datang menemuinya dan mengajak bertemu. Wanita itu memperingatkannya untuk tidak lagi menggoda atau bermain-main dengan Rully. Rully terlalu baik untuk orang seperti Rubi. Dada Rubi serasa diremas saat mendengar Cynthia mengatakannya, memangnya orang seperti apa dia ini. Kenapa selalu ujung-ujungnya masalah Diaz. Tidakkah mereka tidak berhak menghakimi seorang anak yang tidak tahu apa-apa. Tidak bisakah mereka melihat Diaz sebagai seorang anak yang butuh untuk dilindungi. Rubi masih akan sangat terima jika dirinya yang dihina, tapi mengatakan Diaz sebagai hasil dari perbuatan dosa membuat Rubi benar-benar mendidih.
                Dia mengakui sepenuh hati jatuh cinta pada sosok Rully yang tulus. Tapi jika ia harus menukar kebahagiaannya sendiri dengan Diaz, dia tidak akan sanggup melakukannya. Karena sesungguhnya Diaz sudah menjadi bagian dari kebahagiaannya itu sendiri.
                Cynthia boleh saja ingin mengambil Rully, tapi Rubi tidak akan pernah terima jika hanya karena Rully dia harus kehilangan Diaz. Oleh karena itu ketimbang repot menjelaskan siapa dirinya dan Diaz kepada Cynthia, Rubi memilih pergi dari hadapan Cynthia.
*
                Rully kaget ketika keluar dari ruang operasi dan mendapat pesan dari perawat penjaga jika ada tamu yang menunggunya di lobi. “Masih anak SMP dok kalau dilihat dari seragam yang dipakenya,” ujar si perawat.
                Rully mengangguk dan bergegas menuju lobi. Bayangan seseorang terbersit dibenaknya.
                “Diaz!!” serunya saat melihat anak laki-laki berkaus olahraga tim basket sebuah sekolah menengah pertama sedang berdiri melihat poster yang dibingkai di dinding. Anak laki-laki itu menoleh dan tersenyum.
                “Ada apa?? kamu sakit??” tanya Rully setelah mendekatinya.
                Diaz menggeleng. Mendadak dia takut dan ragu untuk meneruskan rencananya semalam.
                “Yuk keruangan aja, di sini ramai,” ajak Rully.
                Diaz mengangguk pelan lalu menuju sofa sebentar untuk mengambil tas dan bola basketnya lantas mengikuti Rully.
                “Ayo masuk!” ajak Rully sambil membukakan pintu. “Anggap saja kamar kamu sendiri hehehe. Kamu bolos kegiatan ekskul ya?? sudah makan??” Rully membuka jas putihnya dan mengambil sebotol air mineral untuk Diaz.
                Diaz duduk di sofa dekat lemari kaca, memperhatikan sekilas ruangan mungil milik dokter Rully yang terang benderang karena gordin yang menutupi jendela kaca lebar dibuka.
                “Mama mu tahu kamu kemari??” tanya Rully setelah Diaz meminum air yang disuguhkan.
                Diaz kembali menggeleng. “Pak dokter gak bermaksud memberitahunya kan??” tanya Diaz takut-takut.
                Rully tersenyum penuh arti. “Oke saya akan tutup mulut kamu bolos asal kamu cerita apa yang membawamu datang kemari??”.
                “Apa pak dokter berantem sama mama??” tanya Diaz setelah terdiam cukup lama.
                Alis Rully naik. “Rasanya enggak. Saya malah belum bertemu mama kamu semenjak pulang dari Jakarta. Itulah kenapa saya telepon ke rumah kemaren karena mamamu sulit sekali dihubungi. Memangnya kenapa?” tanya Rully. Kali ini mimik mukanya lebih serius. Pertanyaan Diaz membuatnya waspada. Rasanya jadi masuk akal kenapa Rubi sulit dihubungi. Tapi masalahnya Rully tidak tahu apa yang membuat wanita itu jadi seperti menghindarinya. Yah, Rubi menghindarinya. BBM dari Rully hanya di read tanpa dibalas. Telepon juga tidak diangkat. SMS juga tidak dibalas. Ditungguin depan kantor ternyata Rubi sudah pulang atau keluar kota.
                “Mama murung. Biasanya sekalipun banyak pekerjaan mama tidak pernah begitu. Bisanya mama akan seperti sekarang kalau hubungannya dengan seseorang sedang bermasalah. Terakhir mama begitu saat putus dengan oom Satyo. Saya tidak berani tanya mama, makanya saya memberanikan diri ketemu pak dokter. Karena ini pasti ada hubungannya dengan saya.”
                “Maksud kamu??” Rully tidak mengerti.
                “Diaz pengin mama bahagia. Diaz pengin lihat mama menikah, punya suami dan bahagia. Apa pak dokter..apa pak dokter cinta sama mama Rubi??”.
                Jantung Rully seperti diketuk dengan palu raksasa. “Menurutmu bagaimana??”pancing Rully.
                “Selama ini laki-laki yang deket sama mama pasti pergi karena tahu mama punya Diaz. Mama gak pernah cerita soal itu, tapi Diaz tahu alasan mereka pergi. Bagi mama asal mereka bisa menerima Diaz maka mamapun pasti akan terima. Dan mereka atau keluarga mereka tidak ada yang mau menerima Diaz. Tidak peduli bagaimana mama cinta sama mereka mama pasti akan mundur kalau tahu laki-laki itu atau keluarga mereka tidak mau menerima Diaz.
                “Diaz ingin memberi mama kebahagiaan. Mama sudah membesarkan Diaz seperti anak kandungnya sendiri. Memberi Diaz limpahan kebahagiaan yang tidak bisa diukur. Merawat Diaz saat sakit walaupun besoknya mama ada ujian di kampus. Menyalahkan diri sendiri waktu Diaz masuk rumah sakit karena terkena DBD, dan memilih tidak menerima tawaran kuliah ke luar negeri karena ingin merawat Diaz. Kalau pak dokter cinta sama mama dan keberatan karena ada Diaz di sisi mama, kasih kesempatan Diaz dua tahun lagi.”
                “Tunggu!” potong Rully cepat. “Kamu tahu kamu bukan anak biologis Rubi???” tanya Rully terkejut akan fakta ini.
                Diaz mengangguk. “Awalnya mama shock waktu tahu kalau Diaz tahu siapa Diaz ini. Mama menangis sejadi-jadinya. Semuanya gak sengaja. Diaz tahu waktu mau urus pendaftaran sekolah SMP ini. Waktu itu dari sekolah diminta untuk membawa akta kelahiran. Biasanya soal surat menyurat mama yang urus, tapi hari itu mama keluar kota dan Diaz harus urus sendiri. Diaz gak sengaja mengambil tumpukan dokumen yang salah dan didalamnya ada surat putusan pengadilan soal status Diaz. Jadi Diaz tahu siapa orang tua asli Diaz. Kalau suatu hari nanti orang itu kembali, mungkin dia memang yang melahirkan Diaz, tapi bagi Diaz mama Rubi adalah ibu Diaz yang sesungguhnya. Karena itu Diaz ingin minta tolong sama pak dokter, jangan tinggalin mama. Jika pak dokter gak suka sama Diaz, kasih Diaz waktu dua tahun lagi.”
                “Dua tahun?? Saya gak mengerti Diaz. Saya memang cinta sama mama kamu.” Glek rasanya aneh banget mengatakan ini. Di depan anak kecil pula. “Dan saya juga gak akan melakukan apa-apa terkait keberadaan kamu. Jadi apa maksudnya dengan dua tahun??”.
                “Lulus SMP nanti saya ingin melanjutkan ke sekolah asrama. Mungkin dengan begitu mama akan bisa menemukan kebahagiaanya.” Jawab Diaz mantap.
                Rully terkagum-kagum dengan sosok dihadapannya ini. Inikah didikan seorang Rubi. Jiwa seorang lelaki sejati. Dia jadi ingat saat SMP dulu yang ada dikepalanya justru hanya bermain. Rasanya dia bukan bercakap-cakap dengan anak kecil berusia 12 tahun.
                Rully tersenyum, antara geli dan salut. “Apa kamu pikir mamamu akan mengijinkan kamu masuk sekolah asrama??? Apa menurutmu jika mamamu menikah ia akan bahagia tanpa anak lelaki kebanggaannya disampingnya??”.
                Diaz termangu ditatapnya dokter Rully dengan pandangan takut-takut. “Kita bicara sebagai pria. Saya tegaskan saya cinta sama Rubi, mamamu. Dan tidak ada dalam diri saya yang menyuruh saya untuk tidak menyukai kamu. Saya tidak tahu apa yang membuat Rubi tiba-tiba menjauhi saya. Pasti ada sesuatu yang salah di sini dan saya pastikan saya akan cari tahu apa yang salah di sini.
                “Saat ke Jakarta kemarin, saya mampir ke rumah orang tua saya di Bandung. Saya sudah cerita soal Rubi dan juga kamu. Saya bisa pastikan selama itu untuk kebahagiaan saya dan saya bisa bertanggung jawab atas pilihan saya, orang tua saya menyetujuinya dan mendukungnya. Mereka juga sudah bermaksud untuk datang kemari menemui Rubi dan kamu, serta kakek dan nenekmu. So, ada lagi penjelasan yang mau kamu ketahui, Diaz Anugerah.”
                Hening menguasai lalu perlahan Diaz tersenyum dan mengangguk paham.
                “Apa pak dokter serius??” tanyanya semringah.
                “Apa kamu melihat letak ketidakseriusan saya??” Rully balik bertanya dengan iseng.
                Diaz kembali tersenyum.
*
                Cynthia membuka pintu ruang Rully tanpa permisi. “Kata perawat dibawah kamu kedatangan tamu anak kecil?? Apa dia anak wanita janda itu??”tanya Cynthia ketus. Lebih ketus dari yang diinginkannya.
                “Ada yang salah dengan tamu saya?? Rasanya saya tidak pernah membatasi umur tamu saya. Siapapun boleh menemui saya, termasuk kamu yang masuk nyelonong keruangan saya ini.” Jawab Rully kalem.
                “Gila ya. Gak berhasil lewat dirinya, dia menggunakan anaknya. Benar-benar gak tahu diri.”
                “Wo..wo..wo..tunggu..tunggu siapa yang kamu maksud gak tahu diri???” tanya Rully pura-pura tidak paham.
                “Wanita itu. Sudah diperingatkan agar jangan mengganggu kamu. Eh anaknya sekarang yang dia sodorkan.” Cynthia masih berapi-api. Hatinya sungguh-sungguh panas dan marah. Sepertinya peringatannya tidak digubris sama sekali.
                Rully menutup map dihadapannya. Tatapannya terarah lurus pada Cynthia yang duduk di sofa dengan menyilangkan kaki jenjangnya yang dibalut stoking tipis dan sepatu tinggi.
                “Jadi kamu dalangnya??” ucap Rully dingin.
                Cynthia menoleh. “Harusnya kamu terima kasih dong Rul. Kamu nyadar gak kamu tuh dimanfaatin. Gimana kata orang tuamu kalo kamu berhubungan sama wanita yang sudah punya anak?? Masih banyak loh wanita single di luar sana yang bisa kamu pilih. Apa kamu gak keberatan sama masa lalunya yang begitu.” Cerocos Cynthia. “Masih muda udah punya anak. Apalagi coba kelakuannya kalo gak bener,” Cynthia mendumel.
                Dada Rully rasanya bergemuruh. Kali ini Cynthia sudah benar=benar kelewatan. “Rasanya aku sudah berada pada keputusan yang benar kenapa aku tidak pernah bisa menerima perjodohan denganmu. Kita memang hidup dengan gaya yang berbeda.”
                “Maksudmu??” tanya Cynthia bingung.
                “Terima kasih atas perhatian dan peringatannya Cyn. Tapi biarlah aku memilih sendiri dengan siapa aku ingin menghabiskan hidupku. Kamu emang berhasil menyuruhnya menjauhiku karena sekarang dia memang sedang susah untuk ditemui. Tapi sayangnya aku tidak berminat untuk menjauhi Rubi sama sekali.” Rully berusaha menyunggingkan sebaris senyuman diwajahnya.
                “Kamu gak takut menyesal Rul??” tanya Cynthia pelan. Ada yang berkecamuk di dalam hatinya.
                “Biarlah itu menjadi tanggung jawabku.” Ucap Rully pendek.
                “Kamu gak takut sama orang tuamu?? Apa kamu gak pikirkan reaksi mereka atas status wanita bernama Rubi itu?”.
                Rully mengangkat bahu cuek. “Sayangnya aku sudah menjelaskan pada mereka semua tentang Rubi dan anak laki-laki yang hidup dengannya. Kamu tahu kan seperti apa mereka, walaupun awalnya berat cepat atau lambat mereka pasti akan menerima dan mendukungku. Sama seperti saat aku memutuskan untuk menjadi dokter dan bukan meneruskan bisnis orang tuaku. Aku rasa kamu sudah pernah dengar ceritanya.” Rully tersenyum dingin.
                Cynthia bergeming. Bukan hanya tahu soal pilihan Rully untuk menjadi dokter, tapi dia yang menyaksikan sendiri bagaimana Rully membuat pilihan menggemparkan dalam sejarah keluarganya. Rully adalah orang pertama dalam sejarah keluarganya yang mengalirkan darah pebisnis untuk melawan arus menjadi seorang dokter. Butuh waktu bertahun-tahun bagi keluarganya untuk bisa menerima pilihan Rully sampai akhirnya orang tuanya bisa bercerita pada kolega-kolega mereka dengan santai dan bangga tentang pilihan Rully.
                Dan kini bukan tak mungkin orang tua Rully akan melakukan hal yang sama. Menentang pilihan Rully lalu kemudian waktu yang membunuh keraguan mereka dan menerima kembali pilihan Rully.
                Cynthia kembali menatap Rully yang masih memandangnya dengan dingin. Dia menghela nafas pelan lalu bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan Rully dengan hati yang masih berserakan. Tapi seperti orang tua Rully, dia yakin waktu jualah yang akan membunuh perasaannya pada teman masa kecilnya itu.
                Rully memandang kepergian Cynthia dalam diam hingga Cynthia menghilang dibalik bunyi klek pintu yang tertutup rapat. Dia bukannya tidak tahu perasaan Cynthia, tapi bagi Rully Cynthia akan selalu menjadi teman masa kecilnya. Dunia mereka berbeda.
                Rully melirik jam tangannya lalu bergegas membereskan mejanya, mengambil kunci mobilnya dan bergegas keluar ruangan. Sudah tak sabar hatinya untuk menemui seseorang dan menghapuskan keraguan yang masih menaungi hati Rubi serta menjelaskan duduk persoalannya.
*
                Jantung Rubi rasanya mau copot. Kemarin perasaannya masih biasa-biasa saja, tapi begitu hari H jantungnya seperti tidak mau diajak kompromi. Sekali lagi dia mematut diri di depan cermin untuk memastikan bahwa dandanannya tidak ada yang salah.
                “Mama udah cantik kok. Perfect!” Diaz nyengir diambang pintu melihat kelakuan mamanya.
                “Serius Yaz?? Gak kemenoran kan??” tanya Rubi gugup.
                “Enggak. Mama cantik. Pake banget.” Diaz berjalan masuk.
                “Mama takut Yaz,” ucap Rubi ragu.
                Diaz menggeleng. “Mama gak usah takut. Ada Diaz. Yakin deh sama pak dokter.” Diaz mengedipkan sebelah matanya. “Yuk ma keluar udah dipanggil.” Ajak Diaz sambil meraih tangan mamanya.
                Rubi tersenyum ketika keluar menuju taman samping rumah orang tuanya. Dan keraguannya luntur ketika matanya bertemu dengan Rully. Tangan Diaz hangat menggenggam disebelahnya, mengalirkan kepercayaan diri.
                Yah semuanya akan baik-baik saja. Terima kasih untuk semangatnya Diaz. Terima kasih untuk cintanya Rully. Batinnya sambil tersenyum dan duduk disebelah Rully.
                Lalu, begitu saja Rully mengucapkan janjinya dihadapan orang tua Rubi, dan dengan satu ucapan sah dari orang-orang disekitar mereka. Sah –lah kebahagiaan mereka untuk saling melengkapi.
                Kamu permata yang sesungguhnya Rubi. Terima kasih karena sudah mengantarkan sendiri paket yang salah alamat hari itu. Batin Rully sambil tersenyum puas saat memasukkan cincin ke jari manis Rubi dan mendapati senyum Rubi. Terima kasih atas pesonamu Rubi.
                Lalu mereka semua tertawa bahagia saat melepaskan sepasang merpati putih.
                Rubi memeluk Diaz yang tertawa disebelahnya. Lalu Rully merangkul dirinya dan Diaz dalam satu pelukan hangat.
***
               
NB : Terinspirasi dari sebuah Video Campaign Produk Wacoal.

1 komentar:

  1. puanjangnya :D berhubung masih jam kerja, baru kebaca depannya doang :)

    BalasHapus