"Momen Pertemuan"
Lima belas tahun Amanda Raisa memendam
perasaan suka dan cintanya pada Kafka, teman semasa sekolahnya dari zaman
sekolah dasar hingga menengah umum. Tak ada yang tahu rahasia hatinya selama
belasan tahun, ini rahasia diri Am sendiri dengan Sang Kuasa yang telah
memberinya rasa ini.
Sepenggal rasa yang terkadang membuat Am
dipenuhi oleh mimpi-mimpi dan harapan. Namun pada saat yang bersamaan rasa itu
membuatnya mencelos kecewa dan larut dalam kubangan perasaan terluka bernama
patah hati. Yah, berkali-kali hati Am patah, namun itu tidak menyurutkan rasa
yang ada didalam diri Am terhadap Kafka. Ketika kali pertama menangis kecewa
karena Kafka memiliki teman istimewa, Am berpikir mungkin karena mereka sejak
dulu berteman, perasaan kecewa yang dirasakan Am hanyalah perasaan kecewa biasa
karena kehilangan teman duduk. Tapi kali berikutnya, sadarlah ia bahwa rasa
yang dimilikinya bukanlah perasaan kehilangan seorang teman, melainkan
kehilangan perhatian seorang laki-laki.
Am senantiasa mengatakan pada dirinya,
bahwa perasaan sukanya pada Kafka akan terkubur seiring dengan berjalannya
waktu apalagi dengan kencan-kencan yang dilakukan Am. Namun, setelah sepuluh
tahun perasaan itu masih terus ada Am memutuskan sendiri cara untuk melupakan
Kafka. Dia ingin melupakan dan bersikap realisitis karena mungkin Kafka memang
tidak akan pernah menaruh minat padanya. Tapi percuma berharap melupakan jika
harapan untuk bersama masih terus ada. Dengan penuh keberanian dan
mengesampingkan semua ego dan rasa malu, Am memberanikan diri berbicara
langsung pada Kafka. Dengan semua harga diri dan kejujuran yang dimilikinya, Am
mengatakan yang sebenarnya. Ada ketakutan dan keraguan yang sangat menyiksa ketika
melihat Kafka tertegun diam menatapnya. Namun kemudian laki-laki itu tersenyum
dan mengucapkan terima kasih sambil berkata biarlah jodoh yang mengatur
semuanya. Mereka berpisah dan Am berjanji dalam hati dan untuk keseluruhan
hidupnya ia tak akan mencari-cari atau berusaha untuk menemui Kafka, biarlah
takdir yang mempertemukan mereka. Jika ikatan bernama jodoh itu memang benar
adanya mereka pasti akan dipertemukan.
Setelah kejadian yang menurut Am adalah
keberanian paling besar yang pernah ia lakukan
dalam hidupnya. Untuk kali pertama Am membagi sedikit rahasianya pada sahabatnya,
tentu saja dengan tetap merahasiakan bagian bahwa mereka sudah bertemu dan dia
telah berbicara secara jujur pada Kafka. Karena Am ingin menyimpannya sebagai
rahasia dan kenang-kenangan yang hanya miliknya sendiri dan Tuhan. Bisa ditebak
bagaimana reaksi Nori, dia tidak pernah berpikir apalagi mem-ba-yang-kan jika
Am menyukai Kafka. Karena dalam ingatan Nori, Am tidak pernah menunjukkan
tingkah laku atau gelagat bahwa Am memiliki perasaaan yang istimewa pada Kafka.
Betapa dia teramat salut pada sahabat yang sudah dikenalnya sedari lama yang
mampu menyimpan rahasia hati serapi ini. Nori memeluknya erat saat itu,
berusaha memberikan ketenangan pada Am dan menyemangatinya, sambil berucap
pelan bahwa ada kekuatan lain diluar sana yang begitu besar yang akan
memberikan Am keajaiban-keajaiban tanpa bisa disadari. Am memeluk erat balik
sahabatnya, berusaha melepaskan beban berat yang telah menghimpit hatinya
selama ini dengan bersandar di bahu Nori.
Tapi itu semua sudah lima tahun
berlalu, waktu itu Am berharap jika dia jujur, dia akan bisa melupakan Kafka. Tapi
nyatanya, hingga kini nama itu masih tersimpan di sudut hatinya, mengisi ruang
kosong di sana. Kadang Am merasa sangat benci dan lelah pada dirinya, tapi dia
sendiri tak pernah kuasa untuk menipu atau membohongi dirinya bahwa dia masih
memiliki rasa dan setitik harapan pada Kafka. Yang sangat Am sesali kenapa rasa
itu makin terbentuk saat mereka sudah tidak bersama lagi. Kenapa Am tidak
menyadari bahwa perasaan sukanya bukanlah hanya cinta monyet anak remaja
sesaat, bahwa ini perasaan yang sebenar-benarnya Am miliki.
Am tidak ingin membagi cerita pada
Nori kala itu bukan karena Am tidak percaya. Tapi Am merasa seperti manusia
bodoh dan tolol yang masih berharap pada hal-hal yang sudah tidak bisa
diharapkan lagi. Dan demi Tuhan, Am tidak ingin Nori menganggapnya sebagai
manusia yang bodoh dan tidak tahu diri.
Am menghela nafas dan tersadar,
suara pilot dari pengeras suara menariknya kembali kepada kehidupan nyata. Am mengalihkan
perhatiannya pada layar monitor di bangku yang sedang menginstruksikan prosedur
keselamatan di dalam penerbangan, selagi pesawat bergerak mencari posisi yang
tepat untuk lepas landas. Yah, di sinilah Am sekarang, di dalam pesawat yang
akan membawanya berlibur ke Yogya. Kota yang sudah dikunjunginya berulang kali
namun berulang kali pula membuatnya jatuh cinta kembali. Am sudah merencanakan
liburannya kali ini dari jauh hari. Lagipula, dia memang sengaja ingin
menghabiskan hari ulang tahunnya di Yogya. Mungkin ini juga akan menjadi liburan
terlamanya yang pernah dia lakukan di kota gudeg ini. Karena dia sudah minta
cuti dari kantor selama lima hari kerja penuh.
Entah ini disebut liburan atau
pelarian, yang jelas rencana liburan kali ini sebenarnya terkait kabar setahun
lalu. Di penghujung tahun lalu tepatnya di bulan November, Nori memberi kabar dengan
ucapan sambil lalu ketika mereka bersua saat Am pulang kampung, bahwa tahun
depan, entah tepatnya kapan, Kafka berencana akan melangsungkan pernikahan. Am
hanya tersenyum dan berkomentar seadanya. Tak ada isyarat luka atau kecewa
dalam nada suaranya karena Am memang benar-benar tulus saat mengatakan bahwa ia
turut bahagia. Nori pun mengira Am sudah melupakan Kafka, karena memang
semenjak Am berbicara yang sebenarnya tentang perasaannya, Am tidak pernah lagi
mengungkit atau menyinggung soal Kafka. Jadi Nori berkesimpulan Am telah
melupakan Kafka sepenuhnya.
Namun di dasar hatinya Am tahu dirinya
terluka dan kecewa. Kali ini hatinya benar-benar patah karena menahan pedih
sakit yang ada bahwa semua harapan dan penantiannya sudah pupus. Saat itulah Am
berencana ingin pergi untuk sejenak, berlibur sendirian, menghabiskan waktu
untuk berpikir dan merenung, menata kembali hati dan pikirannya, membuang semua
serakan-serakan pecahan keping hatinya dan menyembuhkan luka itu sendiri. Tak
ada tempat lain yang terpikir olehnya selain Yogya. Kota kelahiran ayahnya dan
yang telah mencuri hatinya semenjak kecil dulu. Am memandangi gumpalan-gumpalan
awan putih dari jendela pesawat lantas perlahan menutup matanya. Pikirannya
kembali melayang, betapa sungguh dia tak sanggup untuk menghadiri resepsi
pernikahan Kafka jika dia memang diundang. Saat
ini dia pasti tengah mempersiapkan acara besar dalam hidupnya itu, pikir
Am pedih.
Kadang terbersit tanya dalam pikiran Am,
apakah Kafka pernah mengingatnya sekali saja dalam pikirannya? Apakah Kafka
ingat kalau Am adalah orang pertama di kelas 5 yang menjadi teman sebangkunya
pertama kali saat dia baru datang sebagai siswa pindahan ke sekolah Am? Apakah
Kafka ingat kalau dia adalah orang pertama yang mengajarkan pada Am tentang
asiknya matematika? Orang pertama yang memberi semangat pada Am untuk bisa
masuk sepuluh besar di kelas? Teman pertama yang berjanji bersama untuk bisa
masuk ke SMP terbaik di kota mereka?.
Dan tiap kali teringat itu semua hati Am
terasa ngilu dan miris. Betapa hal-hal yang sederhana seperti itu mampu
membuatnya merindu kembali.
Am menghela nafas, tersadar bahwa sebentar
lagi Kafka tak akan bisa dimiliki oleh siapapun lagi selain isterinya. Dan kali
ini entah bagaimana caranya dan dengan apa Am harus bisa melupakan Kafka
sepenuhnya. Bila perlu sampai dirinya amnesia dan tak pernah mengingat
sedikitpun bahwa dia pernah mengenal seorang pria bernama Kafka.
Am terkejut dan membuka mata, lantas
menoleh dan tersenyum saat seorang pramugari menyapanya dan menawarkan padanya
hendak minum apa.
“ Teh tawar hangat,” jawab Am mantap dan
tersenyum kembali.
***
“ Mbak Am yakin mau jalan sendiri??
Gak Om anter aja???” Om Anta untuk yang kesekian kalinya menawarkan bantuannya
untuk mengantar Am keliling Yogya.
“ Iya mbak. Ntar nyasar loh??” kali
ini Tante Wi ikut nimbrung.
Am tertawa renyah. “ Om sama tante
tenang aja. Am sudah persiapan dan bawa peta. Lagian ini kan bukan kali pertama
Am kemari .”
“ Iya memang. Tapi kalau plesiran neng kutho* sendiri baru
pertama kali ini toh??” Om masih belum mau menyerah.
“ Am bawa handphone, ntar kalo
nyasar Am pasti telepon.”
“ Bener ya mbak??” todong tante Wi
masih dengan nada cemas dan berusaha menengahi. “ Ntar kalo Mbak kenapa-kenapa
Om sama Tante yang bakal kena sembur Pakde sama bude di Sumatera.”
“ Hahahahahaha,” tawa Am pecah. “
Kalo mau jalan sendiri ini, Am sudah ngomong sama ayah tante. Jadi om sama
tante tenang aja. Lagian kalo om sama tante anterin kemana-mana, tante sama om
jadi gak kerja dong. Kalo yang dulu-dulu kan Am datengnya pas musim liburan
sekolah, kalo sekarang kan beda. Sudah, pokoknya om sama tante tenang aja. Doain
Am ketemu kenalan cowok cakep di jalan hahaha,” Am meyakinkan dengan sepenuh
hati sambil bercanda. Raut muka om dan tante berangsur normal dari kecemasan
dan berganti senyum.
***
Begitu turun dari Trans Yogya Am
terheran-heran. Oke, ini memang bukan musim liburan sekolah, tapi memang berada
pada pertengahan bulan menjelang akhir tahun. Namun walau begitu, “Ya ampuuunn,”
pekik Am tanpa suara dan tertahan. Prambanan penuh sesak sama manusia. Am bisa
melihat antrian di pintu loket tiket yang mengular. Am menghela nafas dan
tersenyum menyemangati diri lantas berjalan mendekati kerumunan dengan penuh
percaya diri.
Am sudah sampai di tengah antrian saat
sekilas matanya menangkap sosok yang sepertinya dia kenal. Lantas dia membuang
pandangan kembali, tak yakin akan penglihatannya. Bukannya tak mau menyapa,
hanya takut salah mengenali orang di tengah lautan manusia seperti pagi ini, di
tempat yang asing pula.
Tapi namanya hati siapa yang tahu,
perasaan Am masih penasaran dan akhirnya malah curi-curi pandang sendiri. Dia
sampai ditegur sama ibu-ibu yang mengantri
tepat dibelakangnya karena kebanyakan bengong dan tidak melihat antrian. “ Mbak
maju dong mbak, rame iki!!!”
“ Aduh maaf bu,” Am nyengir bersalah
sambil maju ke barisan. Matanya masih mengawasi cowok yang hanya berkelang tiga
orang disebelah antriannya.
Cowok itu mengenakan kaos dagadu
warna putih dan jeans belel, sepatu sneakers, topi, dan menyandang tas ransel
hitam, di lehernya tergantung kamera DSLR, beda merk dengan yang dimiliki Am.
Tapi Am yakin cowok itu adalah orang yang dikenalnya.
“ Kafka!!!” tanpa sadar Am
memanggilnya.
Cowok yang sedari tadi menjadi objek
pengamatan Am itu menoleh, tampak kaget lantas tersenyum sumringah. “ Amanda!!!”
serunya. Kafka mempersilahkan beberapa orang dibelakang antriannya untuk maju
terlebih dahulu. Sekarang mereka berada dalam jajaran antrian yang sama walau
berbeda jalur.
“ Liburan juga??” Am membuka
percakapan dan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
“ Iya. Kamu sama siapa??”
“ Sendiri. Kamu??”
“ Sama. Lagi pengen jalan sendiri.”
“ Oya!!” Seru Am tak percaya. “ Sama
dong. Aku juga lagi keliling sendiri. Mau rasain serunya di mana.” Sungguh hatinya
berbuncah begitu bertemu Kafka di sini. Di tempat yang tak pernah dibayangkan
sebelumnya.
“ Betul. Entah nyasar ato gak
pokoknya jalan aja dulu hahaha.” Mereka lantas tertawa bareng.
“ Nginep di mana??”
“ Di sekitar Malioboro, ehmm tapi
apa ya nama hostelnya. Aku lupa.” Kening Kafka sedikit mengernyit. “ Kamu di
mana??” Mereka ngobrol sambil bergerak maju mengikuti antrian.
“ Aku nginep tempat keluarga. Di
tempat Oom. Di daerah Siliran.”
“ Di mana itu?? Baru denger.”
“ Sekitar satu jam setengah dari
pusat kota. Kampung halaman ayah di daerah Kulon Progo, dekat pesisir.”
Obrolan terhenti saat mereka membeli
karcis masuk masing-masing.
“ Oke selamat menikmati liburan ya
Kaf.” Am tersenyum kikuk saat mereka sudah berada di pintu masuk.
“ Yap. Selamat liburan juga.” Kafka
balik tersenyum. Senyum tipis yang dari dulu tidak pernah berubah juga gestur
kaku khas miliknya yang melekat ingat dalam ingatan terdalam seorang Amanda.
“ Daghh,” Kafka berjalan pelan
mendahului. Baru beberapa langkah Am merasa aneh dan ragu. Bukan begini yang ia
mau. Sebenarnya ia ingin memberikan tawaran untuk bisa jalan bareng tapi takut;
takut kalau cowok itu tidak berkenan.
Segera Am berubah pikiran. Dia sedikit
mempercepat langkahnya memberanikan diri. “ Hei!!” serunya. Kafka yang tengah
berjalan lurus di depan berhenti dan menoleh. “ Mau jalan bareng??” tawar Am
penuh keberanian akhirnya.
Cowok itu diam sesaat membuat hati
Am ragu. “ Boleh,” ucapnya setelah terdiam agak lama.” Dengan senang hati,” ucap
Kafka selanjutnya dengan senyum kaku khas yang mengembang dibibirnya.
Am tersenyum lega, nyaris ingin
berteriak malah. Mereka berjalan bersama menuju candi utama yang terdiri atas
16 candi dengan tiga diantaranya merupakan candi induk yakni Brahma, Siwa, dan
Wisnu. Mereka berkeliling sambil mengobrol ringan, bertukar informasi seputar
kamera dan dunia fotografi yang baru beberapa bulan terakhir ini dikenal oleh
Am. Sesekali mereka tertawa jika ada hal yang dirasa konyol dan lucu. Begitu
sampai di kompleks utama Prambanan kadang mereka berpisah untuk memotret bagian
yang dianggap menarik dan kemudian saling memperlihatkan hasil fotonya, lantas melanjukan
kembali berkeliling dari satu bagian ke bagian lain. Tadinya mereka berencana
hendak lanjut ke kawasan Ratu Boko, tapi untuk menuju ke sana memerlukan kendaraan
pribadi minimal motor. Karena sama-sama tidak ada yang membawa kendaraan
pribadi akhirnya mereka putar haluan dengan lanjut ke Borobudur yang dapat
ditempuh dengan menggunakan bus dari Prambanan lebih kurang dua jam setengah
perjalanan.
Borobudur bukan tujuan yang dipilih
Am awalnya karena letaknya yang lumayan jauh, tapi karena ada teman akhirnya
komplek candi Budha ini masuk dalam hitungan.
“ Besok rencana ke mana Am??” tanya
Kafka memecah keheningan saat mereka melaju di dalam bus.
Am yang hampir nyaris tidur dibelai
angin semilir dari jendela bus langsung bangun dengan muka terasa panas. “ Kamu
berapa hari di Yogya??” Am malah balik tanya. Meredam rasa grogi yang tiba-tiba
menghampirinya.
“ Aku pulang Kamis, kamu??”
“ Meleset sedikit dari kamu hehehe,
aku pulang Sabtu-nya.”
“ Oh ya? Lama juga kamu liburan
hehehe,” Kafka terkekeh. “jadi besok rencana mau ke mana??”
“ Ehmm rencananya sih pengen ke
pantai di daerah Gunung Kidul, ada pantai bagus yang disebut-sebut Balinya
Yogya. Namanya Ngobaran, tapi transport kesananya ternyata susah jadi kayaknya
ke tempat lain saja.”
“ Loh susah kenapa???”
“ Gak ada kendaraan umum. Harus naik
kendaraan pribadi, minimal motor. Cuma kalo make motor sendirian ke sana ya
takut juga. Kalau ntar mogok atau ada apa-apa di jalan malah repot.”
“ Aku jadi penasaran seperti apa
pantainya.”
“ Bagus. Pernah dikirimin email fotonya
sama teman,” potong Am cepat.
“ Ya sudah bareng aja yuk. Ntar aku coba
cari sewaan motor. Kita pergi sama-sama,” Kafka mengatakannya dengan enteng
tanpa tahu bagaimana perasaan Am jungkir balik dibuatnya.
“ Loh,” Am bingung mau berkomentar
apa. “ Eh jangan Kaf,” sergahnya cepat.” kamu kan punya rencana sendiri juga.
Masa cuma gara-gara itu jadi batal,” Am menolak halus. Jantungnya berdegup kencang tanpa bisa dikontrol.
“ Gak apa-apa. Aku gak punya rencana
kemana-mana. Kata kamu bagus, aku juga jadi pengen lihat. Atau, sekalian juga kita
ke pantai yang waktu dulu dikunjungi pas study
tour SMA. Kamu ingat kan pantainya? yang bikin kaki Mel luka gara-gara batu
karangnya itu. Aduh aku lupa nama pantainya.”
Am terkekeh geli. “ Pantai kukup. Coba
nanti aku tanya sama Oom, beliau pasti tahu. Temen-temen di grup backpacker juga recommend sama tuh
pantai. Eh tapi bener ya!! Janji!!” Am agak meragu sambil menyipit penuh curiga.
Kafka tertawa. “ Iya janji. Nomor
hape mu masih yang lama kan??”
“ Degg,” jantung Am berdetak
kencang. Ingatannya melayang pada kejadian lima tahun lalu. Ada perasaan takut
yang menelusup kedalam dadanya. “ I..Iya masih sama,” sahut Am pelan dengan
terbata.
“ Ngomong-ngomong aku juga jadi
pengen berkunjung ke tempat sodaramu Am,” Kafka menoleh tersenyum. Jantung Am
mencelos saat bersitatap dan mendapati senyum manis yang tercetak di wajah
Kafka. Akh harusnya tadi Am tidak mengajaknya jalan bareng, harusnya tadi
mereka berjalan sendiri-sendiri saja. Atau malah lebih baik jika mereka tidak
bertemu. Kalau begini, luka Am pasti bisa berdarah kembali. Ini bukan
penyembuhan tapi ini melukai kembali dengan sengaja. Tapi bagaimana?? Am tidak
bisa berbohong kalau dia happy bisa
ketemu Kafka di sini setelah sekian tahun tidak bertemu. Hatinya dan pikirannya
berperang tak karuan.
“ Boleh,” ucapnya yang berlawanan
dengan yang ada diotaknya.
Mereka terdiam kembali, menikmati
sisa perjalanan dan larut dalam pikiran masing-masing.
Ada sedikit pertanyaan yang
sebenarnya mengusik Am sedari tadi. Kenapa Kafka ada di sini. Bukankah
seharusnya dia sedang sibuk mempersiapkan acaranya? Kalaupun diundur harusnya
Kafka tidak sendiri, harusnya ada dia. Apa mereka sedang bertengkar??? Apa
Kafka melakukan hal yang sama seperti yang sedang dilakukan olehnya??? Atau dia
pergi berlibur sebagai liburan terakhir sebelum menikah?? Pertanyaan-pertanyaan
itu menghantam pikiran Am sedari tadi. Ingin dia mengirim pesan pada Nori dan
bertanya, tapi takut akan membuat sahabatnya itu curiga. Am baru hendak
bertanya namun urung saat melihat Kafka tertidur di kursinya.
Tanpa sadar dia mengamati raut wajah
itu. Selama belasan tahun berteman, ini kali pertama mereka ngobrol banyak dan
jalan berdua. Kali pertama Am bisa memandang Kafka dengan leluasa, mengamati
dengan rinci setiap raut wajah cowok itu dihadapan dirinya dengan leluasa. Dan
dia ingin mengingat semuanya selagi bisa. Ada perasaan rindu sekaligus terluka
di dalam hatinya. Mata Am mulai panas oleh air mata tapi buru-buru dia
meredamnya sebelum jatuh mengalir. Am membuang pandangan ke luar jendela dengan
pikiran semrawut. Kenapa tak menikmati saat ini saja sepenuhnya?? Bisik suara
hatinya. Kenapa harus khawatir?? bisik suara hatinya lagi. Bukankah bisa
bertemu Kafka setelah sekian tahun tak bersua adalah sebuah anugerah? Lantas kenapa
tidak banyak-banyak meraup kebahagiaan walaupun cuma sebentar, daripada
bersedih akan kekhawatiran yang tidak pasti?? Am tersenyum lirih menyudahi
suara-suara yang tengah berperang dalam benak dan hatinya. Lalu ia membuka
kameranya dan mengabadikan sosok disampingnya dalam diam dan jepretan kamera.
Am tersenyum geli melihat hasil fotonya sambil sedikit terisak karena menahan
tangis.
Mereka sampai di Borobudur menjelang
ashar. Dan langsung beraksi dengan
kamera sambil berjalan mendekati Candi megah tersebut. Mengantri sebentar di
tangga naik untuk sampai ke kompleks candi. Mengitari bangunan candi dan
mengagumi relief-relief yang terukir di sana. Mereka juga mencoba mitos yang
terkenal di Borobudur. Katanya, kalau bisa memasukkan tangan ke lubang Stupa
dan menyentuh patung Budha yang ada didalamnya kita akan mendapatkan
keberuntungan. Dengan gokil Kafka mencobanya dengan segala bentuk posisi yang
membuat mereka tetawa geli sekaligus ditertawakan. Di kompleks candi ini juga
mereka diminta beberapa kali oleh beberapa turis asing untuk foto bersama dan
mendapat pujian nice couple. Kontan
saja Am dan Kafka saling melempar pandangan dengan bingung lantas tertawa geli
sesudahnya.
Am sudah mengira akan pulang
melewati petang dan dugaannya benar. Dia berencana akan langsung bablas ke
terminal Giwangan namun Kafka melarangnya. Am sendiri juga sebenarnya tidak
yakin masih bisa mendapat bus untuk sampai di Siliran. Akhirnya dengan berat
hati Am menelepon Om dan minta dijemput di tempat Kafka menginap setelah
menjelaskan nama hostel dan alamatnya.
Mereka sampai di penginapan Kafka
lepas Magrib menjelang Isya. Kafka menawarinya untuk membersihkan diri
seadanya. Sesudahnya mereka duduk-duduk di
kamar sambil menyeruput teh hangat dan panganan kecil yang dibeli Kafka
di depan penginapan. Hal ini karena Am menolak diajak makan. Takut lama dan Om
sudah menunggu alasannya.
“ Sudah jadi pak Lurah belum Kaf??”
Am menggodanya saat mereka duduk santai di dalam kamar yang pintunya sengaja di
buka.
“ Hahaha, belumlah Am. Emangnya jadi
pak Lurah gampang.”
“ Kirain sudah.”
“ Kamu sendiri sekarang di mana??”
“ Masih di perusahaan lama hanya
pindah tempat.”
“ Oohh. Di Jakarta bukan??”
“ He eh. Aduh panas,” Am mengaduh
sambil menjulurkan lidahnya yang terbakar karena teh yang diseruputnya.
“ Hahahaha, pelan-pelan. Nih air
putih!!”
“ Hehehe,”Am nyengir malu. “ Makasih,”
Am mengambil gelas air mineral yang disodorkan Kafka padanya.
“ Eh Am ngomong-ngomong aku mau ikut
rencanamu liburan. Sepertinya tempat-tempat yang mau kamu kunjungi asyik-asyik.
Boleh kan??”
“ Uhukkkk uhuukk ehhmm ehmm,” kali ini Am tersedak,
lantas buru-buru dia menambahkan. “ Sori-sori. Iya boleh, tapi gak boleh protes
ya aku mau ke mana.”
“ Sipp,” Kafka mengacungkan ibu
jarinya. “ Yang penting kamu izinin aku sehari buat main kerumah Om mu. Terus
temani aku belanja sedikit oleh-oleh buat orang rumah yah. Boleh kan main ke
sana??.”
Orang rumah!! Senyum Am berubah
kaku, jantung Am mencelos dan lantas
tersadar. “ Oke,” sahutnya kemudian sambil tersenyum. Pedih.
Om datang tepat waktu di saat Am
butuh untuk bisa melarikan diri sebelum air matanya tumpah ruah dan dia mempermalukan
dirinya lebih jauh.
***
Esoknya Am menepati janji, pukul
delapan lebih sedikit dia sudah manteng di depan penginapan Kafka. Cowok itu
keluar sepuluh menit kemudian dengan mendorong sepeda motor bebek sesuai
janjinya.
“ Motor siapa?” tanya Am penasaran.
“ Sewa??” tanyanya lagi.
“ Motor temennya adik yang ada di sini.
Ayo naik. Ini helmnya.” Kafka mengangsurkan helm putih bermotif kartun lucu. “
Bawa petanya kan?” tanyanya dari atas motor sebelum mereka siap pergi.
“ Oh ini. Coba kamu lihat bentar
Kaf, aku gak pinter baca peta soalnya.” Am menyerahkan peta dan tulisan singkat
petunjuk yang dia buat Om semalam.
“ Oke siap pergi!!” katanya setelah
mempelajari peta itu sebentar dan memasukkannya kedalam saku jaket.
“ Yup Siapppp!!!” seru Am lantang
dan bersemangat.
Tak apakan Tuhan untuk sekali ini
saja dirinya bersikap sedikit egois dengan menganggap Kafka adalah miliknya???.
Bisik Am dalam hati. Anggap saja ini hadiah ulang tahun untuk dirinya yang
paling istimewa. Untuk sebentarrr saja dia ingin merasakan kebahagiaan ini.
Kebahagiaan bersama Kafka. Doa Am dalam hati sambil meraih sedikit pinggang
Kafka dengan ragu untuk berpegangan.
Hari itu mereka menelusuri kawasan
pantai di pesisir Yogya. Dari Ngobaran yang memang benar-benar indah dan
terdapat pura persis seperti di Bali. Lanjut ke Pantai Ngrenehan dengan bukit
kapurnya. Mereka juga sempat mencicipi ikan bakar segar yang baru diambil
nelayan dari laut di pantai ini. Masih dalam satu gugusan mereka melaju ke
pantai Sundak. Dari Sundak mereka melaju ke Pantai Krakal yang merupakan pantai
terpanjang dengan bentangan pasir putihnya lebih kurang sejauh 5 km. Menikmati
wisata pemandian muara sungai bawah tanah di Baron dan bernostalgia tentang masa
study tour SMA di pantai Kukup yang
memiliki hamparan karang luas. Terakhir mereka menuju pantai terdekat di
kawasan Yogya yang terkenal dengan mitosnya, di mana lagi kalau bukan
Parangtritis. Sambil berjalan menyusuri garis pantai yang sore itu tampak ramai
pengunjung, Am memandangi garis punggung Kafka yang berjalan pelan didepannya.
Ombak yang pecah di pantai menerjang kakinya yang telanjang. Menyapu
jejak-jejak kaki Kafka yang diikutinya sejak tadi. Jejak itu seperti bayangan
Kafka sendiri yang senantiasa Am ikuti selama ini. Namun sebentar lagi jejak
maupun bayangan itu tak bisa diikutinya lagi. Am menghela nafas keras tanpa
disadarinya.
“ Am sini!!” teriak Kafka. Membuyarkan
lamunan Am. Am mendongak, ternyata dia sudah tertinggal lumayan jauh. Tangan
Kafka melambai, mengajaknya mendekat.
“ Kenapa?” tanyanya setelah sampai di
tempat Kafka berdiri.
“ Ayo foto. Aku sudah minta tolong Adik
ini buat fotoin kita berdua,” Kafka menunjuk seorang anak berusia belasan yang
tengah memegang kamera milik cowok itu. Dalam posisi siap untuk membidik
mereka. “ Lihat matahari dibalik awan mendung itu,” tunjuk Kafka ke arah
barat,” cantik ya.” Am menoleh dan mengangguk tanda setuju. “ Matahari itu
latarnya dan mumpung lautnya juga lagi tenang, ayo kita foto buat
kenang-kenangan,” ucapnya bersemangat. Am tak kuasa untuk menolak dan
berbicara. Hatinya sedang campur aduk antara kepedihan dan kebahagiaan. Tangan
kanannya terangkat perlahan, menghapus setitik air mata yang nyaris jatuh
lantas tersenyum pada sang fotografer. Am berharap hasilnya bagus karena dia
ingin bisa menyimpannya.
Langit sore mendung menggantung saat
mereka meninggalkan Parangtritis. Tak ayal di tengah perjalanan mereka
kehujanan, bukannya sibuk berteduh Am malah ribet menyelamatkan kameranya yang
membuat Kafka tertawa geli.
“ Sudah gak apa-apa. Biasanya case-nya tahan air kok,” Kafka
menenangkannya. Mereka berteduh di sebuah restoran kecil di pinggiran jalan.
“ Haduh kayaknya nih ujan lama berentinya,” Am
mulai ngedumel. “ Bus masih ada gak ya??” tanyanya cemas kepada dirinya sendiri
sambil terus melirik jam tangan lalu beralih ke arah luar dengan cemas.
“ Gak apa nanti aku antar kamu.”
“ Hah,” kali ini ditatapnya Kafka
dengan bingung.
“ Kenapa??” Kafka balik tanya dengan
aneh.
“ Gak usah. Ntar aku minta jemput
lagi saja,” Am mengibaskan tangannya buru-buru.
“ Ngapain minta jemput ada motor
juga kok. Sudah tenang aja, aku tahu kok jalannya,” sahutnya sambil mengibaskan
peta dihadapan Am.
“ Tapi jauh Kaf, kasian kamunya.”
“ Gak sampe dua jam kok. Kamu kayak
kenal aku baru kemaren saja. Aku kan paling doyan bawa motor kemana-mana,”
ucapnya sambil tersenyum. Am bergeming. “ Eh kayaknya makanan di sini enak juga.
Liat tamu yang lagi pada makan itu,” Kafka memainkan dagunya untuk meminta Am
mengalihkan pandangan ke sekitar mereka.
Am melihat sekitar. Sepertinya
ucapan Kafka ada benarnya. Tamu-tamu yang lain terlihat lahap melahap makanan
mereka.
“ Pesen aja yuk, aku juga udah
laper,” ucap Am kemudian sambil nyengir. “ Kali ini aku yang bayar, tadi kan
kamu sudah beli bensin sepanjang perjalanan. Jadi sekarang gantian.” Tawar Am.
Kafka memandang Am dengan senyum
tipis. “ Sip, oke,” ucapnya kemudian lantas langsung memanggil mbak-mbak pelayannya yang
berdiri tak jauh dari mereka. “ Jangan nyesel ya kalo kamu bangkrut karena aku
makan banyak hahaha.” Tawa mereka pun pecah.
***
Esoknya mereka janjian untuk
mengitari kawasan pusat kota Yogya. Perjalanan hari itu dimulai dari titik Nol
kilometer Yogya. Mereka berjalan kaki menelusuri trotoar sambil menikmati
bangunan tua peninggalan zaman Belanda yang masih berdiri kokoh di sana, sebut
saja Kantor Pos Besar Yogya, Gedung BNI 46, Gedung Bank Indonesia, dan pemandangan
becak yang tersusun rapi di sepanjang
jalan. Saat Kafka berhenti untuk memotret bangunan-bagunan bersejarah itu tanpa
sadar Am mengamatinya dari belakang. Bibirnya tersenyum tipis antara geli dan
rasa miris kala menyadari bahwa hatinya ternyata masih begitu menginginkan pria
ini.
Sebelum ke keraton Yogya mereka mampir
ke Taman Sari tempat pemandian putri-putri Raja Yogya dan mencoba peruntungan
melewati dua pohon beringin di alun-alun kidul Kraton Yogyakarta. Kafka meleset
jauh sedangkan Am nyaris berhasil kalau tidak terperosok ke tanah becek tanpa
sengaja yang membuatnya langsung membuka mata dan menghasilkan tawa geli dan
keras dari Kafka, membuat Am malu dijadikan pusat perhatian. Dari sana mereka
mulai menelusuri Kraton Yogyakarta sambil menyimak dengan seksama beberapa
kisah tentang kraton dari para abdi dalem kraton yang kebetulan sedang bertugas
saat mereka berkunjung. Menjelang sore mereka berkeliaran di kawasan Malioboro
untuk mencari oleh-oleh. Beberapa kali Am tertinggal lumayan jauh dari Kafka
karena tergencet dan terhalang oleh orang-orang yang memadati Malioboro. Sampai
kemudian Am benar-benar terkejut saat Kafka meraih tangannya, menggenggam
jari-jemarinya dengan halus dan pelan untuk menerobos kerumunan yang memadat.
Am terhenyak, ada rasa haru yang menjalar di dalam dirinya. Antara kaget dan
bingung Am menarik tangan Kafka saat mereka melewati beberapa penjual souvenir
yang dicari Kafka. “Ini Kaf ada yang jual pernik kaca yang kamu cari,” mereka
berhenti di depan penjual pernik kaca, lantas Am menarik tangannya sendiri dari
genggaman Kafka.
“ Oh maaf,” ucap Kafka saat Am menarik
tangannya.
Tolong jangan bilang maaf, bisik Am
dalam hati. “ Gak. Gak apa-apa. Aku yang makasih,” ucap Am tersenyum.
Selama perjalanan pulang. Am terus
memandangi tangan kanannya dari balik punggung Kafka yang sedang mengendarai
motor. Hanya hal sederhana tapi sungguh
berarti, bisik Am lagi dalam hati.
“ Kamu gak pegangan Am??” teriak Kafka
dari depan.
“ Oh..” Am tergagap. “ Pegangan kok!!”
sahut Am tak kalah berteriak.
“ Besok aku jadi ya mampir ke rumah om
mu??”
“ Sippp. SMS aja kamu berangkat jam
berapa!!”
“ Oke!!!” Kafka mengacungkan ibu jari
kirinya.
***
Pukul sembilan keesokan harinya
Kafka sudah sampai di rumah Om. Setelah sarapan Am memberikan kaos sederhana
pada Kafka supaya mengganti kemejanya dengan kaos biasa itu. Mereka berencana
ikut ke sawah dan ladang Om Trio, adik bungsu ayah Am jadi gak lucu kalau nanti
kemeja Kafka belepotan lumpur dan kotoran lain. Om Anta tidak bisa ikut
menemani karena harus mengajar.
Dengan kikuk Kafka membantu Om Trio
turun ke sawah, tangan dan kakinya belepotan lumpur. Sekarang lagi mulai masa
tanam jadi sawah tampak kosong dan becek. Am membantu Tante Sahrum menyiangi benih
padi di dekat tempat air yang terbuat dari batu. Sesekali dia nimbrung di
pinggir sawah untuk meledek Kafka dan tertawa geli melihat ulah tengil cowok
itu. Menjelang siang mereka beralih ke ladang yang hanya dipisah oleh jalan
setapak. Deretan tanaman cabe di satu sisi dan tanaman melon serta semangka di
sisi lain membuat tempat itu sangat cantik dan rapi.
Om Trio membuka satu semangka yang langsung
diambilnya dari salah satu sulur di sana. Buahnya berwarna merah segar dan
tampak menggiurkan. Sepupu-sepupu Am yang masih kecil turut serta dan mereka
berebut untuk mengambil bagian semangka masing-masing. Mereka berteduh di
pondok sederhana di pinggir ladang, duduk santai sambil memperhatikan pemandangan
sekeliling. Om dan tante sedang membersihkan rumput dan sampah disela-sela
tanaman, sepupu-sepupu Am lincah bermain kejar-kejaran dan petak umpet.
“ Liburan ini benar-benar
menyenangkan Am,” Kafka membuka suara sambil meliriknya dan tersenyum. Am balas
tersenyum tanpa komentar. “ Saudara-saudara ayahmu akrab dan dekat ya. Ramah
lagi sama orang asing kayak aku. Tadinya aku pikir liburan ini bakal
membosankan tapi ternyata jauh lebih asyik dari yang dibayangkan.”
“ Syukur deh kalo menurutmu asyik.
Ehmm Kaf, boleh aku tanya sesuatu,” Am berhati-hati memilih ucapannya.
Sebenarnya semenjak dari awal ketemu hari minggu lalu di Prambanan dia ingin
menanyakan ini, namun ragu dan waktu yang ada dirasa tidak pernah tepat.
“ Apa?? Jangan yang aneh-aneh aja ya
tapinya,” ancam Kafka dengan nada sinis bercanda.
Am tertawa pelan sebentar. “ Aku
bukannya mau ikut campur. Tapi kamu lagi ada masalah ya??” tebak Am sok tahu.
Kafka bergeming, melirik Am sebentar
lantas kembali menatap lurus ke pemandangan indah dihadapannya.
“ Aku tahu dari Nori kalau tahun ini
kamu berencana menikah tapi kenapa kamu malah memilih liburan. Sendirian pula.”
“ Aneh ya?? Trus kamu sendiri kenapa
memilih liburan sendirian???” Kafka balik bertanya dengan cepat.
Am tersenyum miris. Apakah dia harus
menceritakan yang sebenarnya. Kalau ia menceritakan alasan dia berlibur kemari
apakah itu tidak memalukan.
“ Yah, aku memang sedang ingin
melarikan diri. Walaupun cuma sebentar hehe,” lanjutnya sambil nyengir. “ Ngusir
penat dan supaya bisa berpikir jenih kembali. Singkatnya menyembuhkan luka.” katanya
menjelaskan setelah keheningan yang mengambang cukup lama.
“ Kenapa? kamu sedang ada masalah
sama....” Am tidak berani meneruskan kalimatnya. Dia tidak tahu harus bereaksi
seperti apa jika memang benar Kafka sedang ada masalah dengan kekasihnya. Am hanya
bisa menatap sosok disebelahnya dengan menerawang dan jantung berdebar. Bahu
Kafka tampak menunduk. Seperti menanggung rasa pedih dan kecewa yang sangat
besar.
“ Aku..,” akhirnya Kafka memulai
bersuara setelah tidak ada yang berani diantara mereka untuk mengawali
pembicaraan. Tampak Kafka berpikir menimbang-nimbang. Hal yang wajar. Karena
bagaimanapun juga Am tetap orang asing baginya dan wajar jika Kafka tidak ingin
membahas masalahnya lebih jauh pada Am. “Aku...,” ulangnya lagi. “ Tidak bisa
meninggalkan pekerjaanku karena aku memang terikat sebagai seorang pegawai
negeri sipil. Kalaupun bisa itu sangat sulit dan memakan waktu. Tapi dia
bersikukuh untuk tidak mau tinggal di tempatku sekarang berdinas dengan alasan
daerah itu hanyalah sebuah kota kecil dan jauh dari mana-mana. Rasanya percuma
menjalani hubungan selama bertahun-tahun kalau harus berakhir dengan alasan
yang sepertinya tidak masuk akal ini. Aku mau ikut bersamanya sungguh, tapi kamu
lihat sendiri kan itu sangat sulit.” Kafka melirik Am dan tersenyum miris. “
Dan pada akhirnya kami memang berakhir.” Lanjutnya masih dengan senyum penuh
luka dan tatapan yang menerawang entah kemana.
Am benar-benar bergeming. Tak berani
mengeluarkan suara. Hanya tangannya perlahan terangkat dan menepuk pelan bahu
Kafka. “ Jodoh gak akan kemana Kaf,” bisik Am lirih. Padahal menurutnya sendiri
kalimat itu terasa hanyalah omong kosong. Tapi dia sendiri tidak bisa menemukan
kata-kata lain yang pantas selain kalimat bodoh itu. “ Aku turut sedih,”
lanjutnya. Kali ini dengan sungguh-sungguh.
Kafka tertawa, tawa sumbang sekadar untuk
menenangkan dirinya sendiri dan Am agak salah tingkah dibuatnya. “ Sudahlah. Lupakan.
Kita nikmati saja sekarang. Dan hey,” liriknya pada Am seraya tersenyum riang.
“ Sepertinya sekarang aku sudah jauh lebih baik dan bisa menerima hehehehe,”
dia nyengir dengan mimik lucu. Am tertawa geli dibuatnya.
“ Eh kamu sendiri kenapa liburan
kemari sendiri?? Kayaknya bukan sekadar mengunjungi saudara deh,” selidik Kafka
sambil menatap lurus ke arah Am yang sekarang mendadak grogi.
“ Apa sih sok tahu, gak usah iseng,”
Am membela diri.
“ Kalau mengunjungi keluarga, pasti
pergi liburannya rame-rame. Hayo apa??? Kamu juga lagi patah hati ya???”
selidik Kafka lagi.
Am tidak bisa mengelak, “ Iya patah hati.
Patah hati sama kamu,” Am keceplosan. Spontan dia menggigit lidahnya dan
mengutuk dirinya sendiri, namun sudah terlanjur. Ada raut kaget di wajah Kafka
dan mereka kembali hening. Bodoh,
rutuk Am dalam hati.
“ Maaf,” akhirnya Am bersuara lirih.
“ Aku minta maaf soal pernyataan itu
Am. Aku..,”
Am langsung memotong cepat tanpa
aba-aba. “ Tenang Kaf aku gak apa-apa. Sungguh,” Am mengacungkan dua jari
membentuk tanda peace untuk
meyakinkan yang disambut senyum geli dari Kafka. “Tapi kamu tau sendiri kan,
ketika kita menyukai seseorang dan mengetahui bahwa orang itu akan jadi milik
orang lain selamanya ada perasaan kecewa yang mengharuskan kita untuk segera
melupakannya. Dan itu yang sedang aku lakukan sekarang,” kali ini Am tersenyum
penuh percaya diri dengan mimik yang seolah mengatakan sungguh aku baik-baik
saja. “ Dan kamu tahu gak, seandainya aku diundang ke pesta pernikahanmu aku
sudah berencana gak mau datang loh.” Sambungnya kemudian dengan nada berusaha
terdengar riang dan bercanda.
“ Hah masa sih. Kok begitu??? Kenapa
memangnya??”
“ Eh emangnya kamu pikir gak pedih
apa ngeliat orang yang kita suka duduk berdampingan sama orang lain!!! Aku kan
gak mau mewek di tengah orang banyak begitu trus diketawain.”
“ Gila kamu Am sampe segitunya.” Mereka
lantas tergelak, Am sendiri bingung kenapa sekarang dengan gampangnya dia mampu
menjabarkan perasaannya pada orang yang disukainya sejak lama. Yang jelas-jelas
tidak menyukainya dan yang telah membuat hatinya berkali-kali patah dan
terluka. Padahal, pada Nori untuk sekadar mengaku dan menceritakan perasaannya
susaaaaah bukan main.
“ Oh jadi pas di bus itu juga kamu
sudah mau mewek ya?? atau malah dah nangis,” goda Kafka.
“ Hah,” Am kaget setengah mampus. Di bus?? Pikirnya. Bus waktu mereka mau
ke Borobudur itu?? Loh bukannya Kafka tidur??? Jadi..jadi..Am ngeri
membayangkannya.
“ Sialan. Kalo sudah bangun ngomong
kek, malah pura-pura tidur,” Am menimpuk Kafka tanpa ampun.
“ Kamu masih hutang foto sama aku,
kamu motret aku kan??” tuduh Kafka yang membuat Am bergeming tanpa nyali dan
muka merah kayak udang rebus. Kafka tertawa melihatnya, membuat Am makin merasa
malu terpojok dan tidak bisa berkomentar apapun sedangkan Kafka sukses
menertawakannya tanpa ampun.
“Thanks
ya Am, sudah ngajak aku keliling ke tempat-tempat baru,” mereka mengobrol
santai kembali setelah insiden memalukan itu. Setelah Kafka puas
menertawakannya dan Am memerah saking malunya. “ Ini kenangan terindah. Dan
biarkan semuanya berjalan seperti adanya. Seperti katamu, jodoh itu gak akan
kemana. Kalau memang kita berjodoh kita pasti ketemu lagi, di suatu tempat yang
tidak pernah dibayangkan dan tanpa sengaja,” Kafka menyunggingkan senyumnya.
Senyum tulus yang mengingatkan Am saat mereka pertama kali berkenalan dulu. Am
balas tersenyum walaupun sebenarnya ada rasa kecewa yang menelusup di dalam
hatinya.
Am menghela nafas dan
menghembuskannya dengan cepat lantas berucap “ Oke, lupakan itu semua,” ucapnya
penuh percaya diri. “ Besok kan kamu pulang. Yuk aku ajak kamu ke pantai. Ini
bukan pantai yang cantik tapi menurutku sangat keren karena ombaknya yang
tinggiiii banget. Ayo!!!” Am turun dari pondokan dan berjalan ke arah Om Trio.
“ Naik apa???” seru kafka masih dari
atas pondok.
“ Jalan kaki saja. Di dekat sini
kok!!”
Setelah makan siang dengan gaya lesehan
di pinggir ladang. Mereka lanjut ke pantai. Sebenarnya bukan pantai wisata karena hanya di pesisir biasa dan
sangat jarang dikunjungi orang. Tapi setiap berkunjung ke Siliran Am tidak pernah
melewatkan untuk datang kemari. Mereka menaiki bukit pasir, menerobos hutan dan
semak dengan buah-buahan hutan berukuran besar yang menggelantung di dahan
pohonnya. Mereka juga melewati perkebunan buah naga milik penduduk setempat yang
meriah karena warna buahnya yang merah menyala. Sampai di atas bukit yang datar
dan luas terhampar perumahan-perumahan sederhana milik negara yang disebut orang
sana daerah Trans. Sepertinya kependekan dari transmigrasi. Turun sebentar
suara debur ombak dan angin laut yang beraroma asin menyambut mereka. Berbagai
jenis tanaman khas daerah pesisir menghampar luas dihadapan mereka. Sungguh
pemandangan alam liar yang harmonis. Kafka tak henti-henti berkomentar tentang
keelokan alamnya sambil bercanda dengan Am dan sepupu-sepupu kecilnya.
Begitu sampai dibibir pantai, Am dan
sepupu-sepupunya langsung berlarian menyambut ombak. Mereka basah kuyup
dihantam ombak lalu tertawa girang saling menertawakan. Setelah basah kuyup dan
jatuh bangun diterjang ombak mereka berlomba mencari kepiting-kepiting kecil
disela-sela pasir untuk dibuat panganan nantinya. Beberapa kali Kafka jatuh
dihantam ombak dan Am sukses menertawakannya. Dan kalau Am sudah hendak
berjalan ke tepi cowok itu dengan usilnya menariknya kembali ke laut. Saat
matahari sudah menggelincir ke barat barulah mereka pulang dengan badan
menggigil karena basah kuyup.
Setelah membersihkan diri dan makan
malam Kafka pamit untuk pulang. Karena besok dia harus bersiap-siap untuk
penerbangan pagi.
“ Sori ya Kaf aku gak bisa anter
kamu besok. Thanks buat beberapa hari yang sangat menyenangkan ini.” Am tersenyum
saat mengantar Kafka ke depan pagar rumah om Anta . “ Harusnya aku yang terima kasih. Keluarga kamu ramah dan
menyenangkan,” ujarnya sembari tersenyum.” Oke aku pamit ya, sampai ketemu
lagi.” Kafka mulai menjalankan motornya dan Am menutup pintu pagar. Dia baru
hendak berbalik masuk ke dalam rumah saat suara motor berhenti di depan
pelataran dan suara Kafka terdengar memanggil dibelakangnya.
“ Am aku lupa!!” serunya. Am
berbalik berjalan kembali mendekat dengan bingung sambil berpikir apakah ada
barang Kafka yang tertinggal. “ Selamat ulang tahun!!” ucapnya tulus.
Am tercekat. Dia tidak pernah menyinggung
tentang hari ulang tahunnya dan sungguh terharu saat Kafka mengucapkannya. “
Ma..makasih,” sahutnya tergagap karena keterharuan yang membuncah sambil
tersenyum. Wajahnya memanas terharu.
“ Sori kalau telat banget,”
lanjutnya seraya tersenyum diantara kegelapan malam. “Kalau memang kita
berjodoh kita pasti akan ketemu lagi di tempat yang mungkin tak pernah terpikir
oleh kita,” Kafka mengulangi ucapan yang diucapkannya tadi siang. “Dagghh,
sampai ketemu lagi,” ucapnya kembali tersenyum lantas berlalu sambil
melambaikan tangan.
Am tersenyum terharu karena menahan
air matanya. Dia membalas dengan melambaikan tangan tanpa bisa bersuara saking
terharunya. Dipandangnya terus motor Kafka yang berlalu dan makin mengecil
lantas menghilang sama sekali ditikungan jalan.
Am terduduk lemas di teras depan.
Air matanya tanpa mau dikontrol meleleh. Bukan, bukan seperti ini yang dia mau,
harusnya ia melupakan, harusnya liburan ini adalah pengobat atas luka-lukanya
tapi semuanya malah justru sebaliknya. Haruskah ia senang karena Kafka batal
menikah? tapi di sisi lain hatinya justru terluka karena Kafka tetaplah bukan
untuknya. Dan semua kenyataan itu malah membuat luka yang ada semakin menganga.
Ketidakberdayaannya atas harapan baru yang muncul namun terasa semu makin
menyakitkan. “Ku mohon jangan seperti ini,” suara Am lirih diantara isak
tangisnya yang pilu. “ Jangan berikan aku harapan semu Kaf,” isaknya pedih.
Esoknya rencana Am berubah total,
awalnya kamis ini dia berencana akan berada di rumah menemani sepupu-sepupunya
sambil mempersiapkan acara ke Gembiraloka ke esokan harinya bersama seluruh
kerabatnya, tapi sekarang dia berubah pikiran. Setelah pamitan sama Om dan
tante, Am kembali mengurai kenangan beberapa hari ini. Dia kembali mengunjungi
Prambanan, menapaki kembali tempat-tempat yang sudah ditelusurinya bersama
Kafka hari minggu kemarin. Ketika matahari menelusup melewati bangunan candi
dan menyilaukan mata, Am memandangnya seraya bergumam dalam hati, yah jika kita bisa bertemu lagi tanpa
disengaja mungkin itulah pertanda bagi kita. Lantas ia tersenyum dan
berlalu. Menguatkan hati dan menyimpan kenangan empat hari ini sebagai kado
terindah dalam hidupnya.
Am juga menelusuri kembali jalanan
Malioboro dan kawasan sekitarnya sembari mengenang setiap jengkal yang sudah
dilalui kemarin. Hanya pantai yang tidak dikunjunginya karena dia tidak berani
membawa kendaraan sendiri. Dia bertekad ingin menjadi lebih kuat. Setelah
menangis semalam tanpa suara dia berjanji untuk menjadi lebih kuat lagi. Mungkin
saja dengan mengenang semuanya untuk kali terakhir dengan segenap keyakinan
hati adalah cara terampuh untuk membuktikan bahwa dia kuat.
Setelahnya dalam perjalanan pulang Am
melahap setiap pemandangan yang ada melalui kaca jendela bus sambil berpikir
untuk menata hati dan hidupnya ke depan lagi. Kali ini dia ingin benar-benar
melupakan dan menyisakan harapannya pada sebuah keajaiban dan kenyataan.
***
Satu tahun berlalu dan semuanya
kembali ke awal.
“ Drttt...drrttt...drrrrttttt,”
ponsel di saku celana Am bergetar. Begitu melihat nama Nori berkedip-kedip di
layar Am sumringah mengangkatnya.
“ Halooo,” sapa Am bersemangat.
“ Halo Ammm!!!” Nori sedikit
berteriak disebrang sana. “ Apa kabarnya???”
“ Baik. Kamu gimana??”
“ Sama, baik juga. Mamas juga baik
kalau kamu mau tanya dia juga hahaha.” Nori tergelak. Am ikut tertawa geli juga
mendengarnya. “ Am!!” Nada suara Nori sedikit berubah ketus saat menyebut
namanya.
Kening Am sampai mengernyit heran. “
Kenapa Nor??” tanyanya khawatir. Am masuk ke dalam supermarket di dekat kosnya
dan mulai mengelilingi lorong-lorong barang yang hendak dicarinya.
“ Dasar cewek jahat,” tuduh Nori
makin membuat Am bingung. “ Kemarin aku ketemu mama mu, beliau bilang minggu
depan kamu mau pergi liburan dan lagi-lagi kamu gak ngajak aku hah!!”
Am tertawa geli tanpa bisa ditahan
dan berhenti di lorong tempat makanan kecil. “ Aduh Nor aku gak maksud begitu
tapi aku memang ingin pergi sendiri. Lagipula kalau aku ngajak kamu, aku bakal
habis dihajar mamasmu,” Am berusaha menjelaskan lalu mengambil beberapa makanan
ringan.
“ Alah alasan,” sahut Nori cepat. “
Tahun kemarin kamu pergi sendiri, tahun ini juga. Trus liburan bareng sama
akunya kapannnn??”
“ Hahahaha itu kayaknya sudah susah
deh. Lagian kan kamu baru pergi liburan pertengahan tahun kemaren, honeymoon itu kan bisa diitung liburan
juga??”
“ Itukan sama mamas tapi sama kamu
kan belomannn!!” Nori masih merengek manja khas dirinya.
Am tersenyum kecil akhirnya dia
menengahi sebelum Nori merengek lebih jauh. “ Oke, kali ini aku liburan sendiri
lagi, tapi aku janji kalo aku pulang nanti ke rumah kita bakal jalan seharian.
Aku akan minta izin sama mamasmu dan kita ngelayap seharian. Janji.”
“ Bener ya. Ajak aku jalan-jalan
kalo kamu pulang, aku gak mau jadi ibu-ibu rumah tangga yang menyedihkan.”
“ Hahahahaha,” tawa mereka pecah
bersamaan. “ Am!!,” panggil Nori halus kemudian. “ Ya,” jawab Am pendek disela
sisa tawanya.
“ Cepet ketemu someone ya. Aku mau kamu bahagia.”
Jantung Am berdegup cepat lantas dia
tersenyum tipis. “ Ya,” jawabnya mantap karena tahu Nori tak bisa melihat
senyumnya.
“ Eh!!,” nada suara Nori sudah
kembali ke awal. “ Memangnya kamu mau liburan kemana sih??? Mamamu gak bilang
atau jangan-jangan kamu juga gak kasih tahu mamamu ya mau kemana??”
Am tertawa pelan dan
menimbang-nimbang sebentar.
“ Bali,” jawabnya akhirnya, mantap.
***
Di suatu tempat, di kota kecil yang
berjarak seratus kilometer ke arah selatan dari ibu kota provinsi Sumatera
Selatan. Di sebuah rumah di dekat perbatasan kota seorang pria tampak ngedumel
melihat kelakuan temannya yang dari semenjak dirinya datang ke kamar ini satu jam
yang lalu masih sibuk di depan komputer.
“ Kamu lagi ngapain sih dari tadi,
kayak sibuk amat??” Erik, nama pria itu misuh-misuh sedari tadi. Diliriknya
sang sobat dari balik majalah musik yang juga sudah dia baca sedari tadi. “ Oi Kaf!!!” panggilnya agak keras setelah
yang ditanya diam mematung.
“ Apa!!” sahut Kafka akhirnya tanpa
menoleh.
“ Kamu lagi nyari apa sih? Buka
website, tutup lagi, buka lagi, kayak gak ada kerjaan aja. Ini tuh minggu mbok
ya kerja itu sudah mulu toh,” Erik melanjutkan ocehannya.
“ Berisik ah. Aku lagi nyari tiket
murah.”
“ Tiket!!!” Erik membeo heran. “ Mau
kemana memangnya??”
“ Kalo dapet tiket murah, aku mau
liburan.”
“ Kemana?? Sendiri??” kali ini Erik
sudah duduk dipinggir ranjang yang ia tiduri dari tadi.
“ Ya iyalah. Kenapa? Kamu mau ikut?”
Kafka melirik sebentar kebelakang.
“ Ehmm mau sih apalagi mendengar
cerita liburanmu sendiri tahun lalu kayaknya seru abis. Bisa-bisanya ketemu
Amanda di Yogya. Ehm tapi...” Erik menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal
sambil menatap Kafka dengan tatapan nelangsa. Kafka tersenyum geli melihatnya.
“ Sudahlah gak usah ikut daripada
kamu habis diomelin sama Sarah hahaha.”
“ Sial kamu,” umpatnya dengan nada
kesal yang tidak bisa ditutupi.
“ Yeah yes!!!!” teriak Kafka girang
semenit kemudian sambil mengangkat tangan tanda kemenangan.
“ Kenapa??” Erik beranjak dari
duduknya dan berdiri disebelah Kafka.
“ Akhirnya dapet tiket murah juga!!”
Kafka berdiri dengan girang, memainkan bola basket yang ada tak jauh darinya
dan melemparnya ke arah Erik.
Erik menangkapnya sigap. “ Kemana
akhirnya??” tanyanya penasaran.
“ Bali,” jawab Kafka mantap sambil
berkacak pinggang penuh kemenangan.
The End
*Note
: Kutho sebutan untuk pusat kota
Yogya bagi sebagian masyarakat di pesisir pedesaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar