Flo memelankan laju sepeda motornya sembari ikut melongok pada
kerumunan yang memacetkan jalanan sore itu. Saat matanya melihat dua sepeda
motor jatuh dengan arah yang berlawanan, spontan dia menepikan motornya sendiri
dan ikutan nimbrung mencari tahu.
“Ada kecelakaan
pak??” tanyanya sekadar memastikan pada bapak-bapak yang ada disana.
“Iya mbak,” jawab
bapak itu singkat.
Flo merangsek
kedepan, ada naluri yang mendorongnya untuk melihat lebih jelas. Dilihatnya dua
orang pria terjatuh, masih utuh, tak ada darah yang mengalir atau sesuatu yang
menjijikkan yang sekiranya akan dia lihat. Tapi keduanya sepertinya tidk dalam
kondisi yang baik. Pria yang berkemeja putih itu berusaha bangkit dan
sepertinya berusaha hendak melepas helm yang masih menutupi kepalanya. Flo
menengok kiri kanan dengan heran, kenapa tidak ada yang bergerak untuk
menolong. Pria yang satunya, yang berjaket kulit hitam masih tertelungkup,
namun kelihatan masih bernafas walaupun dengan pelan.
“Kok gak
dibantuin pak??” tanyanya asal entah pada siapa.
“Nunggu polisi
mbak, takut,” seorang bapak yang berdiri disebelahnya menjawab.
Ketika pria
berkemeja itu mampu membuka helm, barulah Flo melihat ada sedikit darah yang
merembes dipelipisnya. Dan mulutnya langsung menganga begitu menyadari siapa
pria itu. Spontan suaranya keluar, “Pak tolongin pak, dia temen saya,” ucap Flo
keras dengan kecemasan yang tidak bisa ditutupi. Dia bergerak mendekat dan spontan
memapah cowok itu dengan dibantu seorang bapak. Menepikan cowok itu kepinggir
trotoar. Nafas cowok itu tersengal dan dengan lemas dia bergayut pada bahu Flo.
Flo merogoh tas ranselnya mencari handphone. Dengan gemetar, dengan tangan
sebelahnya yang bebas Flo menelepon nomor rumah sakit yang pertama dilihatnya.
“Mbak haloo,”
ucapnya keras dan cemas,”tolong ambulans ada kecelakaan di Sudirman Km 3, cepet
ya. Korbannya masih keburu ditolongin,” Flo menutup teleponnya dan memeriksa
cowok itu selain pelipisnya apalagi yang terluka.
Lima menit
kemudian raungan sirine ambulans memecah suasana sore tepat bersamaan dengan
kedatangan polisi. Cowok berkemeja dan berjaket kulit itu dibawa ke ambulans.
Flo dimintai keterangan seadanya dan diminta ikut. Setelah terlebih dahulu masuk
ke ruang ATM yang ada disekitar sana Flo melajukan motornya menuju rumah sakit.
Flo mengenal pria
berkemeja putih itu meskipun bukan perkenalan yang baik. Karena dalam dua kali
pertemuan mereka pria itu telah mempermalukannya, ataulah demikian menurut pikiran
Flo. Namun perasaannya sebagai manusia mengalahkan sakit hatinya dan membuatnya
spontan ingin menolong pria itu.
Sesampai di rumah
sakit, Flo langsung mencari polisi dan tak sulit menemukannya. Setelah dimintai
keterangan untuk kedua kalinya Flo dipersilahkan untuk mengurus hal-hal yang
bersifat administrasi dan kondisi temannya.
Azka, yah itu
nama pria itu. Setelah dipastikan kondisinya Azka dipindah ke sal pasien. Dia
hanya mengalami trauma benturan dan beberapa lecet dan memar. Sempat siuman dari
pingsannya sebentar namun tertidur akibat pengaruh obat. Itu penjelasan suster
tadi. Flo mengamatinya yang tengah tertidur, nafasnya masih sedikit tersengal
namun sudah lebih stabil.
Dia tidak bisa
menghubungi keluarga atau siapapun yang dekat dengan pria ini, karena ternyata
ponselnya menggunakan sandi untuk bisa dibuka. Dia memang tahu dimana Azka
bekerja. Namun tetap saja tidak tahu siapa yang harus dihubungi. Dari alamat
yang dia dapat hasil pemeriksaan dompet Azka, ternyata Azka bukan orang asli daerah
ini. Alias juga perantau seperti dirinya. Flo meletakkan tas ransel Azka
didalam lemari, lantas bergegas keluar. Menitip pesan sebentar di meja perawat
lalu menyusuri lorong rumah sakit menuju parkiran.
Flo berbaring
dengan gelisah. Dia sudah menitip pesan pada perawat untuk menjaga Azka karena
dia tidak bisa. Tapi nalurinya berontak. Berbagai pertanyaan yang menuntut rasa
iba menghampirinya. Akhirnya Flo bangun, mengganti celana trainingnya dengan
jeans, mengambil jaket dan beberapa keperluan pribadi miliknya dan
menjejalkannya kedalam ransel. Tak lupa memasukkan beberapa makanan kecil dan
mengisi botol air. Lalu Flo mengunci kamar, menghidupkan motor dan sebelum
berangkat permisi dengan perasaan tak enak hati pada ibu kos karena telah mengganggu
waktu istirahatnya.
Disinilah Flo
akhirnya, duduk di bangku kayu di depan kamar Azka dengan perasaan masih
bimbang.
“Loh mbak kok gak
masuk??” seorang ibu yang melintas didepannya menegurnya halus.
“Ohh, ehhh, anu
sebentar lagi bu,” jawab Flo gelagapan karena kaget. Itu ibu yang menunggu
pasien yang satu kamar dengan Azka.
“Ibu masuk duluan
ya. Tadi kirain mbak gak balik lagi.”
Flo tersenyum
kecut.
Akhirnya Flo
masuk setelah sepuluh menit lebih dalam kebimbangan yang gak jelas. Dihampirinya
tempat tidur Azka dengan pelan. Cowok itu masih tertidur pulas. Flo tersenyum
sendiri lantas meletakkan ranselnya disamping lemari dan memilih tidur
selonjoran di sofa sambil membuka majalah, menanti waktu ngantuk.
Flo membuka mata
dengan badan pegal karena tidur dengan posisi persis anak kucing.
“Bangun juga??”
sebuah suara berat khas pria mengagetkannya. Spontan Flo mendongak dan
mendapati Azka tengah melihat kearahnya dari atas tempat tidur. Tiba-tiba
perasaan hangat dan malu menjalarinya.
“Sori,”ucapnya
spontan. “Sudah bangun?? Dari kapan??” tanyanya sambil duduk. Tak ada niat
untuk berdiri untuk mendekat.
Azka tertawa
pelan lalu meringis pelan sebentar karena sepertinya menahan rasa sakit. “Percuma
kamu nungguin, orang bangun kesakitan gak denger apalagi buat bangun.”
Biasanya Flo akan
tersinggung tingkat tinggi mendengar ucapan sinis seperti itu. Namun pagi ini
dia sedang tidak ingin marah jadi Flo hanya tersenyum dengan perasaan tidak
enak hati. Ucapan Azka benar adanya. Bukannya terjaga, Flo malah tidur pulas
sampai pagi.
“Aku tidak
bermaksud apa-apa,” Flo memulai ucapannya. Karena minimal Azka harus tahu
alasan dia ada disini. Dan sepertinya memberi penjelasan adalah hal yang
penting buat Flo. “Aku kebetulan menemukanmu kecelakaan dijalan waktu aku
pulang kantor kemarin sore. Aku yang membawamu kemari. Karena aku tidak tahu
dan tidak bisa menghubungi keluarga atau temanmu jadi aku putuskan untuk
menemani disini. Yeah walaupun kenyataannya tidak banyak membantu.”
Azka masih
bergeming. Hanya menatapnya dengan pandangan yang tidak bisa dimengerti Flo.
Merasa ditatap dengan aneh Flo berdiri dan mengambil ranselnya.
“Karena kamu
sudah sadar sepertinya aku bisa pulang,” ucap Flo sembari tersenyum. “Oh ya jangan
lupa menghubungi keluarga dan tempat kerjamu,” Flo beranjak menuju pintu.
“Kapan?” teriak
Azka saat Flo sudah berjalan menuju pintu.
Flo berbalik
dengan mimik heran.
“Maksudku,”
ucapnya sambil mengatup mulut dengan ragu,”jam berapa kamu akan kemari lagi??”
Kening Flo
mengernyit. “Entahlah,” hanya kata itu yang akhirnya keluar dari mulutnya
sambil menggelengkan kepala.
“Aku tunggu,”
ucap Azka pendek dan lirih tepat sebelum Flo berbalik menuju pintu. “Oh ya,”tiba-tiba
Flo berbalik kembali. “Jangan buat sandi untuk handphonemu karena itu
menyulitkan. Tapi itu memang hakmu, ini hanya saran,”ucap Flo sembari tersenyum
dan melambaikan tangan sebelum benar-benar hilang dibalik pintu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar