Selasa, 08 November 2011

Please, Forgive me God

Tiga minggu ini seperti mimpi.
Karena saya masih sungguh berharap semua yang ada hanya mimpi.
Tapi setiap kali bangun di pagi hari untuk berangkat ke kantor, sadarlah saya kalau ini semua nyata.
Saya seperti dipaksa menelan muntahan. Dan seperti ada sesuatu yang ingin meledak di dalam dada.
Semua berawal dari keikutsertaan saya untuk bisa naik karir di kantor.
Awalnya saya ragu, namun setelah berpikir tentang tujuan yang ingin saya cari dalam hidup.
Akhirnya saya memberanikan diri untuk ikut mendaftar.
Dalam doa terdalam, saya berharap jika dari tes awal saya lulus (karena memang tesnya susah) maka segalanya akan lancar.
Dan luluslah saya hingga tahap berikutnya (Dua tahap lagi menuju akhir)
Setelah semua keyakinan saya membumbung dan mulai berani untuk merencanakan apa yang akan saya lakukan ke depan datanglah berita itu.
Saya ingat saat itu sore hari, satu jam sebelum jam pulang kantor dan datanglah berita itu. Sebuah surat yang mengatakan bahwa saya tidak bisa melanjutkan ke tahap berikutnya.
Kaget??? Itu pasti.
Saya hanya bisa terdiam dan termangu. Shock.
Yah..saya marah. Marah pada DIA. 
Lalu hati saya bertanya. Kenapa untuk yang kesekian kalinya saya tak pernah diberi kesempatan untuk bisa melaksanakan cita-cita dan mimpi saya??
Apa mimpi saya begitu tingginya???
Apa mimpi saya begitu hina???
Ataukah saya memang tak punya kemampuan dan tak pantas untuk mimpi-mimpi saya????
Beribu tanya memenuhi benak dan hati saya.
Sungguh saya teramat kecewa dan patah.
Saya sudah tak bisa kuliah di Universitas impian saya. Tak bisa mendapat penempatan di tempat yang saya harapkan. Dan sekarang untuk kesekian kalinya mimpi saya pun kandas setelah saya berdiri di depan "pintu" lantas didorong untuk keluar.
Hati saya patah dan hancur. 
Saya seperti bermimpi buruk.
Tapi bukankah hidup harus terus berjalan???
Rasa malu, sakit, dan kecewa adalah hal biasa.
Toh, ini bukan kali pertama buat saya.
Pelan-pelan saya berusaha sekuat tenaga menata hati kembali. Membereskan pecahan-pecahan hati saya yang sudah lebur dan berserakan.
Ketika bos saya di kantor memberikan sebuah petikan isi buku yang judulnya "Kita tidak bisa menentang takdir Tuhan" saya seperti disiram air dingin.
Yah, sesakit apapun itu, sekecewa apapun itu, sepatah apapun itu, itu semua adalah takdir yang musti dijalani. Suka atau tidak suka.
Dan akhirnya saya memilih bersimpuh dihadapanNYA. Menyerahkan semuanya pada DIA Sang Pemilik Kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar