Rabu, 14 Maret 2012

Momen Pertemuan

"Momen Pertemuan"


Lima belas tahun Amanda Raisa memendam perasaan suka dan cintanya pada Kafka, teman semasa sekolahnya dari zaman sekolah dasar hingga menengah umum. Tak ada yang tahu rahasia hatinya selama belasan tahun, ini rahasia diri Am sendiri dengan Sang Kuasa yang telah memberinya rasa ini.
Sepenggal rasa yang terkadang membuat Am dipenuhi oleh mimpi-mimpi dan harapan. Namun pada saat yang bersamaan rasa itu membuatnya mencelos kecewa dan larut dalam kubangan perasaan terluka bernama patah hati. Yah, berkali-kali hati Am patah, namun itu tidak menyurutkan rasa yang ada didalam diri Am terhadap Kafka. Ketika kali pertama menangis kecewa karena Kafka memiliki teman istimewa, Am berpikir mungkin karena mereka sejak dulu berteman, perasaan kecewa yang dirasakan Am hanyalah perasaan kecewa biasa karena kehilangan teman duduk. Tapi kali berikutnya, sadarlah ia bahwa rasa yang dimilikinya bukanlah perasaan kehilangan seorang teman, melainkan kehilangan perhatian seorang laki-laki.
Am senantiasa mengatakan pada dirinya, bahwa perasaan sukanya pada Kafka akan terkubur seiring dengan berjalannya waktu apalagi dengan kencan-kencan yang dilakukan Am. Namun, setelah sepuluh tahun perasaan itu masih terus ada Am memutuskan sendiri cara untuk melupakan Kafka. Dia ingin melupakan dan bersikap realisitis karena mungkin Kafka memang tidak akan pernah menaruh minat padanya. Tapi percuma berharap melupakan jika harapan untuk bersama masih terus ada. Dengan penuh keberanian dan mengesampingkan semua ego dan rasa malu, Am memberanikan diri berbicara langsung pada Kafka. Dengan semua harga diri dan kejujuran yang dimilikinya, Am mengatakan yang sebenarnya. Ada ketakutan dan keraguan yang sangat menyiksa ketika melihat Kafka tertegun diam menatapnya. Namun kemudian laki-laki itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih sambil berkata biarlah jodoh yang mengatur semuanya. Mereka berpisah dan Am berjanji dalam hati dan untuk keseluruhan hidupnya ia tak akan mencari-cari atau berusaha untuk menemui Kafka, biarlah takdir yang mempertemukan mereka. Jika ikatan bernama jodoh itu memang benar adanya mereka pasti akan dipertemukan.
Setelah kejadian yang menurut Am adalah keberanian paling besar yang pernah ia lakukan  dalam hidupnya. Untuk kali pertama Am membagi sedikit rahasianya pada sahabatnya, tentu saja dengan tetap merahasiakan bagian bahwa mereka sudah bertemu dan dia telah berbicara secara jujur pada Kafka. Karena Am ingin menyimpannya sebagai rahasia dan kenang-kenangan yang hanya miliknya sendiri dan Tuhan. Bisa ditebak bagaimana reaksi Nori, dia tidak pernah berpikir apalagi mem-ba-yang-kan jika Am menyukai Kafka. Karena dalam ingatan Nori, Am tidak pernah menunjukkan tingkah laku atau gelagat bahwa Am memiliki perasaaan yang istimewa pada Kafka. Betapa dia teramat salut pada sahabat yang sudah dikenalnya sedari lama yang mampu menyimpan rahasia hati serapi ini. Nori memeluknya erat saat itu, berusaha memberikan ketenangan pada Am dan menyemangatinya, sambil berucap pelan bahwa ada kekuatan lain diluar sana yang begitu besar yang akan memberikan Am keajaiban-keajaiban tanpa bisa disadari. Am memeluk erat balik sahabatnya, berusaha melepaskan beban berat yang telah menghimpit hatinya selama ini dengan bersandar di bahu Nori.
            Tapi itu semua sudah lima tahun berlalu, waktu itu Am berharap jika dia jujur, dia akan bisa melupakan Kafka. Tapi nyatanya, hingga kini nama itu masih tersimpan di sudut hatinya, mengisi ruang kosong di sana. Kadang Am merasa sangat benci dan lelah pada dirinya, tapi dia sendiri tak pernah kuasa untuk menipu atau membohongi dirinya bahwa dia masih memiliki rasa dan setitik harapan pada Kafka. Yang sangat Am sesali kenapa rasa itu makin terbentuk saat mereka sudah tidak bersama lagi. Kenapa Am tidak menyadari bahwa perasaan sukanya bukanlah hanya cinta monyet anak remaja sesaat, bahwa ini perasaan yang sebenar-benarnya Am miliki.
            Am tidak ingin membagi cerita pada Nori kala itu bukan karena Am tidak percaya. Tapi Am merasa seperti manusia bodoh dan tolol yang masih berharap pada hal-hal yang sudah tidak bisa diharapkan lagi. Dan demi Tuhan, Am tidak ingin Nori menganggapnya sebagai manusia yang bodoh dan tidak tahu diri.
            Am menghela nafas dan tersadar, suara pilot dari pengeras suara menariknya kembali kepada kehidupan nyata. Am mengalihkan perhatiannya pada layar monitor di bangku yang sedang menginstruksikan prosedur keselamatan di dalam penerbangan, selagi pesawat bergerak mencari posisi yang tepat untuk lepas landas. Yah, di sinilah Am sekarang, di dalam pesawat yang akan membawanya berlibur ke Yogya. Kota yang sudah dikunjunginya berulang kali namun berulang kali pula membuatnya jatuh cinta kembali. Am sudah merencanakan liburannya kali ini dari jauh hari. Lagipula, dia memang sengaja ingin menghabiskan hari ulang tahunnya di Yogya. Mungkin ini juga akan menjadi liburan terlamanya yang pernah dia lakukan di kota gudeg ini. Karena dia sudah minta cuti dari kantor selama lima hari kerja penuh.
            Entah ini disebut liburan atau pelarian, yang jelas rencana liburan kali ini sebenarnya terkait kabar setahun lalu. Di penghujung tahun lalu tepatnya di bulan November, Nori memberi kabar dengan ucapan sambil lalu ketika mereka bersua saat Am pulang kampung, bahwa tahun depan, entah tepatnya kapan, Kafka berencana akan melangsungkan pernikahan. Am hanya tersenyum dan berkomentar seadanya. Tak ada isyarat luka atau kecewa dalam nada suaranya karena Am memang benar-benar tulus saat mengatakan bahwa ia turut bahagia. Nori pun mengira Am sudah melupakan Kafka, karena memang semenjak Am berbicara yang sebenarnya tentang perasaannya, Am tidak pernah lagi mengungkit atau menyinggung soal Kafka. Jadi Nori berkesimpulan Am telah melupakan Kafka sepenuhnya.
            Namun di dasar hatinya Am tahu dirinya terluka dan kecewa. Kali ini hatinya benar-benar patah karena menahan pedih sakit yang ada bahwa semua harapan dan penantiannya sudah pupus. Saat itulah Am berencana ingin pergi untuk sejenak, berlibur sendirian, menghabiskan waktu untuk berpikir dan merenung, menata kembali hati dan pikirannya, membuang semua serakan-serakan pecahan keping hatinya dan menyembuhkan luka itu sendiri. Tak ada tempat lain yang terpikir olehnya selain Yogya. Kota kelahiran ayahnya dan yang telah mencuri hatinya semenjak kecil dulu. Am memandangi gumpalan-gumpalan awan putih dari jendela pesawat lantas perlahan menutup matanya. Pikirannya kembali melayang, betapa sungguh dia tak sanggup untuk menghadiri resepsi pernikahan Kafka jika dia memang diundang. Saat ini dia pasti tengah mempersiapkan acara besar dalam hidupnya itu, pikir Am pedih.
Kadang terbersit tanya dalam pikiran Am, apakah Kafka pernah mengingatnya sekali saja dalam pikirannya? Apakah Kafka ingat kalau Am adalah orang pertama di kelas 5 yang menjadi teman sebangkunya pertama kali saat dia baru datang sebagai siswa pindahan ke sekolah Am? Apakah Kafka ingat kalau dia adalah orang pertama yang mengajarkan pada Am tentang asiknya matematika? Orang pertama yang memberi semangat pada Am untuk bisa masuk sepuluh besar di kelas? Teman pertama yang berjanji bersama untuk bisa masuk ke SMP terbaik di kota mereka?.
Dan tiap kali teringat itu semua hati Am terasa ngilu dan miris. Betapa hal-hal yang sederhana seperti itu mampu membuatnya merindu kembali.
Am menghela nafas, tersadar bahwa sebentar lagi Kafka tak akan bisa dimiliki oleh siapapun lagi selain isterinya. Dan kali ini entah bagaimana caranya dan dengan apa Am harus bisa melupakan Kafka sepenuhnya. Bila perlu sampai dirinya amnesia dan tak pernah mengingat sedikitpun bahwa dia pernah mengenal seorang pria bernama Kafka.
Am terkejut dan membuka mata, lantas menoleh dan tersenyum saat seorang pramugari menyapanya dan menawarkan padanya hendak minum apa.
“ Teh tawar hangat,” jawab Am mantap dan tersenyum kembali.
***
            “ Mbak Am yakin mau jalan sendiri?? Gak Om anter aja???” Om Anta untuk yang kesekian kalinya menawarkan bantuannya untuk mengantar Am keliling Yogya.
            “ Iya mbak. Ntar nyasar loh??” kali ini Tante Wi ikut nimbrung.
            Am tertawa renyah. “ Om sama tante tenang aja. Am sudah persiapan dan bawa peta. Lagian ini kan bukan kali pertama Am kemari .”
            “ Iya memang. Tapi kalau plesiran neng kutho* sendiri baru pertama kali ini toh??” Om masih belum mau menyerah.
            “ Am bawa handphone, ntar kalo nyasar Am pasti telepon.”
            “ Bener ya mbak??” todong tante Wi masih dengan nada cemas dan berusaha menengahi. “ Ntar kalo Mbak kenapa-kenapa Om sama Tante yang bakal kena sembur Pakde sama bude di Sumatera.”
            “ Hahahahahaha,” tawa Am pecah. “ Kalo mau jalan sendiri ini, Am sudah ngomong sama ayah tante. Jadi om sama tante tenang aja. Lagian kalo om sama tante anterin kemana-mana, tante sama om jadi gak kerja dong. Kalo yang dulu-dulu kan Am datengnya pas musim liburan sekolah, kalo sekarang kan beda. Sudah, pokoknya om sama tante tenang aja. Doain Am ketemu kenalan cowok cakep di jalan hahaha,” Am meyakinkan dengan sepenuh hati sambil bercanda. Raut muka om dan tante berangsur normal dari kecemasan dan berganti senyum.
***
            Begitu turun dari Trans Yogya Am terheran-heran. Oke, ini memang bukan musim liburan sekolah, tapi memang berada pada pertengahan bulan menjelang akhir tahun. Namun walau begitu, “Ya ampuuunn,” pekik Am tanpa suara dan tertahan. Prambanan penuh sesak sama manusia. Am bisa melihat antrian di pintu loket tiket yang mengular. Am menghela nafas dan tersenyum menyemangati diri lantas berjalan mendekati kerumunan dengan penuh percaya diri.
Am sudah sampai di tengah antrian saat sekilas matanya menangkap sosok yang sepertinya dia kenal. Lantas dia membuang pandangan kembali, tak yakin akan penglihatannya. Bukannya tak mau menyapa, hanya takut salah mengenali orang di tengah lautan manusia seperti pagi ini, di tempat yang asing pula.
            Tapi namanya hati siapa yang tahu, perasaan Am masih penasaran dan akhirnya malah curi-curi pandang sendiri. Dia sampai  ditegur sama ibu-ibu yang mengantri tepat dibelakangnya karena kebanyakan bengong dan tidak melihat antrian. “ Mbak maju dong mbak, rame iki!!!”
            “ Aduh maaf bu,” Am nyengir bersalah sambil maju ke barisan. Matanya masih mengawasi cowok yang hanya berkelang tiga orang disebelah antriannya.
            Cowok itu mengenakan kaos dagadu warna putih dan jeans belel, sepatu sneakers, topi, dan menyandang tas ransel hitam, di lehernya tergantung kamera DSLR, beda merk dengan yang dimiliki Am. Tapi Am yakin cowok itu adalah orang yang dikenalnya.
            “ Kafka!!!” tanpa sadar Am memanggilnya.
            Cowok yang sedari tadi menjadi objek pengamatan Am itu menoleh, tampak kaget lantas tersenyum sumringah. “ Amanda!!!” serunya. Kafka mempersilahkan beberapa orang dibelakang antriannya untuk maju terlebih dahulu. Sekarang mereka berada dalam jajaran antrian yang sama walau berbeda jalur.
            “ Liburan juga??” Am membuka percakapan dan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
            “ Iya. Kamu sama siapa??”
            “ Sendiri. Kamu??”
            “ Sama. Lagi pengen jalan sendiri.”
            “ Oya!!” Seru Am tak percaya. “ Sama dong. Aku juga lagi keliling sendiri. Mau rasain serunya di mana.” Sungguh hatinya berbuncah begitu bertemu Kafka di sini. Di tempat yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
            “ Betul. Entah nyasar ato gak pokoknya jalan aja dulu hahaha.” Mereka lantas tertawa bareng.
            “ Nginep di mana??”
            “ Di sekitar Malioboro, ehmm tapi apa ya nama hostelnya. Aku lupa.” Kening Kafka sedikit mengernyit. “ Kamu di mana??” Mereka ngobrol sambil bergerak maju mengikuti antrian.
            “ Aku nginep tempat keluarga. Di tempat Oom. Di daerah Siliran.”
            “ Di mana itu?? Baru denger.”
            “ Sekitar satu jam setengah dari pusat kota. Kampung halaman ayah di daerah Kulon Progo, dekat pesisir.”
            Obrolan terhenti saat mereka membeli karcis masuk masing-masing.
            “ Oke selamat menikmati liburan ya Kaf.” Am tersenyum kikuk saat mereka sudah berada di pintu masuk.
            “ Yap. Selamat liburan juga.” Kafka balik tersenyum. Senyum tipis yang dari dulu tidak pernah berubah juga gestur kaku khas miliknya yang melekat ingat dalam ingatan terdalam seorang Amanda.
            “ Daghh,” Kafka berjalan pelan mendahului. Baru beberapa langkah Am merasa aneh dan ragu. Bukan begini yang ia mau. Sebenarnya ia ingin memberikan tawaran untuk bisa jalan bareng tapi takut; takut kalau cowok itu tidak berkenan.
Segera Am berubah pikiran. Dia sedikit mempercepat langkahnya memberanikan diri. “ Hei!!” serunya. Kafka yang tengah berjalan lurus di depan berhenti dan menoleh. “ Mau jalan bareng??” tawar Am penuh keberanian akhirnya.
            Cowok itu diam sesaat membuat hati Am ragu. “ Boleh,” ucapnya setelah terdiam agak lama.” Dengan senang hati,” ucap Kafka selanjutnya dengan senyum kaku khas yang mengembang dibibirnya.
            Am tersenyum lega, nyaris ingin berteriak malah. Mereka berjalan bersama menuju candi utama yang terdiri atas 16 candi dengan tiga diantaranya merupakan candi induk yakni Brahma, Siwa, dan Wisnu. Mereka berkeliling sambil mengobrol ringan, bertukar informasi seputar kamera dan dunia fotografi yang baru beberapa bulan terakhir ini dikenal oleh Am. Sesekali mereka tertawa jika ada hal yang dirasa konyol dan lucu. Begitu sampai di kompleks utama Prambanan kadang mereka berpisah untuk memotret bagian yang dianggap menarik dan kemudian saling memperlihatkan hasil fotonya, lantas melanjukan kembali berkeliling dari satu bagian ke bagian lain. Tadinya mereka berencana hendak lanjut ke kawasan Ratu Boko, tapi untuk menuju ke sana memerlukan kendaraan pribadi minimal motor. Karena sama-sama tidak ada yang membawa kendaraan pribadi akhirnya mereka putar haluan dengan lanjut ke Borobudur yang dapat ditempuh dengan menggunakan bus dari Prambanan lebih kurang dua jam setengah perjalanan.
            Borobudur bukan tujuan yang dipilih Am awalnya karena letaknya yang lumayan jauh, tapi karena ada teman akhirnya komplek candi Budha ini masuk dalam hitungan.
            “ Besok rencana ke mana Am??” tanya Kafka memecah keheningan saat mereka melaju di dalam bus.
            Am yang hampir nyaris tidur dibelai angin semilir dari jendela bus langsung bangun dengan muka terasa panas. “ Kamu berapa hari di Yogya??” Am malah balik tanya. Meredam rasa grogi yang tiba-tiba menghampirinya.
            “ Aku pulang Kamis, kamu??”
            “ Meleset sedikit dari kamu hehehe, aku pulang Sabtu-nya.”
            “ Oh ya? Lama juga kamu liburan hehehe,” Kafka terkekeh. “jadi besok rencana mau ke mana??”
            “ Ehmm rencananya sih pengen ke pantai di daerah Gunung Kidul, ada pantai bagus yang disebut-sebut Balinya Yogya. Namanya Ngobaran, tapi transport kesananya ternyata susah jadi kayaknya ke tempat lain saja.”
            “ Loh susah kenapa???”
            “ Gak ada kendaraan umum. Harus naik kendaraan pribadi, minimal motor. Cuma kalo make motor sendirian ke sana ya takut juga. Kalau ntar mogok atau ada apa-apa di jalan malah repot.”
            “ Aku jadi penasaran seperti apa pantainya.”
“ Bagus. Pernah dikirimin email fotonya sama teman,” potong Am cepat.
“ Ya sudah bareng aja yuk. Ntar aku coba cari sewaan motor. Kita pergi sama-sama,” Kafka mengatakannya dengan enteng tanpa tahu bagaimana perasaan Am jungkir balik dibuatnya.
            “ Loh,” Am bingung mau berkomentar apa. “ Eh jangan Kaf,” sergahnya cepat.” kamu kan punya rencana sendiri juga. Masa cuma gara-gara itu jadi batal,” Am menolak halus. Jantungnya  berdegup kencang tanpa bisa dikontrol.
            “ Gak apa-apa. Aku gak punya rencana kemana-mana. Kata kamu bagus, aku juga jadi pengen lihat. Atau, sekalian juga kita ke pantai yang waktu dulu dikunjungi pas study tour SMA. Kamu ingat kan pantainya? yang bikin kaki Mel luka gara-gara batu karangnya itu. Aduh aku lupa nama pantainya.”
            Am terkekeh geli. “ Pantai kukup. Coba nanti aku tanya sama Oom, beliau pasti tahu. Temen-temen di grup backpacker juga recommend sama tuh pantai. Eh tapi bener ya!! Janji!!” Am agak meragu sambil menyipit penuh curiga.
            Kafka tertawa. “ Iya janji. Nomor hape mu masih yang lama kan??”
            “ Degg,” jantung Am berdetak kencang. Ingatannya melayang pada kejadian lima tahun lalu. Ada perasaan takut yang menelusup kedalam dadanya. “ I..Iya masih sama,” sahut Am pelan dengan terbata.
            “ Ngomong-ngomong aku juga jadi pengen berkunjung ke tempat sodaramu Am,” Kafka menoleh tersenyum. Jantung Am mencelos saat bersitatap dan mendapati senyum manis yang tercetak di wajah Kafka. Akh harusnya tadi Am tidak mengajaknya jalan bareng, harusnya tadi mereka berjalan sendiri-sendiri saja. Atau malah lebih baik jika mereka tidak bertemu. Kalau begini, luka Am pasti bisa berdarah kembali. Ini bukan penyembuhan tapi ini melukai kembali dengan sengaja. Tapi bagaimana?? Am tidak bisa berbohong kalau dia happy bisa ketemu Kafka di sini setelah sekian tahun tidak bertemu. Hatinya dan pikirannya berperang tak karuan.
            “ Boleh,” ucapnya yang berlawanan dengan yang ada diotaknya.
            Mereka terdiam kembali, menikmati sisa perjalanan dan larut dalam pikiran masing-masing.
            Ada sedikit pertanyaan yang sebenarnya mengusik Am sedari tadi. Kenapa Kafka ada di sini. Bukankah seharusnya dia sedang sibuk mempersiapkan acaranya? Kalaupun diundur harusnya Kafka tidak sendiri, harusnya ada dia. Apa mereka sedang bertengkar??? Apa Kafka melakukan hal yang sama seperti yang sedang dilakukan olehnya??? Atau dia pergi berlibur sebagai liburan terakhir sebelum menikah?? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantam pikiran Am sedari tadi. Ingin dia mengirim pesan pada Nori dan bertanya, tapi takut akan membuat sahabatnya itu curiga. Am baru hendak bertanya namun urung saat melihat Kafka tertidur di kursinya.
            Tanpa sadar dia mengamati raut wajah itu. Selama belasan tahun berteman, ini kali pertama mereka ngobrol banyak dan jalan berdua. Kali pertama Am bisa memandang Kafka dengan leluasa, mengamati dengan rinci setiap raut wajah cowok itu dihadapan dirinya dengan leluasa. Dan dia ingin mengingat semuanya selagi bisa. Ada perasaan rindu sekaligus terluka di dalam hatinya. Mata Am mulai panas oleh air mata tapi buru-buru dia meredamnya sebelum jatuh mengalir. Am membuang pandangan ke luar jendela dengan pikiran semrawut. Kenapa tak menikmati saat ini saja sepenuhnya?? Bisik suara hatinya. Kenapa harus khawatir?? bisik suara hatinya lagi. Bukankah bisa bertemu Kafka setelah sekian tahun tak bersua adalah sebuah anugerah? Lantas kenapa tidak banyak-banyak meraup kebahagiaan walaupun cuma sebentar, daripada bersedih akan kekhawatiran yang tidak pasti?? Am tersenyum lirih menyudahi suara-suara yang tengah berperang dalam benak dan hatinya. Lalu ia membuka kameranya dan mengabadikan sosok disampingnya dalam diam dan jepretan kamera. Am tersenyum geli melihat hasil fotonya sambil sedikit terisak karena menahan tangis.
            Mereka sampai di Borobudur menjelang ashar.  Dan langsung beraksi dengan kamera sambil berjalan mendekati Candi megah tersebut. Mengantri sebentar di tangga naik untuk sampai ke kompleks candi. Mengitari bangunan candi dan mengagumi relief-relief yang terukir di sana. Mereka juga mencoba mitos yang terkenal di Borobudur. Katanya, kalau bisa memasukkan tangan ke lubang Stupa dan menyentuh patung Budha yang ada didalamnya kita akan mendapatkan keberuntungan. Dengan gokil Kafka mencobanya dengan segala bentuk posisi yang membuat mereka tetawa geli sekaligus ditertawakan. Di kompleks candi ini juga mereka diminta beberapa kali oleh beberapa turis asing untuk foto bersama dan mendapat pujian nice couple. Kontan saja Am dan Kafka saling melempar pandangan dengan bingung lantas tertawa geli sesudahnya.
            Am sudah mengira akan pulang melewati petang dan dugaannya benar. Dia berencana akan langsung bablas ke terminal Giwangan namun Kafka melarangnya. Am sendiri juga sebenarnya tidak yakin masih bisa mendapat bus untuk sampai di Siliran. Akhirnya dengan berat hati Am menelepon Om dan minta dijemput di tempat Kafka menginap setelah menjelaskan nama hostel dan alamatnya.
            Mereka sampai di penginapan Kafka lepas Magrib menjelang Isya. Kafka menawarinya untuk membersihkan diri seadanya. Sesudahnya mereka duduk-duduk di  kamar sambil menyeruput teh hangat dan panganan kecil yang dibeli Kafka di depan penginapan. Hal ini karena Am menolak diajak makan. Takut lama dan Om sudah menunggu alasannya.
            “ Sudah jadi pak Lurah belum Kaf??” Am menggodanya saat mereka duduk santai di dalam kamar yang pintunya sengaja di buka.
            “ Hahaha, belumlah Am. Emangnya jadi pak Lurah gampang.”
            “ Kirain sudah.”
            “ Kamu sendiri sekarang di mana??”
            “ Masih di perusahaan lama hanya pindah tempat.”
            “ Oohh. Di Jakarta bukan??”
            “ He eh. Aduh panas,” Am mengaduh sambil menjulurkan lidahnya yang terbakar karena teh yang diseruputnya.
            “ Hahahaha, pelan-pelan. Nih air putih!!”
            “ Hehehe,”Am nyengir malu. “ Makasih,” Am mengambil gelas air mineral yang disodorkan Kafka padanya.
            “ Eh Am ngomong-ngomong aku mau ikut rencanamu liburan. Sepertinya tempat-tempat yang mau kamu kunjungi asyik-asyik. Boleh kan??”
            “ Uhukkkk  uhuukk ehhmm ehmm,” kali ini Am tersedak, lantas buru-buru dia menambahkan. “ Sori-sori. Iya boleh, tapi gak boleh protes ya aku mau ke mana.”
            “ Sipp,” Kafka mengacungkan ibu jarinya. “ Yang penting kamu izinin aku sehari buat main kerumah Om mu. Terus temani aku belanja sedikit oleh-oleh buat orang rumah yah. Boleh kan main ke sana??.”
            Orang rumah!! Senyum Am berubah kaku,  jantung Am mencelos dan lantas tersadar. “ Oke,” sahutnya kemudian sambil tersenyum. Pedih.
            Om datang tepat waktu di saat Am butuh untuk bisa melarikan diri sebelum air matanya tumpah ruah dan dia mempermalukan dirinya lebih jauh.
***
            Esoknya Am menepati janji, pukul delapan lebih sedikit dia sudah manteng di depan penginapan Kafka. Cowok itu keluar sepuluh menit kemudian dengan mendorong sepeda motor bebek sesuai janjinya.
            “ Motor siapa?” tanya Am penasaran. “ Sewa??” tanyanya lagi.
            “ Motor temennya adik yang ada di sini. Ayo naik. Ini helmnya.” Kafka mengangsurkan helm putih bermotif kartun lucu. “ Bawa petanya kan?” tanyanya dari atas motor sebelum mereka siap pergi.
            “ Oh ini. Coba kamu lihat bentar Kaf, aku gak pinter baca peta soalnya.” Am menyerahkan peta dan tulisan singkat petunjuk yang dia buat Om semalam.
            “ Oke siap pergi!!” katanya setelah mempelajari peta itu sebentar dan memasukkannya kedalam saku jaket.
            “ Yup Siapppp!!!” seru Am lantang dan bersemangat.
            Tak apakan Tuhan untuk sekali ini saja dirinya bersikap sedikit egois dengan menganggap Kafka adalah miliknya???. Bisik Am dalam hati. Anggap saja ini hadiah ulang tahun untuk dirinya yang paling istimewa. Untuk sebentarrr saja dia ingin merasakan kebahagiaan ini. Kebahagiaan bersama Kafka. Doa Am dalam hati sambil meraih sedikit pinggang Kafka dengan ragu untuk berpegangan.
            Hari itu mereka menelusuri kawasan pantai di pesisir Yogya. Dari Ngobaran yang memang benar-benar indah dan terdapat pura persis seperti di Bali. Lanjut ke Pantai Ngrenehan dengan bukit kapurnya. Mereka juga sempat mencicipi ikan bakar segar yang baru diambil nelayan dari laut di pantai ini. Masih dalam satu gugusan mereka melaju ke pantai Sundak. Dari Sundak mereka melaju ke Pantai Krakal yang merupakan pantai terpanjang dengan bentangan pasir putihnya lebih kurang sejauh 5 km. Menikmati wisata pemandian muara sungai bawah tanah di Baron dan bernostalgia tentang masa study tour SMA di pantai Kukup yang memiliki hamparan karang luas. Terakhir mereka menuju pantai terdekat di kawasan Yogya yang terkenal dengan mitosnya, di mana lagi kalau bukan Parangtritis. Sambil berjalan menyusuri garis pantai yang sore itu tampak ramai pengunjung, Am memandangi garis punggung Kafka yang berjalan pelan didepannya. Ombak yang pecah di pantai menerjang kakinya yang telanjang. Menyapu jejak-jejak kaki Kafka yang diikutinya sejak tadi. Jejak itu seperti bayangan Kafka sendiri yang senantiasa Am ikuti selama ini. Namun sebentar lagi jejak maupun bayangan itu tak bisa diikutinya lagi. Am menghela nafas keras tanpa disadarinya.
“ Am sini!!” teriak Kafka. Membuyarkan lamunan Am. Am mendongak, ternyata dia sudah tertinggal lumayan jauh. Tangan Kafka melambai, mengajaknya mendekat.
“ Kenapa?” tanyanya setelah sampai di tempat Kafka berdiri.
“ Ayo foto. Aku sudah minta tolong Adik ini buat fotoin kita berdua,” Kafka menunjuk seorang anak berusia belasan yang tengah memegang kamera milik cowok itu. Dalam posisi siap untuk membidik mereka. “ Lihat matahari dibalik awan mendung itu,” tunjuk Kafka ke arah barat,” cantik ya.” Am menoleh dan mengangguk tanda setuju. “ Matahari itu latarnya dan mumpung lautnya juga lagi tenang, ayo kita foto buat kenang-kenangan,” ucapnya bersemangat. Am tak kuasa untuk menolak dan berbicara. Hatinya sedang campur aduk antara kepedihan dan kebahagiaan. Tangan kanannya terangkat perlahan, menghapus setitik air mata yang nyaris jatuh lantas tersenyum pada sang fotografer. Am berharap hasilnya bagus karena dia ingin bisa menyimpannya.
Langit sore mendung menggantung saat mereka meninggalkan Parangtritis. Tak ayal di tengah perjalanan mereka kehujanan, bukannya sibuk berteduh Am malah ribet menyelamatkan kameranya yang membuat Kafka tertawa geli.
            “ Sudah gak apa-apa. Biasanya case-nya tahan air kok,” Kafka menenangkannya. Mereka berteduh di sebuah restoran kecil di pinggiran jalan.
             “ Haduh kayaknya nih ujan lama berentinya,” Am mulai ngedumel. “ Bus masih ada gak ya??” tanyanya cemas kepada dirinya sendiri sambil terus melirik jam tangan lalu beralih ke arah luar dengan cemas.
            “ Gak apa nanti aku antar kamu.”
            “ Hah,” kali ini ditatapnya Kafka dengan bingung.
            “ Kenapa??” Kafka balik tanya dengan aneh.
            “ Gak usah. Ntar aku minta jemput lagi saja,” Am mengibaskan tangannya buru-buru.
            “ Ngapain minta jemput ada motor juga kok. Sudah tenang aja, aku tahu kok jalannya,” sahutnya sambil mengibaskan peta dihadapan Am.
            “ Tapi jauh Kaf, kasian kamunya.”
            “ Gak sampe dua jam kok. Kamu kayak kenal aku baru kemaren saja. Aku kan paling doyan bawa motor kemana-mana,” ucapnya sambil tersenyum. Am bergeming. “ Eh kayaknya makanan di sini enak juga. Liat tamu yang lagi pada makan itu,” Kafka memainkan dagunya untuk meminta Am mengalihkan pandangan ke sekitar mereka.
            Am melihat sekitar. Sepertinya ucapan Kafka ada benarnya. Tamu-tamu yang lain terlihat lahap melahap makanan mereka.
            “ Pesen aja yuk, aku juga udah laper,” ucap Am kemudian sambil nyengir. “ Kali ini aku yang bayar, tadi kan kamu sudah beli bensin sepanjang perjalanan. Jadi sekarang gantian.” Tawar Am.
            Kafka memandang Am dengan senyum tipis. “ Sip, oke,” ucapnya kemudian lantas  langsung memanggil mbak-mbak pelayannya yang berdiri tak jauh dari mereka. “ Jangan nyesel ya kalo kamu bangkrut karena aku makan banyak hahaha.” Tawa mereka pun pecah.
***
            Esoknya mereka janjian untuk mengitari kawasan pusat kota Yogya. Perjalanan hari itu dimulai dari titik Nol kilometer Yogya. Mereka berjalan kaki menelusuri trotoar sambil menikmati bangunan tua peninggalan zaman Belanda yang masih berdiri kokoh di sana, sebut saja Kantor Pos Besar Yogya, Gedung BNI 46, Gedung Bank Indonesia, dan pemandangan becak yang tersusun rapi  di sepanjang jalan. Saat Kafka berhenti untuk memotret bangunan-bagunan bersejarah itu tanpa sadar Am mengamatinya dari belakang. Bibirnya tersenyum tipis antara geli dan rasa miris kala menyadari bahwa hatinya ternyata masih begitu menginginkan pria ini.
Sebelum ke keraton Yogya mereka mampir ke Taman Sari tempat pemandian putri-putri Raja Yogya dan mencoba peruntungan melewati dua pohon beringin di alun-alun kidul Kraton Yogyakarta. Kafka meleset jauh sedangkan Am nyaris berhasil kalau tidak terperosok ke tanah becek tanpa sengaja yang membuatnya langsung membuka mata dan menghasilkan tawa geli dan keras dari Kafka, membuat Am malu dijadikan pusat perhatian. Dari sana mereka mulai menelusuri Kraton Yogyakarta sambil menyimak dengan seksama beberapa kisah tentang kraton dari para abdi dalem kraton yang kebetulan sedang bertugas saat mereka berkunjung. Menjelang sore mereka berkeliaran di kawasan Malioboro untuk mencari oleh-oleh. Beberapa kali Am tertinggal lumayan jauh dari Kafka karena tergencet dan terhalang oleh orang-orang yang memadati Malioboro. Sampai kemudian Am benar-benar terkejut saat Kafka meraih tangannya, menggenggam jari-jemarinya dengan halus dan pelan untuk menerobos kerumunan yang memadat. Am terhenyak, ada rasa haru yang menjalar di dalam dirinya. Antara kaget dan bingung Am menarik tangan Kafka saat mereka melewati beberapa penjual souvenir yang dicari Kafka. “Ini Kaf ada yang jual pernik kaca yang kamu cari,” mereka berhenti di depan penjual pernik kaca, lantas Am menarik tangannya sendiri dari genggaman Kafka.
“ Oh maaf,” ucap Kafka saat Am menarik tangannya.
Tolong jangan bilang maaf, bisik Am dalam hati. “ Gak. Gak apa-apa. Aku yang makasih,” ucap Am tersenyum.
Selama perjalanan pulang. Am terus memandangi tangan kanannya dari balik punggung Kafka yang sedang mengendarai motor. Hanya hal sederhana tapi sungguh berarti, bisik Am lagi dalam hati.
“ Kamu gak pegangan Am??” teriak Kafka dari depan.
“ Oh..” Am tergagap. “ Pegangan kok!!” sahut Am tak kalah berteriak.
“ Besok aku jadi ya mampir ke rumah om mu??”
“ Sippp. SMS aja kamu berangkat jam berapa!!”
“ Oke!!!” Kafka mengacungkan ibu jari kirinya.
***
            Pukul sembilan keesokan harinya Kafka sudah sampai di rumah Om. Setelah sarapan Am memberikan kaos sederhana pada Kafka supaya mengganti kemejanya dengan kaos biasa itu. Mereka berencana ikut ke sawah dan ladang Om Trio, adik bungsu ayah Am jadi gak lucu kalau nanti kemeja Kafka belepotan lumpur dan kotoran lain. Om Anta tidak bisa ikut menemani karena harus mengajar.
Dengan kikuk Kafka membantu Om Trio turun ke sawah, tangan dan kakinya belepotan lumpur. Sekarang lagi mulai masa tanam jadi sawah tampak kosong dan becek. Am membantu Tante Sahrum menyiangi benih padi di dekat tempat air yang terbuat dari batu. Sesekali dia nimbrung di pinggir sawah untuk meledek Kafka dan tertawa geli melihat ulah tengil cowok itu. Menjelang siang mereka beralih ke ladang yang hanya dipisah oleh jalan setapak. Deretan tanaman cabe di satu sisi dan tanaman melon serta semangka di sisi lain membuat tempat itu sangat cantik dan rapi.
Om Trio membuka satu semangka yang langsung diambilnya dari salah satu sulur di sana. Buahnya berwarna merah segar dan tampak menggiurkan. Sepupu-sepupu Am yang masih kecil turut serta dan mereka berebut untuk mengambil bagian semangka masing-masing. Mereka berteduh di pondok sederhana di pinggir ladang, duduk santai sambil memperhatikan pemandangan sekeliling. Om dan tante sedang membersihkan rumput dan sampah disela-sela tanaman, sepupu-sepupu Am lincah bermain kejar-kejaran dan petak umpet.
            “ Liburan ini benar-benar menyenangkan Am,” Kafka membuka suara sambil meliriknya dan tersenyum. Am balas tersenyum tanpa komentar. “ Saudara-saudara ayahmu akrab dan dekat ya. Ramah lagi sama orang asing kayak aku. Tadinya aku pikir liburan ini bakal membosankan tapi ternyata jauh lebih asyik dari yang dibayangkan.”
            “ Syukur deh kalo menurutmu asyik. Ehmm Kaf, boleh aku tanya sesuatu,” Am berhati-hati memilih ucapannya. Sebenarnya semenjak dari awal ketemu hari minggu lalu di Prambanan dia ingin menanyakan ini, namun ragu dan waktu yang ada dirasa tidak pernah tepat.
            “ Apa?? Jangan yang aneh-aneh aja ya tapinya,” ancam Kafka dengan nada sinis bercanda.
            Am tertawa pelan sebentar. “ Aku bukannya mau ikut campur. Tapi kamu lagi ada masalah ya??” tebak Am sok tahu.
            Kafka bergeming, melirik Am sebentar lantas kembali menatap lurus ke pemandangan indah dihadapannya.
            “ Aku tahu dari Nori kalau tahun ini kamu berencana menikah tapi kenapa kamu malah memilih liburan. Sendirian pula.”
            “ Aneh ya?? Trus kamu sendiri kenapa memilih liburan sendirian???” Kafka balik bertanya dengan cepat.
            Am tersenyum miris. Apakah dia harus menceritakan yang sebenarnya. Kalau ia menceritakan alasan dia berlibur kemari apakah itu tidak memalukan.
            “ Yah, aku memang sedang ingin melarikan diri. Walaupun cuma sebentar hehe,” lanjutnya sambil nyengir. “ Ngusir penat dan supaya bisa berpikir jenih kembali. Singkatnya menyembuhkan luka.” katanya menjelaskan setelah keheningan yang mengambang cukup lama.
            “ Kenapa? kamu sedang ada masalah sama....” Am tidak berani meneruskan kalimatnya. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa jika memang benar Kafka sedang ada masalah dengan kekasihnya. Am hanya bisa menatap sosok disebelahnya dengan menerawang dan jantung berdebar. Bahu Kafka tampak menunduk. Seperti menanggung rasa pedih dan kecewa yang sangat besar.
            “ Aku..,” akhirnya Kafka memulai bersuara setelah tidak ada yang berani diantara mereka untuk mengawali pembicaraan. Tampak Kafka berpikir menimbang-nimbang. Hal yang wajar. Karena bagaimanapun juga Am tetap orang asing baginya dan wajar jika Kafka tidak ingin membahas masalahnya lebih jauh pada Am. “Aku...,” ulangnya lagi. “ Tidak bisa meninggalkan pekerjaanku karena aku memang terikat sebagai seorang pegawai negeri sipil. Kalaupun bisa itu sangat sulit dan memakan waktu. Tapi dia bersikukuh untuk tidak mau tinggal di tempatku sekarang berdinas dengan alasan daerah itu hanyalah sebuah kota kecil dan jauh dari mana-mana. Rasanya percuma menjalani hubungan selama bertahun-tahun kalau harus berakhir dengan alasan yang sepertinya tidak masuk akal ini. Aku mau ikut bersamanya sungguh, tapi kamu lihat sendiri kan itu sangat sulit.” Kafka melirik Am dan tersenyum miris. “ Dan pada akhirnya kami memang berakhir.” Lanjutnya masih dengan senyum penuh luka dan tatapan yang menerawang entah kemana.
            Am benar-benar bergeming. Tak berani mengeluarkan suara. Hanya tangannya perlahan terangkat dan menepuk pelan bahu Kafka. “ Jodoh gak akan kemana Kaf,” bisik Am lirih. Padahal menurutnya sendiri kalimat itu terasa hanyalah omong kosong. Tapi dia sendiri tidak bisa menemukan kata-kata lain yang pantas selain kalimat bodoh itu. “ Aku turut sedih,” lanjutnya. Kali ini dengan sungguh-sungguh.
            Kafka tertawa, tawa sumbang sekadar untuk menenangkan dirinya sendiri dan Am agak salah tingkah dibuatnya. “ Sudahlah. Lupakan. Kita nikmati saja sekarang. Dan hey,” liriknya pada Am seraya tersenyum riang. “ Sepertinya sekarang aku sudah jauh lebih baik dan bisa menerima hehehehe,” dia nyengir dengan mimik lucu. Am tertawa geli dibuatnya.
            “ Eh kamu sendiri kenapa liburan kemari sendiri?? Kayaknya bukan sekadar mengunjungi saudara deh,” selidik Kafka sambil menatap lurus ke arah Am yang sekarang mendadak grogi.
            “ Apa sih sok tahu, gak usah iseng,” Am membela diri.
            “ Kalau mengunjungi keluarga, pasti pergi liburannya rame-rame. Hayo apa??? Kamu juga lagi patah hati ya???” selidik Kafka lagi.
            Am tidak bisa mengelak, “ Iya patah hati. Patah hati sama kamu,” Am keceplosan. Spontan dia menggigit lidahnya dan mengutuk dirinya sendiri, namun sudah terlanjur. Ada raut kaget di wajah Kafka dan mereka kembali hening. Bodoh, rutuk Am dalam hati.
            “ Maaf,” akhirnya Am bersuara lirih.
            “ Aku minta maaf soal pernyataan itu Am. Aku..,”
            Am langsung memotong cepat tanpa aba-aba. “ Tenang Kaf aku gak apa-apa. Sungguh,” Am mengacungkan dua jari membentuk tanda peace untuk meyakinkan yang disambut senyum geli dari Kafka. “Tapi kamu tau sendiri kan, ketika kita menyukai seseorang dan mengetahui bahwa orang itu akan jadi milik orang lain selamanya ada perasaan kecewa yang mengharuskan kita untuk segera melupakannya. Dan itu yang sedang aku lakukan sekarang,” kali ini Am tersenyum penuh percaya diri dengan mimik yang seolah mengatakan sungguh aku baik-baik saja. “ Dan kamu tahu gak, seandainya aku diundang ke pesta pernikahanmu aku sudah berencana gak mau datang loh.” Sambungnya kemudian dengan nada berusaha terdengar riang dan bercanda.
            “ Hah masa sih. Kok begitu??? Kenapa memangnya??”
            “ Eh emangnya kamu pikir gak pedih apa ngeliat orang yang kita suka duduk berdampingan sama orang lain!!! Aku kan gak mau mewek di tengah orang banyak begitu trus diketawain.”
            “ Gila kamu Am sampe segitunya.” Mereka lantas tergelak, Am sendiri bingung kenapa sekarang dengan gampangnya dia mampu menjabarkan perasaannya pada orang yang disukainya sejak lama. Yang jelas-jelas tidak menyukainya dan yang telah membuat hatinya berkali-kali patah dan terluka. Padahal, pada Nori untuk sekadar mengaku dan menceritakan perasaannya susaaaaah bukan main.
            “ Oh jadi pas di bus itu juga kamu sudah mau mewek ya?? atau malah dah nangis,” goda Kafka.
            “ Hah,” Am kaget setengah mampus. Di bus?? Pikirnya. Bus waktu mereka mau ke Borobudur itu?? Loh bukannya Kafka tidur??? Jadi..jadi..Am ngeri membayangkannya.
            “ Sialan. Kalo sudah bangun ngomong kek, malah pura-pura tidur,” Am menimpuk Kafka tanpa ampun.
            “ Kamu masih hutang foto sama aku, kamu motret aku kan??” tuduh Kafka yang membuat Am bergeming tanpa nyali dan muka merah kayak udang rebus. Kafka tertawa melihatnya, membuat Am makin merasa malu terpojok dan tidak bisa berkomentar apapun sedangkan Kafka sukses menertawakannya tanpa ampun.
 “Thanks ya Am, sudah ngajak aku keliling ke tempat-tempat baru,” mereka mengobrol santai kembali setelah insiden memalukan itu. Setelah Kafka puas menertawakannya dan Am memerah saking malunya. “ Ini kenangan terindah. Dan biarkan semuanya berjalan seperti adanya. Seperti katamu, jodoh itu gak akan kemana. Kalau memang kita berjodoh kita pasti ketemu lagi, di suatu tempat yang tidak pernah dibayangkan dan tanpa sengaja,” Kafka menyunggingkan senyumnya. Senyum tulus yang mengingatkan Am saat mereka pertama kali berkenalan dulu. Am balas tersenyum walaupun sebenarnya ada rasa kecewa yang menelusup di dalam hatinya.
            Am menghela nafas dan menghembuskannya dengan cepat lantas berucap “ Oke, lupakan itu semua,” ucapnya penuh percaya diri. “ Besok kan kamu pulang. Yuk aku ajak kamu ke pantai. Ini bukan pantai yang cantik tapi menurutku sangat keren karena ombaknya yang tinggiiii banget. Ayo!!!” Am turun dari pondokan dan berjalan ke arah Om Trio.
            “ Naik apa???” seru kafka masih dari atas pondok.
            “ Jalan kaki saja. Di dekat sini kok!!”
            Setelah makan siang dengan gaya lesehan di pinggir ladang. Mereka lanjut ke pantai. Sebenarnya bukan pantai  wisata karena hanya di pesisir biasa dan sangat jarang dikunjungi orang. Tapi setiap berkunjung ke Siliran Am tidak pernah melewatkan untuk datang kemari. Mereka menaiki bukit pasir, menerobos hutan dan semak dengan buah-buahan hutan berukuran besar yang menggelantung di dahan pohonnya. Mereka juga melewati perkebunan buah naga milik penduduk setempat yang meriah karena warna buahnya yang merah menyala. Sampai di atas bukit yang datar dan luas terhampar perumahan-perumahan sederhana milik negara yang disebut orang sana daerah Trans. Sepertinya kependekan dari transmigrasi. Turun sebentar suara debur ombak dan angin laut yang beraroma asin menyambut mereka. Berbagai jenis tanaman khas daerah pesisir menghampar luas dihadapan mereka. Sungguh pemandangan alam liar yang harmonis. Kafka tak henti-henti berkomentar tentang keelokan alamnya sambil bercanda dengan Am dan sepupu-sepupu kecilnya.
Begitu sampai dibibir pantai, Am dan sepupu-sepupunya langsung berlarian menyambut ombak. Mereka basah kuyup dihantam ombak lalu tertawa girang saling menertawakan. Setelah basah kuyup dan jatuh bangun diterjang ombak mereka berlomba mencari kepiting-kepiting kecil disela-sela pasir untuk dibuat panganan nantinya. Beberapa kali Kafka jatuh dihantam ombak dan Am sukses menertawakannya. Dan kalau Am sudah hendak berjalan ke tepi cowok itu dengan usilnya menariknya kembali ke laut. Saat matahari sudah menggelincir ke barat barulah mereka pulang dengan badan menggigil karena basah kuyup.
            Setelah membersihkan diri dan makan malam Kafka pamit untuk pulang. Karena besok dia harus bersiap-siap untuk penerbangan pagi.
            “ Sori ya Kaf aku gak bisa anter kamu besok. Thanks buat beberapa hari yang sangat menyenangkan ini.” Am tersenyum saat mengantar Kafka ke depan pagar rumah om Anta .  “ Harusnya aku yang terima kasih. Keluarga kamu ramah dan menyenangkan,” ujarnya sembari tersenyum.” Oke aku pamit ya, sampai ketemu lagi.” Kafka mulai menjalankan motornya dan Am menutup pintu pagar. Dia baru hendak berbalik masuk ke dalam rumah saat suara motor berhenti di depan pelataran dan suara Kafka terdengar memanggil dibelakangnya.
            “ Am aku lupa!!” serunya. Am berbalik berjalan kembali mendekat dengan bingung sambil berpikir apakah ada barang Kafka yang tertinggal. “ Selamat ulang tahun!!” ucapnya tulus.
            Am tercekat. Dia tidak pernah menyinggung tentang hari ulang tahunnya dan sungguh terharu saat Kafka mengucapkannya. “ Ma..makasih,” sahutnya tergagap karena keterharuan yang membuncah sambil tersenyum. Wajahnya memanas terharu.
            “ Sori kalau telat banget,” lanjutnya seraya tersenyum diantara kegelapan malam. “Kalau memang kita berjodoh kita pasti akan ketemu lagi di tempat yang mungkin tak pernah terpikir oleh kita,” Kafka mengulangi ucapan yang diucapkannya tadi siang. “Dagghh, sampai ketemu lagi,” ucapnya kembali tersenyum lantas berlalu sambil melambaikan tangan.
            Am tersenyum terharu karena menahan air matanya. Dia membalas dengan melambaikan tangan tanpa bisa bersuara saking terharunya. Dipandangnya terus motor Kafka yang berlalu dan makin mengecil lantas menghilang sama sekali ditikungan jalan.
            Am terduduk lemas di teras depan. Air matanya tanpa mau dikontrol meleleh. Bukan, bukan seperti ini yang dia mau, harusnya ia melupakan, harusnya liburan ini adalah pengobat atas luka-lukanya tapi semuanya malah justru sebaliknya. Haruskah ia senang karena Kafka batal menikah? tapi di sisi lain hatinya justru terluka karena Kafka tetaplah bukan untuknya. Dan semua kenyataan itu malah membuat luka yang ada semakin menganga. Ketidakberdayaannya atas harapan baru yang muncul namun terasa semu makin menyakitkan. “Ku mohon jangan seperti ini,” suara Am lirih diantara isak tangisnya yang pilu. “ Jangan berikan aku harapan semu Kaf,” isaknya pedih.
            Esoknya rencana Am berubah total, awalnya kamis ini dia berencana akan berada di rumah menemani sepupu-sepupunya sambil mempersiapkan acara ke Gembiraloka ke esokan harinya bersama seluruh kerabatnya, tapi sekarang dia berubah pikiran. Setelah pamitan sama Om dan tante, Am kembali mengurai kenangan beberapa hari ini. Dia kembali mengunjungi Prambanan, menapaki kembali tempat-tempat yang sudah ditelusurinya bersama Kafka hari minggu kemarin. Ketika matahari menelusup melewati bangunan candi dan menyilaukan mata, Am memandangnya seraya bergumam dalam hati, yah jika kita bisa bertemu lagi tanpa disengaja mungkin itulah pertanda bagi kita. Lantas ia tersenyum dan berlalu. Menguatkan hati dan menyimpan kenangan empat hari ini sebagai kado terindah dalam hidupnya.
Am juga menelusuri kembali jalanan Malioboro dan kawasan sekitarnya sembari mengenang setiap jengkal yang sudah dilalui kemarin. Hanya pantai yang tidak dikunjunginya karena dia tidak berani membawa kendaraan sendiri. Dia bertekad ingin menjadi lebih kuat. Setelah menangis semalam tanpa suara dia berjanji untuk menjadi lebih kuat lagi. Mungkin saja dengan mengenang semuanya untuk kali terakhir dengan segenap keyakinan hati adalah cara terampuh untuk membuktikan bahwa dia kuat.
Setelahnya dalam perjalanan pulang Am melahap setiap pemandangan yang ada melalui kaca jendela bus sambil berpikir untuk menata hati dan hidupnya ke depan lagi. Kali ini dia ingin benar-benar melupakan dan menyisakan harapannya pada sebuah keajaiban dan kenyataan.
***
            Satu tahun berlalu dan semuanya kembali ke awal.
            “ Drttt...drrttt...drrrrttttt,” ponsel di saku celana Am bergetar. Begitu melihat nama Nori berkedip-kedip di layar Am sumringah mengangkatnya.
            “ Halooo,” sapa Am bersemangat.
            “ Halo Ammm!!!” Nori sedikit berteriak disebrang sana. “ Apa kabarnya???”
            “ Baik. Kamu gimana??”
            “ Sama, baik juga. Mamas juga baik kalau kamu mau tanya dia juga hahaha.” Nori tergelak. Am ikut tertawa geli juga mendengarnya. “ Am!!” Nada suara Nori sedikit berubah ketus saat menyebut namanya.
            Kening Am sampai mengernyit heran. “ Kenapa Nor??” tanyanya khawatir. Am masuk ke dalam supermarket di dekat kosnya dan mulai mengelilingi lorong-lorong barang yang hendak dicarinya.
            “ Dasar cewek jahat,” tuduh Nori makin membuat Am bingung. “ Kemarin aku ketemu mama mu, beliau bilang minggu depan kamu mau pergi liburan dan lagi-lagi kamu gak ngajak aku hah!!”
            Am tertawa geli tanpa bisa ditahan dan berhenti di lorong tempat makanan kecil. “ Aduh Nor aku gak maksud begitu tapi aku memang ingin pergi sendiri. Lagipula kalau aku ngajak kamu, aku bakal habis dihajar mamasmu,” Am berusaha menjelaskan lalu mengambil beberapa makanan ringan.
            “ Alah alasan,” sahut Nori cepat. “ Tahun kemarin kamu pergi sendiri, tahun ini juga. Trus liburan bareng sama akunya kapannnn??”
            “ Hahahaha itu kayaknya sudah susah deh. Lagian kan kamu baru pergi liburan pertengahan tahun kemaren, honeymoon itu kan bisa diitung liburan juga??”
            “ Itukan sama mamas tapi sama kamu kan belomannn!!” Nori masih merengek manja khas dirinya.
            Am tersenyum kecil akhirnya dia menengahi sebelum Nori merengek lebih jauh. “ Oke, kali ini aku liburan sendiri lagi, tapi aku janji kalo aku pulang nanti ke rumah kita bakal jalan seharian. Aku akan minta izin sama mamasmu dan kita ngelayap seharian. Janji.”
            “ Bener ya. Ajak aku jalan-jalan kalo kamu pulang, aku gak mau jadi ibu-ibu rumah tangga yang menyedihkan.”
            “ Hahahahaha,” tawa mereka pecah bersamaan. “ Am!!,” panggil Nori halus kemudian. “ Ya,” jawab Am pendek disela sisa tawanya.
            “ Cepet ketemu someone ya. Aku mau kamu bahagia.”
            Jantung Am berdegup cepat lantas dia tersenyum tipis. “ Ya,” jawabnya mantap karena tahu Nori tak bisa melihat senyumnya.
            “ Eh!!,” nada suara Nori sudah kembali ke awal. “ Memangnya kamu mau liburan kemana sih??? Mamamu gak bilang atau jangan-jangan kamu juga gak kasih tahu mamamu ya mau kemana??”
            Am tertawa pelan dan menimbang-nimbang sebentar.
            “ Bali,” jawabnya akhirnya, mantap.
***
            Di suatu tempat, di kota kecil yang berjarak seratus kilometer ke arah selatan dari ibu kota provinsi Sumatera Selatan. Di sebuah rumah di dekat perbatasan kota seorang pria tampak ngedumel melihat kelakuan temannya yang dari semenjak dirinya datang ke kamar ini satu jam yang lalu masih sibuk di depan komputer.
            “ Kamu lagi ngapain sih dari tadi, kayak sibuk amat??” Erik, nama pria itu misuh-misuh sedari tadi. Diliriknya sang sobat dari balik majalah musik yang juga sudah dia baca sedari tadi.   “ Oi Kaf!!!” panggilnya agak keras setelah yang ditanya diam mematung.
            “ Apa!!” sahut Kafka akhirnya tanpa menoleh.
            “ Kamu lagi nyari apa sih? Buka website, tutup lagi, buka lagi, kayak gak ada kerjaan aja. Ini tuh minggu mbok ya kerja itu sudah mulu toh,” Erik melanjutkan ocehannya.
            “ Berisik ah. Aku lagi nyari tiket murah.”
            “ Tiket!!!” Erik membeo heran. “ Mau kemana memangnya??”
            “ Kalo dapet tiket murah, aku mau liburan.”
            “ Kemana?? Sendiri??” kali ini Erik sudah duduk dipinggir ranjang yang ia tiduri dari tadi.
            “ Ya iyalah. Kenapa? Kamu mau ikut?” Kafka melirik sebentar kebelakang.
            “ Ehmm mau sih apalagi mendengar cerita liburanmu sendiri tahun lalu kayaknya seru abis. Bisa-bisanya ketemu Amanda di Yogya. Ehm tapi...” Erik menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil menatap Kafka dengan tatapan nelangsa. Kafka tersenyum geli melihatnya.
            “ Sudahlah gak usah ikut daripada kamu habis diomelin sama Sarah hahaha.”
            “ Sial kamu,” umpatnya dengan nada kesal yang tidak bisa ditutupi.
            “ Yeah yes!!!!” teriak Kafka girang semenit kemudian sambil mengangkat tangan tanda kemenangan.
            “ Kenapa??” Erik beranjak dari duduknya dan berdiri disebelah Kafka.
            “ Akhirnya dapet tiket murah juga!!” Kafka berdiri dengan girang, memainkan bola basket yang ada tak jauh darinya dan melemparnya ke arah Erik.
            Erik menangkapnya sigap. “ Kemana akhirnya??” tanyanya penasaran.
            “ Bali,” jawab Kafka mantap sambil berkacak pinggang penuh kemenangan.

The End
           
*Note : Kutho sebutan untuk pusat kota Yogya bagi sebagian masyarakat di pesisir pedesaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar