PESONA - Sebuah cerita by Daysee
Inspired by Wacoal Campaign Video
Rubi terpekur duduk di ruang
tamu sambil memandangi paket yang sudah terbuka dihadapannya. Dilihatnya sekali
lagi kertas pembungkus yang sudah dirobeknya dan langsung menyadari
kebodohannya.
“Kenapa ma??” Diaz menegurnya
sambil mendekatinya.
“Aduh Yaz mama bodoh banget nih,
gimana nih celaka deh,” Rubi merutuk sendiri dengan nada hampir menangis.
“Aduh ma emang kenapa?? Paketnya
kenapa??? Barangnya salah???” Diaz jadi memilih duduk disebelah mamanya.
Tanganya ikutan memegang kertas dan kotak paket.
“He eh. Paketnya salah,” Rubi
mengangguk pelan.
“Ya udah telepon aja tempat mama
beli kemaren trus barangnya balikin.”
“Barangnya salah dan alamatnya
juga salah Yaz.”
“Hah!!” Diaz setengah terkejut.
“Maksudnya alamatnya salah gimana ma???”.
“Kamu baca deh alamatnya. Ini
paket bukan ditujukan buat mama. Kurirnya salah kirim dan mama udah terlanjur
ngebuka paketnya. Gimana dong Yaz???” Rubi menatap anaknya dengan tatapan mau
menangis.
Diaz menghela nafas pelan. Dia
sudah hapal dengan sifat mamanya ini. “Ehmm ada alamatnya gak ma di kertas
pembungkusnya???” tanya Diaz sambil mengambil kertas-kertas yang sudah
robek-robek di atas meja.
“Hmmm harusnya ada. Mana ya!”.
“Nih nih Yaz ada alamatnya,” Rubi mengacungkan kertas yang sudah robek jadi
beberapa bagian itu kepada anaknya.
Diaz meraihnya dan berusaha
menyambungnya. “Bisa dicari ma alamatnya. Atas nama Rully Aditya. Kalo saran
Diaz daripada mama balikin ke ekspedisinya udah hancur begini mending mama
balikin ke alamatnya aja sekalian minta maaf.”
“Mana coba mama lihat dulu.”
Rubi membaca alamat pemilik paket ini dengan seksama sekalian mengingat-ingat
jalan menuju alamat yang tertulis. “Hmm besok deh mama coba cari alamatnya.”
“Ya udah mama beresin gih
sampah-sampahnya.” Diaz beranjak masuk ke dalam.
“Kamu mau kemana Yaz??? Udah
ngerjain Prnya??” Rubi setengah berteriak begitu melihat Diaz hilang dibalik
pintu.
“Lagi proses ngerjain ma!!” Diaz
tak kalah berteriak.
“Kamu mau makan apa nak??? Mama
mau masak,” Rubi mengintip dari balik pintu kamar anaknya.
“Bakso aja ma mendung nih
hehehe,” Diaz nyengir.
“Oke deh bos. Kamu gak basket
hari ini??”.
“Kalo gak hujan pergi ma.”.
Rubi menutup pintu sambil
menenteng kertas-kertas pembungkus paket ke dapur.
*
Rubi sudah memasuki sebuah
kawasan perumahan di daerah Kenten Palembang, namun dia bingung begitu masuk
dan ketemu persimpangan. Gak ada petunjuk soal blok-blok rumahnya. Akhirnya dia
melajukan X-over nya ke arah kanan dengan harapan kalau salah dia bisa memutar.
Di tempat duduk penumpang bertengger satu kantong berisi kotak dan satu lagi
berisi pastel buatan dirinya.
Ide membuat pastel mendadak
datang tadi pagi. Dia ingin memberikan pastel ini sebagai tanda permintaan
maaf. Bukankah semua orang suka makanan enak dan membuat makanan enak termasuk
salah satu kemampuannya. Jadi tidak ada salahnya memberikan makanan sebagai
permintaan maaf. Mungkin saja pemilik paket bernama Rully ini memiliki keluarga
yang bisa turut mencicipi makanan buatannya.
Rubi sudah nyaris mengelilingi
kompleks perumahan ini yang ternyata luas banget. Matanya sampai pegal
memelototi setiap rumah namun hasilnya masih nihil. Akhirnya dia memilih
memarkirkan X-overnya di bawah sebuah pohon rindang di dekat taman bermain
sambil sekali lagi membaca alamat yang tertulis di atas kertas coklat
pembungkus paket.
“Bodohnya,” umpatnya pelan
sambil tepok jidat. Rubi baru sadar di alamat itu selain nama jalan juga
tertera nomor ponsel pemilik paket. Kenapa dia gak mencoba menghubungi nomor
ponselnya saja dan menanyakan rumahnya langsung daripada capek muter-muter.
“Halo maaf mengganggu. Saya
Rubi,” ucap Rubi ramah begitu nomor diseberang sana terjawab.
“Praktek?? Oh maaf saya tidak
ingin berobat. Saya hanya ingin mengembalikan paket anda yang salah kirim ke
rumah saya.”
“Oh sedang tidak ada di rumah.
Iyah saya sudah berada di komplek perumahannya, tapi belum ketemu sama
rumahnya. Dimana? Dari gerbang depan ketemu pertigaan belok kiri sampai ketemu
papan nama praktek dokter. Oke baiklah saya cari. Iya, nanti saya titip sama
asisten rumahnya bapak. Sekali lagi saya mohon maaf. Terima kasih.” Rubi
menutup telepon dan bergegas mencari rumah yang disebutkan pria di ujung
telepon sana dengan raut sumringah.
Rully memandangi ponselnya
dengan kening berkerut. Seorang wanita baru saja meneleponnya dengan alasan
paket yang tertukar. Alasan apalagi ini. Benarkah paketnya benar-benar salah
kirim atau hanya akal-akalan seorang wanita yang ingin mendekatinya.
Rully urung memasukkan ponselnya
ke saku celana. Dia memencet-mencet key pad mencari nomor kontak mang ujang,
asisten rumahnya.
“Halo mang,” serunya begitu
telepon diangkat. “Mang nanti kalau ada wanita datang bawa paket diterima saja
ya. Sekalian perhatiin wanitanya kayak apa.” pesan Rully.
“Iya mas. Hehehe mas Rully takut
ya dia wanita yang mau dijodohin sama nyonya,” kata mang Ujang sambil terkekeh
mendengar permintaan majikannya.
“Mang Ujang suka kalau saya
dijodohin sama wanita yang aneh-aneh lagi??? Mau tinggal sama nyonya rumah yang
galak dan malas??” Rully berpura-pura marah.
“Ya enggak lah mas. Eh mas ada
mobil berhenti depan rumah. Mungkin itu yang mau antar paket. Nanti saya
kabarin lagi ya.”
“Ya sudah sana. Saya juga mau
balik kerja lagi dulu.”
*
“Mang
Ujang yakin pastel ini gak ada apa-apanya??” tanya Rully masih sangsi. Dia
sudah duduk di meja makan yang bersambung dengan dapur. Didepannya ada kotak
paket yang ternyata sepatu kiriman sepupunya dan sekotak pastel yang tampak
menggoda.
“Enggaklah mas. Tadi saya sudah
cicip hehehe enak mas. Yang anter juga orangnya sopan. Dia bawa pastel sebagai
permohonan maaf karena sudah terlanjur membuka paket yang salah kirim ini,”
jelas mang Ujang. “Yah kalo mas gak mau pastelnya sini buat saya saja. “
“Enak aja. Saya yang dikasih aja
belum makan kamu malah udah makan.”
Mang Ujang nyengir malu.
Sepeninggal mang Ujang yang
entah pergi kemana, Rully kembali memandang sekilas lalu mengambil satu dan
mengucapkan basmallah sebelum memakannya.
Mang Ujang benar, pastel ini
enak, sambal cocol yang dibuat juga enak, tidak terlalu pedas namun rasa asam
manisnya terasa.Rully menyomot satu pastel lagi sambil membuka kotak sepatu dan
mencobanya. Pilihannya gak salah, sepupunya emang jago kalo soal milih barang
bagus hehehe.
“Mas jangan dihabisin semua,
sisain saya satu. Kepengin nih,” suara mang Ujang yang tiba-tiba nongol
mengagetkannya.
“Bisa gak sih gak bikin kaget,”
dengus Rully agak kesal. Mang Ujang hanya nyengir. Rully menoleh ke arah meja
dan kaget karena dia nyaris menghabiskan satu kotak pastel yang berisi 20an
biji itu. “Kamu benar mang, pastelnya enak hehehe.”
“Tuh kan bener. Makan malamnya
masih mau mas? Apa udah kenyang?” tanya mang Ujang sambil menghidupkan kompor.
“Maulah, kamu panasin aja apa
yang kamu masak itu.”
Rully masih duduk di meja makan
sambil menyelesaikan pekerjaannya memeriksa kunjungan pasien ke rumah besok dan
kunjungan ke sebuah sekolah menengah pertama akhir minggu ini, sedangkan mang
Ujang sibuk di dapur menyiapkan makan malam mereka.
“Eh mang yang anter nih pastel
orangnya kayak gimana??” tanya Rully saat mereka sudah duduk berhadapan di meja
makan.
Mang Ujang menghentikan
suapannya dan tampak berpikir sejenak.
“Cewek mas, orangnya manis,
tingginya sedang, langsing, sopan mas pokoknya. Dia juga cerita sudah
muter-muter komplek namun gak ketemu dan akhirnya telepon ke ponsel mas Rully.
Baru deh ketemu katanya. Dia juga titip salam dan permohonan maaf dan semoga
suka dengan pastelnya,” mang Ujang menjelaskan pertemuan tadi siang.
Rully melamun sejenak kepada
suara empuk yang tadi siang mendadak meneleponnya terngiang kembali
ditelinganya. Rubi begitulah suara
itu memperkenalkan diri.
“Mas!! Mas Rully!!”
“Oh kenapa mang??” Rully
tergeragap.
“Makannya udahan??? Kok
melamun?”.
“Udah deh udah kenyang banget,
saya masuk kamar duluan ya,” Rully pamit sambil membereskan peralatan kerjanya
di atas meja.
Sambil berbaring di atas tempat
tidur tiba-tiba satu ide tercetus dikepalanya. Rully bangkit duduk bersila di
atas tempat tidur dan mencari sebuah nomor.
“Halo maaf dengan siapa?” suara
diseberang sana menyahut. Kening Rully berkerut dipandanginya ponselnya, benar nomor yang tadi siang, batinnya.
Namun yang menjawab teleponnya bukanlah pemilik suara tadi siang, tapi suara
seorang laki-laki yang baru beranjak remaja karena suaranya berat.
“Maaf apa benar ini nomor ponsel
Rubi?” Rully akhirnya memberanikan diri.
“Iyah benar. Sebentar saya
panggilkan.” Terdengar ponsel itu seperti dibawa-bawa. “Ma, ada telepon.”
Sebuah suara samar-samar terdengar, tapi Rully yakin dengan pendengarannya.
Lalu ponsel itu berpindah.
“Halo, dengan Rubi!” sebuah
suara empuk yang didengarnya tadi siang mengalun. Namun Rully tidak bisa
membohongi hatinya mencelos dengan apa yang didengarnya sebelum ini.
“Saya Rully, yang paketnya anda
kirimkan tadi siang. Saya berterima kasih untuk itu dan juga soal pastelnya.
Pastel yang anda kirimkan enak.” Rully mencoba bersikap sopan.
“Oh pak Rully. Syukurlah kalau
anda suka. Saya benar-benar minta maaf soal paket itu.”
“Tidak apa-apa. Sekali lagi
terima kasih. Selamat malam.” Ucap Rully.
Didengarnya Rubi tertawa renyah.
“Iya sama-sama. Saya juga terima kasih. Selamat malam.” Lalu sambungan
terputus.
Rully kembali berbaring sambil
pikirannya menerawang jauh. Suara yang
empuk, tawa yang renyah, orang ini pasti orang yang ceria. Ternyata dia seorang ibu. Tanpa sadar
Rully tersenyum kecut. Untuk kali pertama dalam waktu yang sudah sangat lama
dia merasa kecewa.
*
“Kamu jadi gantiin dokter kepala
Rudi untuk kegiatan CSR rumah sakit ke SMP negeri 1 sabtu nanti?” Suara lembut
Cynthia memasuki ruangan Rully, membuyarkan konsentrasinya yang tengah melihat
hasil rontgen seorang pasiennya.
Rully hanya melihat rekan
kerjanya itu sekilas. “Sepertinya begitu. Dokter Rudi sudah bilang padaku
kemarin. Beliau terpaksa menggantinya karena bentrok dengan seminar yang harus
dihadirinya di Jakarta.”. Rully mengatakannya tanpa menoleh dari laporan yang
tengah dipelajarinya sambil mencoret-coret sesuatu di atas kertas.
Cynthia mengamati rekan kerja
dihadapannya. “Kalau begitu, aku boleh ikut kan ya??” ucap Cynthia sambil
tersenyum. Rully mendongak sesaat. “Tidak ada batasan dokter yang boleh ikut
kan?” tanya Cynthia sambil tersenyum manis.
“Memangnya kamu tidak ada jadwal
hari itu?” tanya Rully sangsi.
“Ada. Tapi itu bukan masalah.
Aku bisa minta digantikan.”
“Oh,” Rully manggut-manggut.
“Lagipula aku ingin mencoba
lebih banyak berinteraksi dengan anak-anak remaja itu sebelum memutukan apakah
aku merasa yakin untuk melanjutkan rencanaku mengambil spesialis anak,” ucap
Cynthia. “Bagaimana menurutmu?” tanyanya kemudian.
“Bagus juga. Ide yang lumayan,”
Rully kembali manggut-manggut.
“Oh ya kamu sudah makan siang??”
tanya Cynthia kemudian.
“Aku sudah minta ambilkan jatah
makan siangku untuk diantar kemari.”
Cynthia menggigit bibirnya
sejenak. “Kalau begitu apa aku boleh ikut makan siang di sini?” tanyanya.
“Siapa tahu ada hal baru yang bisa aku pelajari darimu siang ini,” wanita itu
menyunggingkan senyum cerianya.
“Terserah saja,” Rully
mengangkat bahu.
*
“Kunjungan dokter??” ucap Rubi
tak percaya. “Dalam rangka apa Yaz?”.
“Enggak tahu ma. Kata ibu guru
kunjungan rutin tiap tahun. Untuk anak kelas 7 orangtuanya diminta untuk bisa
datang ma,” Diaz menyampaikan amanat gurunya yang sebenarnya nyaris telat.
Dia baru ingat undangan dari
sekolahnya itu pagi ini saat tengah membereskan buku-buku pelajaran. Undangan
itu terselip diantara paper tugas
sekolahnya dan baru terlihat pagi ini. Agak takut dirinya saat harus
memberitahu mamanya pagi ini.
“Kok kamu baru kasih info mama
sekarang sih??” Rubi protes. Sebisa mungkin ditahannya perasaan marahnya karena
keteledoran anak laki-lakinya ini, tapi pun begitu nada suaranya tidak bisa
menyembunyikan rasa kesalnya.
“Maaf ma. Diaz bener-bener
lupa,” ucapnya takut-takut. “Tapi mama bisakan hadir?”.
Rubi menatap anaknya sejenak.
Dihembuskannya nafas pelan. “Sudah kamu habisin sarapanmu dulu dan berangkat
sekolah. Nanti mama lihat jadwal mama dulu,” perintahnya tegas, tanda tidak mau
dibantah.
Rubi membaca sekilas undangan
yang diletakkan Diaz diatas meja sepeninggal anaknya menuju sekolah. Cukup
penting karena disebutkan akan ada pemeriksaan kesehatan anak didik yang wajib
diketahui oleh orang tua. Dari sana juga bisa dilihat apakah anak didik
diam-diam merokok atau terlibat dalam kenakalan remaja seperti alkohol dan
obat-obatan.
Rubi menggigit bibir bawahnya.
Hari ini dia ada jadwal bertemu beberapa klien baik yang membuat janji untuk
datang kekantornya atau yang minta ditemui di tempat usaha masing-masing. Rubi
mendaftar beberapa klien yang bisa dia geser ke hari besok dan mencoba
menghubungi beberapa klien untuk mengubah jadwal pertemuan hari ini. Pagi ini
sebelum menuju sekolah anaknya Rubi memutukan untuk datang ke tempat usaha
salah seorang kliennya yang terkenal strict.
Dia memutuskan untuk datang menemui kliennya lebih awal dan mengatakan secara
langsung alasan dia harus mengubah jadwalnya.
Rubi tergesa keluar dari
mobilnya ditengah parkiran yang sangat penuh. Dia sudah sangat terlambat.
Setengah berlari dia memasuki ruangan pertemuan yang sudah penuh sesak. Saat
dia berhasil duduk setelah diantar oleh seorang guru dan diberikan sebuah
buklet sorang dokter laki-laki tengah membawakan presentasinya terkait penyakit
menular yang bisa menjangkiti anak-anak remaja produktif. Rubi manggut-manggut
mendengarkan dengan seksama dan bertekad untuk meminta hasil check up putranya.
“Demikianlah pemaparan dari
dokter Rully Aditya. Bagi yang ingin bertanya seputar kesehatan anak dan
keluarga kami membuka sesi tanya jawab.” Suara moderator membahana di seluruh
penjuru gedung.
Rubi terperenyak mendengar suara
moderator. Dokter Rully Aditya,
gumamnya dalam hati. “Mirip sama pemilik paket yang minggu lalu aku datangi.
Papan nama prakteknya tulisannya dokter Rully Aditya? Apa kebeneran namanya
sama ya??” gumam Rubi mengernyit. Rubi berusaha menjulurkan lehernya demi bisa
melihat jelas wajah sang dokter. Maklum dia kebagian duduk di deretan belakang
dan jaraknya cukup jauh dengan tempat dokter itu duduk.
“Dokter Rully?” sapa Rubi saat
sesi acara itu usai. Rubi sengaja menunggu ruangan cukup sepi untuk bisa
menghampiri sang dokter yang tengah sibuk membereskan peralatan dan paper di atas meja.
“Oh iya. Ada yang bisa saya
bantu?” Rully mengangkat wajahnya. Sangat lumrah ada orang tua yang menemui
dirinya saat sesi sudah usai. Karena bisa saja si orang tua terlalu malu untuk
bertanya atau berdiskusi pada sesi tanya jawab.
“Apa dokter Rully membuka
praktek di perumahan Kenten?” tanya Rubi, karena dia takut salah orang.
“Iyah benar. Tapi itu bukan
tempat praktek. Saya hanya memperkenalkan diri sebagai dokter kalau-kalau ada
masyarakat yang butuh dokter darurat dan tidak tahu kalau dilingkungannya
ternyata ada seorang dokter.”
Rubi tersenyum sumringah. “Saya
Rubi, yang pernah mengantarkan paket anda yang salah kirim ke rumah saya.
Senang sekali bisa bertemu.” Rubi mengangsurkan tangannya.
Rully tercekat sejenak. Kejutan
yang terlalu menyenangkan. “Oh anda yang mengirimkan pastel juga kan??
Pastelnya enak. Salam kenal,” Rully tertawa kecil dan balas menjabat tangan
dihadapannya.
“Terima kasih,” Rubi mengangguk
ramah.
“Itu paket kiriman dari sepupu
saya di Bandung. Agak aneh kurirnya bisa salah kirim.”
“Namanya juga manusia dok pasti
ada khilafnya.”
“Hahaha iyah. Hmm anda bisa
panggil saya cukup dengan Rully, tidak usah dokter.”
“Oh ya?? rasanya tidak sopan,
tapi baiklah kalau dokter lebih suka begitu.”
“Rul udah kelar??” suara Cynthia
memutus obrolan santai diantara mereka. “Maaf anda orang tua siswa?? Hasil tes
bisa diambil di rumah sakit jika mau.” Ucap Cynthia ramah.
“Oh iya maaf mengganggu. Saya
jadi lupa,” Rubi baru sadar dia sudah menyita waktu Rully. “Iyah saya orang tua
siswa. Saya tadi memang ingin menanyakan perihal hasil tes siswa. Terima kasih
dok atas infonya,” Rubi tersenyum ramah pada Cynthia. “Mari Rully saya pamit
dulu. Terima kasih.” Rubi langsung pamit dan tak lupa tersenyum pada Cynthia.
Rully masih memandang kepergian
Rubi dengan senyum tipis yang maih tanpa sadar tercetak dibibirnya. Dugaanya
tidak salah. Rubi memang wanita yang cukup menyenangkan untuk diajak ngobrol.
“Kenalanmu?” tanya Cynthia
tiba-tiba.
“Oh dia?? Rubi maksudmu? Iyah
begitulah.” Rully kembali membereskan berkas-berkas di atas meja dan
memasukkannya ke dalam map.
“Teman lama?”tanya Cynthia lagi.
“Bukan. Ayo kita harus ikut
kegiatan selanjutnya. Acara periksa giginya masih kan?” tanya Rully sambil
berjalan keluar.
Cynthia memandangi punggung
laki-laki yang mengenakan kemeja batik coklat itu dengan setengah kesal.
*
Rubi tersenyum ramah dan berdiri
dari duduknya saat Rully menghampirinya. Rubi memang sengaja mampir sebentar ke
rumah sakit untuk mengambil hasil tes Diaz. Beberapa waktu lalu Rully
meneleponnya jika ingin mengambil hasil tes Diaz dia bisa mencari Rully di
rumah sakit.
“Hai!” sapa Rubi ramah.
“Baru balik kerja?” tanya Rully
sambil mengangsurkan sebuah amplop dan duduk di samping Rubi.
“Iyah. Sori ganggu karena aku
bisanya ambil setelah jam kerja.”
“Gak masalah. Saya juga habis
istirahat.”
“Bagaimana hasil tes kesehatan
Diaz?” tanya Rubi langsung.
“Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan. Semuanya sehat.”
“Syukurlah kalo begitu. Kalau
begitu saya pamit dulu sudah sore.” Rubi berdiri diikuti Rully. Dan Rubi
meninggalkan lobi rumah sakit setelah mereka berjabat tangan.
Rully menggeleng sejenak dengan
raut wajah yang sulit diartikan ketika melihat Rubi bergerak menjauh.
“Rubi!!! Kamu ngapain di sini??
Siapa sakit?? Diaz???” suara seorang wanita membuat langkah Rully yang sudah
bergerak menjauh menghentikan langkahnya sejenak. Dia mengenali suara ini.
Suara perawat kepala yang biasa bekerja dengannya di ruang operasi. Perawat
Siska.
“Ya ampun Siska. Iyah aku lupa
kamu kerja di sini. Enggak Diaz sehat kok. Aku hanya mengambil hasil tes nya di
sekolah tiga hari lalu. Kamu apa kabarnya??? Mas Bayu apa kabarnya??”.
“Alhamdulillah semua sehat. Kamu
gimana??? Kapan kamu undang aku??? Masa masih belum ketemu yang cocok sih???”
Siska menggoda teman sekolahnya ini sambil tertawa kecil.
Rully masih enggan untuk
beranjak, tanpa sadar dia berdiri di koridor rumah sakit yang jarang dilewati
orang karena menuju ruangan pribadi para dokter itu tanpa bergerak. Dia masih
bisa dengan jelas mendengar pembicaraan dua orang itu di pintu keluar samping
rumah sakit.
Didengarnya tawa renyah Rubi.
“Doain aja Sis.”
“Eh aku absen dulu yah, dapet
piket sore. Ntar kita ngobrol lagi. Nomor ponselmu masih yang lama kan??” Suara
Siska terdengar buru-buru.
“Iyah. Ya udah aku balik dulu
ya. Dah Siska.”
*
“Hai Sis?” Rully masuk ke ruang
perawat yang sudah agak sepi.
“Loh dok belum balik?” Siska
melihat sekilas ke jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh lewat.
Rully hanya tersenyum. “Kamu
kenal Rubi?” tanyanya to the point.
“Rubi??” Siska masih gak yakin
Rubi siapa yang dimaksud oleh dokter dihadapannya ini.
“Iyah Rubi yang tadi sore ketemu
sama kamu di lobi samping,” tukas Rully menanggapi kebingungan Siska.
“Ohh. Dokter kenal sama Rubi
teman saya itu?” senyum sumringah terkembang di wajah Siska.
“Baru. Gak sengaja. Kamu kenal
dia?” tanya Rully agak ragu. “Tadi dia datang menemui saya untuk mengambil
hasil tes.”
Senyum Siska kembali terkembang.
“Dia teman sekolah saya waktu di SMA dok.”
Rully manggut-manggut. Wajahnya
tampak ingin mengatakan sesuatu namun ia agak ragu. “Dia janda ya?” tanya Rully
akhirnya dengan suara pelan.
Kening Siska mengernyit sesaat.
“Setahu saya Rubi malah belum pernah merit, gimana dokter bisa bilang dia
janda?” Siska masih gak mengerti.
“Tapi dia sudah punya anak
kan??”
Satu pemahaman tertulis jelas di
wajah Siska. Wanita itu tersenyum sesaat. “Dia memang punya anak, tapi dia
bukan seorang janda. Dia belum pernah menikah,” tegas Siska.
Rully akhirnya memilih duduk di
kursi sofa di dalam ruangan. Dipandangnya Siska sejenak sebelum berkata ,
“Bukan janda. Belum menikah. Punya anak remaja. Apa maksudmu dia pernah
melakukan kesalahan, kenakalan masa remaja dan memilih bertanggung jawab dengan
kenakalannya dalam bentuk seorang anak?” ucap Rully panjang lebar.
Mulut Siska membulat. Agak
takjub oleh ucapan Rully. Bukan karena ucapan Rully karena dulu pun sebelum
tahu apa yang terjadi pada Rubi tanpa sadar Siska menghakimi temannya itu
demikian. Dia takjub karena ternyata Rully bisa bicara panjang dan banyak
karena biasanya Rully pelit bicara.
“Dokter menyukai teman saya?”
tembak Siska langsung. Rully agak terperanjat dibuatnya. Sesaat dia salah
tingkah.
“Saya penasaran,” ucapnya
diplomatis.
“Rubi Ayunda memang memiliki
seorang anak. Tapi dia single sesingle singlenya. Dia belum pernah menikah.
Saya tidak tahu cerita lengkapnya tentang Diaz karena Rubi tidak pernah mau
membahasnya. Yang saya tahu hanya satu, Diaz bukan anak biologisnya.
“Awalnya kami semua berpikir
seperti yang dokter pikirkan. Namun saya yang kebetulan belajar di sekolah
keperawatan otomatis menganalisis Rubi dari segi medis. Walau kami jarang
bertemu karena kesibukan kuliah saya tahu seperti apa Rubi. Saya pernah iseng
menanyakan tanggal dan tahun kelahiran Diaz. Dari sana saya tahu, Diaz lahir
saat kami semua sedang mengikuti ujian akhir sekolah. Dari sana saja saya tahu
Diaz bukan anak biologis Rubi. Tapi tentang siapa orang tua biologis Diaz, Rubi
tak pernah mau membahasnya. Baginya cukup orang tahu dialah ibunya Diaz.
“Sebenarnya dia diterima sekolah
di salah satu universitas bergengsi di Singapura apalagi orang tuanya termasuk
sangat mampu. Tapi demi bayi mungilnya dia memutuskan untuk tetap kuliah di
Palembang,” Siska mengakhiri ceritanya.
Rully memandang Siska tanpa
berkedip. Ingatanya melayang pada suara empuk yang didengarnya. Wajah manis nan
ramah yang tiba-tiba menemuinya dan memperkenalkan diri dihadapannya. Yang
tiba-tiba membuatnya penasaran setengah mati. Tadinya nyali Rully sudah
menciut. Bagaimana bisa dirinya menyukai isteri orang lain. Tapi penjelasan
Siska membuat rasa yang tadinya malu-malu bangkit menggelora.
“Terima kasih ceritanya Sis.
Benar-benar di luar dugaan.” Rully bangkit berdiri. Ada rasa lega yang
mendobrak keluar. Senyum tersungging dibibirnya.
“Kalau dokter Rully benar-benar
menyukainya. Saya sangat mendukung,” ucap Siska tulus saat doker muda itu
beranjak dari duduknya. “Dia layak untuk mendapatkan kebahagiaan yang
sesungguhnya. Dia berlian yang sesungguhnya. Seperti namanya,” Siska tertawa
kecil.
Rully mengangguk pelan dan pamit
keluar. Begitu pintu dibelakangnya tertutup rapat. Senyum lebar terkembang dari
bibirnya. Sebuah rencana mendadak terlintas dibenaknya.
*
Sejak membukakan pintu di malam
itu dan menemukan dokter Rully yang beberapa hari lalu menjadi dokter pembicara
di acara sekolah, Diaz tahu ada yang berbeda.
Ibunya yang memang ramah dan
ceria menjadi lebih hidup. Beberapa kali Diaz dan mamanya diajak makan bareng
dokter Rully. Dia juga sudah akrab dengan asisten rumah tangga dokter Rully
yang jenaka dan anjing Golden Retriever milik dokter itu.
Namun naluri laki-lakinya yang
mulai dewasa semakin tumbuh. Bukan satu kali ini saja ibunya akrab dengan
seorang pria. Namun dari semuanya lebih banyak berakhir kecewa ketimbang bahagia.
Dan dia tidak ingin melihat mamanya bersedih apalagi menangis. Diaz tahu siapa
dirinya. Namun kebahagiaan wanita yang menjadi ibunya ini adalah segalanya
baginya. Tidak bisa dihitung dengan apapun perjuangan wanita ini. Dan baginya
ibunya layak untuk mendapat kebahagiaan yang sesungguhnya.
*
“Apa aku boleh tahu siapa
Diaz??” tanya Rully hati-hati. Hubungannya dengan Rubi sudah lumayan dekat.
Namun kalau menyinggung soal Diaz tetap saja Rully harus hati-hati. Dia tidak
mau kedekatan ini jadi mundur lagi kalau dia sampai salah bicara. Dia butuh
kejelasan soal Diaz karena Rully bermaksud untuk memperkenalkan mereka kepada
keluarganya.
“Diaz? Anakku. “ jawab Rubi
singkat.
“Aku dengar cerita soalmu.
Tentang bagaimana kamu saat sekolah. Namun aku belum pernah dengar cerita soal
Diaz.” Ucap Rully mantap.
Rubi tersenyum. Dia cukup tahu
Rully tahu darimana cerita tentang dirinya. Siska pernah meneleponnya dan
berteriak histeris sambil tertawa-tawa.
“Bagian mana yang kamu ingin
tahu tentang Diaz??” akhirnya Rubi memutuskan bicara setelah hening agak lama.
“Orang tua biologisnya. Apa
keluargamu menemukannya lalu merawatnya??” tanya Rully dengan rasa penasaran
yang tidak bisa diembunyikan.
Rubi menggeleng sambil tersenyum
tipis. “Dia memang bukan anak biologisku,” Rubi mengatakannya dengan hati yang
berat.
“Kamu tidak pernah bilang pada
siapapun siapa orang tuanya?? Apa kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan?? Kamu
membuat orang di luar sana yang mengetahui tentang statusmu menuduhmu
macam-macam??” tuntut Rully.
“Kenapa aku peduli?? Mereka
tidak tahu apa-apa. itu tidak seberapa menyakitkan untukku karena untuk Diaz
itu jauh lebih menyakitkan. Kami saling menguatkan.”
“Tapi kamu tetap perlu bicara
Rubi. Siapa orang tua Diaz yang sebenarnya.”
“Apa bedanya kalau aku
mengatakannya. Nama keluargaku yang tetap akan rusak. Cukup satu kali. Cukup
ketika kakakku kawin lari dan meninggalkan seorang bayi yang hingga detik ini
belum pernah ia temui.” Tukas Rubi pedih. Matanya memerah menahan kesedihan. Rully
terhenyak mendengar apa yang baru saja Rubi katakan.
“Jadi Diaz....dia.....”.
“Yah. Dia anak kakakku secara
biologis. Tapi secara hukum dia adalah anakku. Anakku yang sah. Diaz memang bukan lahir dari rahimku, tapi
dia lahir dari hatiku. Ketika orangtuaku yang malu atas perbuatan kakakku ingin
membuang bayi tak berdosa itu. Aku jatuh cinta saat melihat binar mata
mungilnya. Aku memutuskan mengasuhnya walaupun orangtuaku tidak pernah setuju.
Lalu apa yang harus aku katakan pada dunia luar. Diaz bukan anakku. Tidakkah
itu akan lebih menyakitkan??”. Rubi mengakhiri ceritanya.
*
“Rul!” suara mama diseberang
telepon membuat Rully harus berkonsentrasi mendengarkannya. “Cynthia bilang
kamu lagi dekat dengan seorang wanita yang sudah memiliki anak ya???”.
Rully memanyukan bibirnya tanpa
suara begitu mendengar nama Cynthia disebut. Anak dari teman lama ayahnya yang
juga rekan kerjanya itu sebenarnya memang hendak dijodohkan dengan Rully. Tapi
bagi Rully Cynthia seperti seorang adik manis yang manja bukan seorang wanita
yang ingin dijadikannya pendamping hidup. Rully sudah mencoba segala cara untuk
bisa menyukai Cynthia, tapi perasaannya tetap datar saja. Dan dia tidak tahu
bagaimana menjelaskan soal perasaannya tentang Cynthia pada orang tuanya.
“Iya ma. Dia wanita yang baik
dan manis. Mama pasti suka.” Ucapnya sambil tertawa kecil.
“Rul. Dia sudah punya anak. Mama
akan lebih suka kalau kamu mengencani wanita single saja. Seperti Cynthia itu.”
Ucap mama khawatir.
Rully tertawa keras. “Ma. Mama
juga punya anak kan selain aku. Mama besarin mereka, biayain semua kebutuhan
mereka. Mama sendiri yang bilang sayang sama mereka.”
“Kamu nih ngomong apa sih. Mama
bilang apa kamu jawabnya apa. Mereka semua, adik-adikmu itu anak asuh mama.
Mereka berhak dapet pendidikan dan kehidupan yang layak. Mama kan tanya soal
teman perempuanmu yang sudah punya anak itu kenapa jadi ngelantur ke anak asuh
mama.”
“Nah itu dia. Bedanya kalau anak
asuh mama tetap anak orang tua mereka. Karena satu dan lain hal Rubi membuat
anak yang sekarang ada padanya sah di mata hukum menjadi anaknya.”
“Oh jadi namanya Rubi. Bagus
namanya.” Komentar mama.
“Yup, sebaik hatinya. Mama harus
ketemu dia.”
“Jadi maksudmu anaknya dia bukan
anak kandungnya??? Dia bukan janda???” tanya mama memastikan.
“Bukan. Tapi maaf ma Rully gak
bisa cerita. Mama percaya sama Rully kan??”.
“Apa kamu yakin dia gak bohong
soal anaknya??” mama masih ragu.
“Rully sudah memastikan.”
Jawabnya mantap.
“Ehmmm...sepertinya kamu harus
ngomong sendiri ke papamu Rul. Baik soal Cynthia maupun soal Rubi.”
“Iyah ma. Rully akan ngomong
langsung sama papa. Langsung dihadapan beliau.” Ucap Rully mantap.
*
Diaz membukakan pintu untuk
ibunya. Anak laki-laki itu mengernyit ketika ibunya masuk. Dia menyusul ibunya
ke dapur setelah menutup pintu dan menguncinya.
“Mama kenapa?” tanyanya sambil
ikut duduk di kursi makan.
“Hmm,” Rubi yang tengah minum
menoleh sambil mengernyit. “Kenapa apa?” tanyanya tidak mengerti.
“Mama banyak kerjaan?” tanya
Diaz lagi.
“Lumayan. Kamu udah makan? Udah
nyelesain tugas??” tanyanya kemudian.
“Nah gitu tuh. Mama aneh deh,”
komentarnya yang bikin alis Rubi naik separo. “Biasanya mama udah nanya-nanya
Diaz, ini begitu masuk kusut.”
“Hehehe sori-sori. Mama emang
lagi banyak kerjaan,” Elak Rubi. “Ya sudah mama bersih-bersih dulu ya. Kamu
lanjutin kegiatan kamu aja.”
Diaz mengikuti kepergian mamanya
dengan tetap rasa penasaran. Tadi sore dokter Rully menelpon ke rumah dan
menanyakan kabar mamanya. Aneh mengingat hampir beberapa minggu ini mamanya
kerap pergi dengan dokter Rully. Pasti
ada apa-apa. Diaz kembali melirik pintu kamar tidur mamanya yang masih
terkunci semenjak tadi. Kalau ada masalah antara dua orang dewasa itu, Diaz
sudah bisa menebak pasti masalahnya gak jauh berbeda karena dirinya. Tapi bukankah selama ini dokter Rully sangat
baik terhadap mereka. Dokter itu sendiri yang mengulurkan tangan untuk mengenal
Diaz. Dokter Rully juga beberapa kali mengajak Diaz main kerumahnya, bahkan dia
sudah akrab dengan mang Ujang. Dokter Rully juga baik pada Diaz. Beberapa kali
mereka main basket bareng. Lalu kenapa sekarang mama murung??? Sebanyak apapun
pekerjaan mama, mama gak pernah mengeluh atau pasang tampang kusut. Diaz sudah
hapal luar kepala, kalau mama sedang berhubungan dengan seseorang dan mendadak
murung pasti ada sesuatu dengan hubungan itu. Tanya enggak ya???. Diaz
menggigit bibir ragu. Dia sudah melangkah ke depan pintu kamar, sudah siap
hendak mengetuk pintu, namun kemudian urung ketika sebuah ide muncul
dibenaknya. Kenapa harus selalu mama yang menjadi pelindungnya?? Dia sudah 12
tahun, sudah cukup besar untuk membela mamanya. Dia ingin mama bahagia sama
seperti yang selama ini mama berikan padanya. Lalu kenapa tidak dia membantu
mama. Apalagi mama tampak suka dan nyaman dengan dokter Rully.
Di dalam kamar, Rubi duduk
terpekur di atas ranjang. Pertemuannya dengan Cynthia sore tadi masih membekas.
Cynthia datang menemuinya dan mengajak bertemu. Wanita itu memperingatkannya
untuk tidak lagi menggoda atau bermain-main dengan Rully. Rully terlalu baik
untuk orang seperti Rubi. Dada Rubi serasa diremas saat mendengar Cynthia
mengatakannya, memangnya orang seperti apa dia ini. Kenapa selalu
ujung-ujungnya masalah Diaz. Tidakkah mereka tidak berhak menghakimi seorang
anak yang tidak tahu apa-apa. Tidak bisakah mereka melihat Diaz sebagai seorang
anak yang butuh untuk dilindungi. Rubi masih akan sangat terima jika dirinya
yang dihina, tapi mengatakan Diaz sebagai hasil dari perbuatan dosa membuat
Rubi benar-benar mendidih.
Dia mengakui sepenuh hati jatuh
cinta pada sosok Rully yang tulus. Tapi jika ia harus menukar kebahagiaannya
sendiri dengan Diaz, dia tidak akan sanggup melakukannya. Karena sesungguhnya
Diaz sudah menjadi bagian dari kebahagiaannya itu sendiri.
Cynthia boleh saja ingin mengambil
Rully, tapi Rubi tidak akan pernah terima jika hanya karena Rully dia harus
kehilangan Diaz. Oleh karena itu ketimbang repot menjelaskan siapa dirinya dan
Diaz kepada Cynthia, Rubi memilih pergi dari hadapan Cynthia.
*
Rully kaget ketika keluar dari ruang
operasi dan mendapat pesan dari perawat penjaga jika ada tamu yang menunggunya
di lobi. “Masih anak SMP dok kalau dilihat dari seragam yang dipakenya,” ujar
si perawat.
Rully mengangguk dan bergegas
menuju lobi. Bayangan seseorang terbersit dibenaknya.
“Diaz!!” serunya saat melihat
anak laki-laki berkaus olahraga tim basket sebuah sekolah menengah pertama
sedang berdiri melihat poster yang dibingkai di dinding. Anak laki-laki itu
menoleh dan tersenyum.
“Ada apa?? kamu sakit??” tanya
Rully setelah mendekatinya.
Diaz menggeleng. Mendadak dia
takut dan ragu untuk meneruskan rencananya semalam.
“Yuk keruangan aja, di sini
ramai,” ajak Rully.
Diaz mengangguk pelan lalu
menuju sofa sebentar untuk mengambil tas dan bola basketnya lantas mengikuti
Rully.
“Ayo masuk!” ajak Rully sambil
membukakan pintu. “Anggap saja kamar kamu sendiri hehehe. Kamu bolos kegiatan
ekskul ya?? sudah makan??” Rully membuka jas putihnya dan mengambil sebotol air
mineral untuk Diaz.
Diaz duduk di sofa dekat lemari
kaca, memperhatikan sekilas ruangan mungil milik dokter Rully yang terang
benderang karena gordin yang menutupi jendela kaca lebar dibuka.
“Mama mu tahu kamu kemari??”
tanya Rully setelah Diaz meminum air yang disuguhkan.
Diaz kembali menggeleng. “Pak
dokter gak bermaksud memberitahunya kan??” tanya Diaz takut-takut.
Rully tersenyum penuh arti. “Oke
saya akan tutup mulut kamu bolos asal kamu cerita apa yang membawamu datang
kemari??”.
“Apa pak dokter berantem sama
mama??” tanya Diaz setelah terdiam cukup lama.
Alis Rully naik. “Rasanya
enggak. Saya malah belum bertemu mama kamu semenjak pulang dari Jakarta. Itulah
kenapa saya telepon ke rumah kemaren karena mamamu sulit sekali dihubungi.
Memangnya kenapa?” tanya Rully. Kali ini mimik mukanya lebih serius. Pertanyaan
Diaz membuatnya waspada. Rasanya jadi masuk akal kenapa Rubi sulit dihubungi.
Tapi masalahnya Rully tidak tahu apa yang membuat wanita itu jadi seperti
menghindarinya. Yah, Rubi menghindarinya. BBM dari Rully hanya di read tanpa dibalas. Telepon juga tidak
diangkat. SMS juga tidak dibalas. Ditungguin depan kantor ternyata Rubi sudah
pulang atau keluar kota.
“Mama murung. Biasanya sekalipun
banyak pekerjaan mama tidak pernah begitu. Bisanya mama akan seperti sekarang
kalau hubungannya dengan seseorang sedang bermasalah. Terakhir mama begitu saat
putus dengan oom Satyo. Saya tidak berani tanya mama, makanya saya memberanikan
diri ketemu pak dokter. Karena ini pasti ada hubungannya dengan saya.”
“Maksud kamu??” Rully tidak
mengerti.
“Diaz pengin mama bahagia. Diaz
pengin lihat mama menikah, punya suami dan bahagia. Apa pak dokter..apa pak
dokter cinta sama mama Rubi??”.
Jantung Rully seperti diketuk
dengan palu raksasa. “Menurutmu bagaimana??”pancing Rully.
“Selama ini laki-laki yang deket
sama mama pasti pergi karena tahu mama punya Diaz. Mama gak pernah cerita soal
itu, tapi Diaz tahu alasan mereka pergi. Bagi mama asal mereka bisa menerima
Diaz maka mamapun pasti akan terima. Dan mereka atau keluarga mereka tidak ada
yang mau menerima Diaz. Tidak peduli bagaimana mama cinta sama mereka mama
pasti akan mundur kalau tahu laki-laki itu atau keluarga mereka tidak mau
menerima Diaz.
“Diaz ingin memberi mama
kebahagiaan. Mama sudah membesarkan Diaz seperti anak kandungnya sendiri.
Memberi Diaz limpahan kebahagiaan yang tidak bisa diukur. Merawat Diaz saat
sakit walaupun besoknya mama ada ujian di kampus. Menyalahkan diri sendiri
waktu Diaz masuk rumah sakit karena terkena DBD, dan memilih tidak menerima
tawaran kuliah ke luar negeri karena ingin merawat Diaz. Kalau pak dokter cinta
sama mama dan keberatan karena ada Diaz di sisi mama, kasih kesempatan Diaz dua
tahun lagi.”
“Tunggu!” potong Rully cepat.
“Kamu tahu kamu bukan anak biologis Rubi???” tanya Rully terkejut akan fakta
ini.
Diaz mengangguk. “Awalnya mama shock waktu tahu kalau Diaz tahu siapa
Diaz ini. Mama menangis sejadi-jadinya. Semuanya gak sengaja. Diaz tahu waktu
mau urus pendaftaran sekolah SMP ini. Waktu itu dari sekolah diminta untuk
membawa akta kelahiran. Biasanya soal surat menyurat mama yang urus, tapi hari
itu mama keluar kota dan Diaz harus urus sendiri. Diaz gak sengaja mengambil
tumpukan dokumen yang salah dan didalamnya ada surat putusan pengadilan soal
status Diaz. Jadi Diaz tahu siapa orang tua asli Diaz. Kalau suatu hari nanti
orang itu kembali, mungkin dia memang yang melahirkan Diaz, tapi bagi Diaz mama
Rubi adalah ibu Diaz yang sesungguhnya. Karena itu Diaz ingin minta tolong sama
pak dokter, jangan tinggalin mama. Jika pak dokter gak suka sama Diaz, kasih
Diaz waktu dua tahun lagi.”
“Dua tahun?? Saya gak mengerti
Diaz. Saya memang cinta sama mama kamu.” Glek rasanya aneh banget mengatakan
ini. Di depan anak kecil pula. “Dan saya juga gak akan melakukan apa-apa
terkait keberadaan kamu. Jadi apa maksudnya dengan dua tahun??”.
“Lulus SMP nanti saya ingin
melanjutkan ke sekolah asrama. Mungkin dengan begitu mama akan bisa menemukan
kebahagiaanya.” Jawab Diaz mantap.
Rully terkagum-kagum dengan
sosok dihadapannya ini. Inikah didikan seorang Rubi. Jiwa seorang lelaki
sejati. Dia jadi ingat saat SMP dulu yang ada dikepalanya justru hanya bermain.
Rasanya dia bukan bercakap-cakap dengan anak kecil berusia 12 tahun.
Rully tersenyum, antara geli dan
salut. “Apa kamu pikir mamamu akan mengijinkan kamu masuk sekolah asrama??? Apa
menurutmu jika mamamu menikah ia akan bahagia tanpa anak lelaki kebanggaannya
disampingnya??”.
Diaz termangu ditatapnya dokter
Rully dengan pandangan takut-takut. “Kita bicara sebagai pria. Saya tegaskan
saya cinta sama Rubi, mamamu. Dan tidak ada dalam diri saya yang menyuruh saya
untuk tidak menyukai kamu. Saya tidak tahu apa yang membuat Rubi tiba-tiba
menjauhi saya. Pasti ada sesuatu yang salah di sini dan saya pastikan saya akan
cari tahu apa yang salah di sini.
“Saat ke Jakarta kemarin, saya
mampir ke rumah orang tua saya di Bandung. Saya sudah cerita soal Rubi dan juga
kamu. Saya bisa pastikan selama itu untuk kebahagiaan saya dan saya bisa
bertanggung jawab atas pilihan saya, orang tua saya menyetujuinya dan
mendukungnya. Mereka juga sudah bermaksud untuk datang kemari menemui Rubi dan
kamu, serta kakek dan nenekmu. So, ada lagi penjelasan yang mau kamu ketahui,
Diaz Anugerah.”
Hening menguasai lalu perlahan
Diaz tersenyum dan mengangguk paham.
“Apa pak dokter serius??”
tanyanya semringah.
“Apa kamu melihat letak
ketidakseriusan saya??” Rully balik bertanya dengan iseng.
Diaz kembali tersenyum.
*
Cynthia membuka pintu ruang
Rully tanpa permisi. “Kata perawat dibawah kamu kedatangan tamu anak kecil??
Apa dia anak wanita janda itu??”tanya Cynthia ketus. Lebih ketus dari yang
diinginkannya.
“Ada yang salah dengan tamu
saya?? Rasanya saya tidak pernah membatasi umur tamu saya. Siapapun boleh
menemui saya, termasuk kamu yang masuk nyelonong keruangan saya ini.” Jawab
Rully kalem.
“Gila ya. Gak berhasil lewat
dirinya, dia menggunakan anaknya. Benar-benar gak tahu diri.”
“Wo..wo..wo..tunggu..tunggu
siapa yang kamu maksud gak tahu diri???” tanya Rully pura-pura tidak paham.
“Wanita itu. Sudah diperingatkan
agar jangan mengganggu kamu. Eh anaknya sekarang yang dia sodorkan.” Cynthia
masih berapi-api. Hatinya sungguh-sungguh panas dan marah. Sepertinya
peringatannya tidak digubris sama sekali.
Rully menutup map dihadapannya.
Tatapannya terarah lurus pada Cynthia yang duduk di sofa dengan menyilangkan
kaki jenjangnya yang dibalut stoking tipis dan sepatu tinggi.
“Jadi kamu dalangnya??” ucap
Rully dingin.
Cynthia menoleh. “Harusnya kamu
terima kasih dong Rul. Kamu nyadar gak kamu tuh dimanfaatin. Gimana kata orang
tuamu kalo kamu berhubungan sama wanita yang sudah punya anak?? Masih banyak
loh wanita single di luar sana yang
bisa kamu pilih. Apa kamu gak keberatan sama masa lalunya yang begitu.” Cerocos
Cynthia. “Masih muda udah punya anak. Apalagi coba kelakuannya kalo gak bener,”
Cynthia mendumel.
Dada Rully rasanya bergemuruh.
Kali ini Cynthia sudah benar=benar kelewatan. “Rasanya aku sudah berada pada
keputusan yang benar kenapa aku tidak pernah bisa menerima perjodohan denganmu.
Kita memang hidup dengan gaya yang berbeda.”
“Maksudmu??” tanya Cynthia bingung.
“Terima kasih atas perhatian dan
peringatannya Cyn. Tapi biarlah aku memilih sendiri dengan siapa aku ingin
menghabiskan hidupku. Kamu emang berhasil menyuruhnya menjauhiku karena
sekarang dia memang sedang susah untuk ditemui. Tapi sayangnya aku tidak
berminat untuk menjauhi Rubi sama sekali.” Rully berusaha menyunggingkan
sebaris senyuman diwajahnya.
“Kamu gak takut menyesal Rul??”
tanya Cynthia pelan. Ada yang berkecamuk di dalam hatinya.
“Biarlah itu menjadi tanggung
jawabku.” Ucap Rully pendek.
“Kamu gak takut sama orang
tuamu?? Apa kamu gak pikirkan reaksi mereka atas status wanita bernama Rubi
itu?”.
Rully mengangkat bahu cuek.
“Sayangnya aku sudah menjelaskan pada mereka semua tentang Rubi dan anak
laki-laki yang hidup dengannya. Kamu tahu kan seperti apa mereka, walaupun
awalnya berat cepat atau lambat mereka pasti akan menerima dan mendukungku.
Sama seperti saat aku memutuskan untuk menjadi dokter dan bukan meneruskan
bisnis orang tuaku. Aku rasa kamu sudah pernah dengar ceritanya.” Rully
tersenyum dingin.
Cynthia bergeming. Bukan hanya
tahu soal pilihan Rully untuk menjadi dokter, tapi dia yang menyaksikan sendiri
bagaimana Rully membuat pilihan menggemparkan dalam sejarah keluarganya. Rully
adalah orang pertama dalam sejarah keluarganya yang mengalirkan darah pebisnis
untuk melawan arus menjadi seorang dokter. Butuh waktu bertahun-tahun bagi
keluarganya untuk bisa menerima pilihan Rully sampai akhirnya orang tuanya bisa
bercerita pada kolega-kolega mereka dengan santai dan bangga tentang pilihan
Rully.
Dan kini bukan tak mungkin orang
tua Rully akan melakukan hal yang sama. Menentang pilihan Rully lalu kemudian
waktu yang membunuh keraguan mereka dan menerima kembali pilihan Rully.
Cynthia kembali menatap Rully
yang masih memandangnya dengan dingin. Dia menghela nafas pelan lalu bangkit
berdiri dan meninggalkan ruangan Rully dengan hati yang masih berserakan. Tapi
seperti orang tua Rully, dia yakin waktu jualah yang akan membunuh perasaannya
pada teman masa kecilnya itu.
Rully memandang kepergian
Cynthia dalam diam hingga Cynthia menghilang dibalik bunyi klek pintu yang
tertutup rapat. Dia bukannya tidak tahu perasaan Cynthia, tapi bagi Rully
Cynthia akan selalu menjadi teman masa kecilnya. Dunia mereka berbeda.
Rully melirik jam tangannya lalu
bergegas membereskan mejanya, mengambil kunci mobilnya dan bergegas keluar
ruangan. Sudah tak sabar hatinya untuk menemui seseorang dan menghapuskan
keraguan yang masih menaungi hati Rubi serta menjelaskan duduk persoalannya.
*
Jantung Rubi rasanya mau copot.
Kemarin perasaannya masih biasa-biasa saja, tapi begitu hari H jantungnya
seperti tidak mau diajak kompromi. Sekali lagi dia mematut diri di depan cermin
untuk memastikan bahwa dandanannya tidak ada yang salah.
“Mama udah cantik kok. Perfect!” Diaz nyengir diambang pintu
melihat kelakuan mamanya.
“Serius Yaz?? Gak kemenoran
kan??” tanya Rubi gugup.
“Enggak. Mama cantik. Pake
banget.” Diaz berjalan masuk.
“Mama takut Yaz,” ucap Rubi
ragu.
Diaz menggeleng. “Mama gak usah
takut. Ada Diaz. Yakin deh sama pak dokter.” Diaz mengedipkan sebelah matanya.
“Yuk ma keluar udah dipanggil.” Ajak Diaz sambil meraih tangan mamanya.
Rubi tersenyum ketika keluar
menuju taman samping rumah orang tuanya. Dan keraguannya luntur ketika matanya
bertemu dengan Rully. Tangan Diaz hangat menggenggam disebelahnya, mengalirkan
kepercayaan diri.
Yah semuanya akan baik-baik saja. Terima kasih untuk semangatnya Diaz.
Terima kasih untuk cintanya Rully. Batinnya sambil tersenyum dan duduk
disebelah Rully.
Lalu, begitu saja Rully
mengucapkan janjinya dihadapan orang tua Rubi, dan dengan satu ucapan sah dari
orang-orang disekitar mereka. Sah –lah kebahagiaan mereka untuk saling
melengkapi.
Kamu permata yang sesungguhnya Rubi. Terima kasih karena sudah
mengantarkan sendiri paket yang salah alamat hari itu. Batin Rully sambil
tersenyum puas saat memasukkan cincin ke jari manis Rubi dan mendapati senyum
Rubi. Terima kasih atas pesonamu Rubi.
Lalu mereka semua tertawa
bahagia saat melepaskan sepasang merpati putih.
Rubi memeluk Diaz yang tertawa
disebelahnya. Lalu Rully merangkul dirinya dan Diaz dalam satu pelukan hangat.
***
NB : Terinspirasi dari
sebuah Video Campaign Produk Wacoal.
puanjangnya :D berhubung masih jam kerja, baru kebaca depannya doang :)
BalasHapus