Sabtu, 04 Oktober 2014

Cerpen - Siluet yang menginspirasi





Siluet yang Menginspirasi


Dijodohin!!! Ezar tak pernah membayangkan itu bakal terjadi padanya. 
Dia tampan?? Iyah
Memiliki pekerjaan pasti?? Tentu
Ditaksir banyak orang??? Gak perlu diragukan
Lalu, kenapa ibunya, sang mama, tiba-tiba ingin memperkenalkan ia kepada seorang gadis, anak teman ibunya.
Apa karena ia belum juga mau menikah di usia menjelang 30???
Atau karena semenjak hubungannya yang terakhir kandas sudah nyaris setahun lebih ia belum juga memperkenalkan siapa pacar barunya sekarang????
Ezar benar-benar merasa konyol dan tak habis pikir.
Ditengah keruwetan menghadapi klien dan tawaran ibunya, jalan apa yang sebaiknya ia pilih sebagai seorang lelaki dewasa???

Ezar tidak pernah memusuhi yang namanya perjodohan, yah walaupun dia sendiri belum pernah ngerasaiinya dan juga gak berminat. Menurutnya pasangan itu harus dicari sendiri, sesuai selera.
                Namun entah kenapa akhir-akhir ini mamanya kerap menyinggung-nyinggung soal perkenalan, pernikahan, jodoh, dan segala tetek bengek menyangkut isteri dan wanita. Awalnya dia biasa saja, karena pikirnya itu tidak ditujukan padanya, toh selama ini sepertinya sang mama baik-baik saja menyangkut statusnya yang belum juga menikah. Sampai dua minggu lalu mamanya terang-terangan bertanya apakah dirinya keberatan kalau diperkenalkan pada seorang gadis anak teman mamanya. Ezar yang malam itu baru pulang kantor dan sedang duduk-duduk santai di gazebo sambil main game mendadak jadi bego dan bengong. Ajaibnya mamanya meninggalkan dirinya yang masih terbengong-bengong dengan santai, padahal biasanya mamanya bakal ngambek berat kalau pertanyaannya atau permintaanya tidak segera dijawab.
                Dan disinilah akhirnya dia terdampar, di toko buku. Sori, walaupun seorang arsitektur yang kerja bareng teman-temannya mendirikan sebuah perusahaan jasa konsultan bangunan yang mulai diperhitungkan, Ezar bukan tipe orang kutu buku yang doyan ke toko buku. Tapi sore ini dia gak punya pilihan. Selain masih terngiang-ngiang dengan permintaan sang mama, yang hingga hari ini belum iya jawab dan si mama juga gak pernah tanya lagi, Ezar merasa stuck dengan proyek terbarunya. Seorang klien baru datang ke kantornya dua hari lalu dan minta untuk dibuatkan rancangan awal untuk hunian pribadinya. Klien ini minta untuk dibuatkan rancangan yang berbeda dari yang sudah tren saat ini. Dan klien ini menyukai segala hal yang bersifat klasik dan kuno, namun dia tidak ingin jika huniannya dibuat seperti rumah-rumah model lama, dia ingin tetap terkesan kuno namun juga artistik dan modern sesuai zaman. Nah loh gimana otak Ezar gak mumet. Dia sudah coba berkunjung ke rumah sang klien saat ini, juga ke kantor sang klien yang memiliki usaha ekspedisi, namun dia masih belum mampu menarik benang merah dari kemauan si klien.
                Sepulang kantor tadi dia melintasi sebuah mall besar dan mendadak terpikir untuk mampir ke toko buku didalamnya, berharap mendapatkan inspirasi dari buku-buku soal desain yang dijual di sana. Fajar, rekan kerjanya yang mengurusi masalah desain interior, dan Adi yang seorang anak teknik sipil sudah menyerahkan sepenuhnya pada Ezar. Bukan karena mereka lepas tangan, namun karena mereka berdua juga lagi sibuk dengan proyek mereka. Adi masih harus mengawasi kontraktor yang masih membangun sebuah perumahan kecil nan elit yang desain bangunannya juga dibuat oleh Ezar, pun dengan Fajar yang masih mengurusi beberapa proyek dari klien. Jadi dengan proyek mereka yang masih menggunung, Ezar mau tidak mau mencari inspirasi sendiri walaupun tetap akhirnya mereka akan bertemu dan menggelar rapat bersama.
                Ezar membolak-balik beberapa buku dihadapannya. Bosan dengan ide yang belum mau muncul juga, dirinya beralih ke tumpukan komik di bagian tengah toko buku. Ezar tengah membaca komik Detective Conan seri terbaru ketika tanpa sadar dia menyadari sedari tadi sebuah tangan bolak-balik mengambil komik, lalu menaruhnya kembali. Ezar memperhatikan tanpa sadar kelakuan seorang cewek dihadapannya dari balik kaca mata berbingkai tipis miliknya. Barulah kemudian ia sadar apa yang dilakukan cewek itu.
                Tumpukan komik-komik itu tidak rapi dan ada banyak komik yang letaknya tida pada tempatnya alias ditaruh asal dan sembarangan. Dan cewek itu mengambil komik, membaca sinopsisnya lalu meletakkannya kembali ke tempat tumpukan yang berjudul sama, begitu terus, dan kadang dia malah tidak membaca sinopsisnya hanya mengembalikannya ke tumpukan yang seharusnya. Apa cewek ini maniak kerapihan atau ia memang tipe yang bergerak otomatis jika melihat sesuatu yang berantakan atau tidak pada tempatnya.
                Lantas tanpa disadarinya mata mereka bertemu, cewek itu spontan nyengir kearahnya lalu meletakkan sebuah komik dan berlalu. Ezar terkesima untuk sepersekian detik. Cewek itu lucu, simpulnya. Lantas dia sendiri sadar tujuannya kemari untuk mencari ide dan segera kembali ke rak buku yang dicarinya.
                Ekor matanya spontan mencari sosok siluet lucu tadi. Lalu manik matanya menangkap siluet itu di deretan rak-rak novel. Ezar mengamatinya. Cewek ini sebenarnya bukan tipenya, wanita berambut panjang yang mengenakan dress bunga-bunga tak jauh dari cewek itu berdiri yang menyandang tas mungil adalah tipe yang disukainya, terkesan feminin dan lembut, mirip dengan pacar terakhirnya yang sudah putus hampir setahun lalu. Sedangkan cewek lucu yang nyengir spontan dihadapannya karena kepergok tadi rambutnya pendek lurus sedikit melewati bahu, mengenakan celana panjang khaki yang bawahnya di gulung sedikit dan menggenakan oxford shoes yang klasik, dia juga mengenakan topi fedora, terkesan jadul. Namun kalau kamu melihat kaus lengan panjang bergaris biru putih yang dikenakannya dan tas yang tersandang dibahunya dia terlihat modern, pas dengan tinggi tubuhnya yang sedang. Anehnya dua gaya itu bersanding dalam kombinasi yang pas, padahal kalau dipikir-pikir garis-garis biru itu agak tidak cocok dengan warna celananya, tapi anehnya kok sah-sah saja. Ezar berbalik kembali menekuri buku desain bangunan dihadapannya, perlahan satu persatu gambaran sebuah rumah melintas di otak kreatifnya. Kata-kata klienya soal klasik dan modern kembali terngiang. Gambar rusuk-rusuk bangunan di buku yang sedang dibukanya mempertegas gambaran imajinasinya. Sepertinya dia harus segera pulang dan mulai menggambar atau idenya akan segera menguap.
                Ezar bergegas mengembalikan buku itu ke raknya lalu teringat pada wanita tadi. Begitu matanya mulai mencari dan menyapu cepat ruangan toko buku itu, Ezar tanpa sadar mendesah pelan karena tidak berhasil mendapatkan siluet itu lagi. Benar, asalkan seimbang, klasik dan modern pasti bisa berdampingan. Seimbang.
*
                “Zar!” panggil mama pelan. Ezar hanya bergumam sambil menoleh sekilas pada mama yang menghampirinya di teras samping.
                “Sibuk??” tanya mama sambil menarik kursi di depan Ezar.
                “Lumayan ma. Dapat proyek dari petinggi pemerintah hehehe.”
                “Gimana tawaran mama kemarin-kemarin??” tanya mama sambil menyeruput teh hangat yang dibawanya.
                Degg. Ternyata mama serius, pikirnya. “Tawaran yang mana ma?” Ezar pura-pura lupa dan berharap bukan tawaran mama soal perjodohan.
                “Mama ada ketemu sama temen mama dan kita bahas perihal kenalan itu Zar. Mama gak maksa, tapi mama berharap kamu bisa ketemu dulu sama anaknya temen mama itu. Gimana??”.
                “Bener mama gak maksa aku?” Ezar mengalihkan pandangan sepenuhnya dari kertas dan laptop untuk menatap sang ibu. Mamanya mengangguk sambil menyunggingkan senyum hangat.
                “Mama gak maksa kalo emang gak cocok, tapi untuk tahu cocok apa enggak mama pengen kamu bersedia untuk ketemu dulu sama orangnya. Kamu dan dia sama-sama menilai dan tahu,” kata mama bijak.
                Hening menggantung tak lama mamanya beranjak pergi. Diam-diam Ezar memikirkan ucapan ibunya. Ibunya benar mana bisa dia langsung menolak kalau mereka tidak pernah bertemu, itu tidak adil.
*
                “Langsung dari kantor??” sapa ibunya setelah Ezar sampai di meja yang di pesan ibunya siang itu.
                “Iyah agak macet dan tadi masih ada klien. Mama pesan makan apa itu kayaknya enak?” ujarnya saat melihat piring ibunya sudah nyaris kosong.
                “Ini pindang ikan, enak. Asam manis pedasnya pas kalau kamu mau ikut pesan.” Tawar ibunya.
                “Ken sudah pergi?” tanya Ezar tentang adiknya sambil membolak balik buku menu.
                “Sudah, baru saja mama suruh dia berangkat les takut telat.”
                “Andini mungkin datang sebentar lagi, tadi dia bilang belum ada yang menggantikannya menjaga tokonya. Pegawainya sedang mengantarkan pesanan kliennya.” Ibunya menjelaskan karena tahu apa yang sedang ada dibenak anak laki-lakinya ini.
                “Oh,” sahut Ezar sok santai tanpa mengalihkan pandangan dari buku menu. Sejujurnya dia agak gugup. Jadi namanya Andini, batinnya.
                “Toko, memang dia kerja di mana ma?” Ezar bertanya sambil memanggil pelayan.
                “Dia seorang florist, tokonya ada di daerah Rajawali.” Jawab sang ibu.
                Ezar manggut-manggut.
                Tak lama setelah pesanan minumnya datang pintu resto sebuah hotel ditengah jalan utama kota Palembang itu terbuka. Seorang gadis masuk, celingukan sebentar lalu menyungging senyum halus saat yang dicarinya ketemu.
                “Tante!” sapanya sopan. “Maaf kesiangan,” ucapnya dengan nada sopan.
                “Tidak apa-apa. Tante maklum. Mari duduk.” Sambut ibunya. Gadis itu mengangguk dan tersenyum manis. “Kenalkan ini anak laki-laki tante, Ezar. Ezar ini Andini.”
                Gadis itu hendak duduk lalu batal dan tetap berdiri sambil menyalami Ezar dan menyebutkan namanya sekilas. “Andini. Salam kenal mas.” Ezar spontan mengangguk dan tersenyum tipis.
                “Sayang mama kamu gak bisa ikut. Karena mama kamu gak ada biar adil tante tinggal aja ya. sekalian biar ngobrolnya enak. Lagipula tante ada urusan. Gak apa-apa kan An?”
                “Saya lebih suka tante ada, tapi kalau tante ada urusan gak apa-apa tante. Terima kasih.”
                Ezar agak terhenyak mendengar kalimat gadis itu dan tanpa sadar dia tersenyum samar.
                Mereka duduk dalam diam. Ezar menikmati makan siangnya dalam sunyi sambil sesekali mengamati gadis dihadapannya. Bukan tipenya sih, tapi lumayan juga. Penampilannya kasual sederhana namun rapi dan bersahaja. Dia seperti pernah melihat gadis ini tapi entah di mana. Menurut cerita dari ibunya, Andini adalah adik kelasnya, tapi Ezar sama sekali tidak ingat bahwa ada nama Andini di sekolahnya dulu.
                “Diet?” serunya saat pesanan gadis itu datang. Hanya jus alpukat tanpa makanan.
                Gadis itu nyengir spontan lalu berucap “Oh tidak. Tadi sudah makan, masih kenyang,” ucapnya sambil tersenyum.
                Ezar manggut-manggut mengerti.
                “Permisi sebentar,” gadis itu beranjak. Ezar mengikuti kepergiannya yang ternyata mengambil koran harian dari gantungan di pojok resto yang bersebelahan dengan restoran cepat saji asal Amerika.
                Melihat siluet Andini, otaknya bekerja, mencari-cari memori beberapa minggu lalu. Otaknya mengatakan gadis ini mirip dengan gadis yang ditemuinya di toko buku beberapa minggu lalu. Rambut lurus sedikit melewati bahu, gaya jadul yang mirip, dan yah cengirannya, gadis yang ditemuinya di toko buku itu juga memberikannya sengiran malu karena tertangkap basah. Gosh, benarkah mereka orang yang sama?? Gila dunia sempit amat yah, pikirnya.
                Andini kembali ke mejanya dan mendapati Ezar sudah hampir menyelesaikan makan siangnya.
                “Kamu tahu kan kenapa kita ketemu siang ini?” Ezar membuka percakapan.
                “Iyah tahu,” Andini menurunkan korannya dan menatap lekat sosok laki-laki dihadapannya. Laki-laki yang diceritakan ibunya dan diterima tawarannya.
                “Kamu gak keberatan kita dijodohkan?” tanya Ezar to the piont.
                “Gak ada yang salah dengan perjodohan. Lagi pula kita diberi kesempatan untuk bertemu dan mengenal. Aku rasa itu adil.”
                “Jadi bagaimana apa kamu sudah suka aku?”
                Alis Andini agak naik dengan pertanyaan blak-blakan Ezar. Diseruputnya jus alpukatnya yang sudah mulai berembun sekadar memberi jeda pada otaknya untuk berpikir.
                “Suka itu gampang. Asal kamu menghormati aku, aku rasa perasaan itu akan datang dengan sendirinya. Kenapa? Kamu keberatan ya dengan perkenalan ini. Bukankah itu tujuan dari perkenalan ini.”
                “Maksudnya??”
              “Kalau kamu keberatan dengan perkenalan ini artinya kamu sudah menilai aku dan memiliki jawaban atas perjodohan ini. Ya kan??”
                Ezar tersenyum antara geli dan jengkel. Gadis ini benar, sama seperti ucapan ibunya. Kalau dia tetap tidak mau dengan perjodohan ini setelah bertemu berarti dia sudah mengenali bagaimana gadis itu.
                Ezar duduk bersandar pada kursinya setelah tidak tahu harus menyela apa ucapan gadis muda dihadapannya ini. Gadis itu balas tersenyum dengan sopan dan ramah.
                “Kalau aku tidak mau meneruskan perjodohan ini, kamu bagaimana??” tanya Ezar setelah beberapa detik mereka diam.
                Andini tersenyum lalu tertawa kecil. “Aku ikut keputusan mas Ezar.”
                “Maksudnya??” Alis tebal Ezar bertaut.
                “Yah. Kalau pihak laki-laki yang akan dijodohkan dengan saya itu serius saya juga akan menanggapinya dengan serius, namun kalau ternyata pihak laki-laki itu tidak berkenan yah jawaban saya juga tidak berkenan, begitu.”
                Ezar manggut-manggut tanpa kentara. “Okeh kayaknya perkenalan kita sampai sini dulu, kebetulan saya ada janji temu dengan klien.”
                “Baiklah, tidak apa-apa. Terima kasih untuk kesediaannya.”
                Sekali lagi Ezar tidak mampu berucap. “Oh ya,” serunya saat dia akan beranjak dari kursi.
                “Yah!” Andini menatapnya.
                “Apa kamu suka ke toko buku?”
                Andini tersenyum mengangguk. “Sangat suka sekali.”
*
                Dan sekarang disnilah Ezar. Sedang bersiap-siap untuk satu hari bersejarah dalam hidupnya.  
                “Sudah siap?? Ayo,” mamanya muncul di ambang pintu, merapikan pakaian anak laki-lakinya sambil tersenyum bahagia. Ezar membalas senyum itu dengan tak kalah bahagia. Siapa sangka akhirnya dia tunduk pada pilihan ibunya yang ternyata not bad.
                “Cieh calon manten,” goda Ken yang tiba-tiba muncul setelah ibu mereka pergi.
                “Cakep gak??” tanya Ezar bercanda.
                “Cakep dong, masnya siapa dulu,” lalu mereka tertawa konyol.
           Perasaan Andini bercampur antara gugup, cemas, takut, juga bahagia. Lalu tiba-tiba menyeruak lega ketika sosok laki-laki yang dikenalnya secara singkat duduk dihadapannya. Laki-laki itu menyunggingkan senyum tipis yang dibalas Andini.
                Lalu tak sampai satu jam kemudian Andini berganti duduk di samping Ezar, menerima maharnya dan mencium tangan laki-laki itu. Mata mereka bertemu dan senyum sumringah itu merekah.
*
                Ezar mantap dengan keputusannya yang sudah disampaikannya pada ibunya. Dan siapa sangka ibunya memeluknya haru. Ayahnya tersenyum bangga akan keputusannya.
                Mungkin Andini memang bukan tipenya, bukan tipe yang selama ini ia kencani atau jadikan pacar. Tapi pembawaan gadis itu memutarbalikkan logika dan perasaannya. Lagipula, meskipun tak pernah terkatakan, siluet gadis itu hampir memenuhi ruang otaknya. Menerbitkan ide-ide dikepalanya. Gadis itu seperti inspirasi yang nyata untuknya. Andini dengan semua pembawaannya, tutur katanya, menariknya untuk mengatakan yah aku bersedia melanjutkan perjodohan ini.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar