Siluet yang Menginspirasi
Dijodohin!!! Ezar tak pernah membayangkan itu bakal terjadi padanya.
Dia tampan?? Iyah
Memiliki pekerjaan pasti?? Tentu
Ditaksir banyak orang??? Gak perlu diragukan
Lalu, kenapa ibunya, sang mama, tiba-tiba ingin memperkenalkan ia kepada seorang gadis, anak teman ibunya.
Apa karena ia belum juga mau menikah di usia menjelang 30???
Atau karena semenjak hubungannya yang terakhir kandas sudah nyaris setahun lebih ia belum juga memperkenalkan siapa pacar barunya sekarang????
Ezar benar-benar merasa konyol dan tak habis pikir.
Ditengah keruwetan menghadapi klien dan tawaran ibunya, jalan apa yang sebaiknya ia pilih sebagai seorang lelaki dewasa???
Ezar tidak pernah memusuhi yang namanya perjodohan,
yah walaupun dia sendiri belum pernah ngerasaiinya dan juga gak berminat.
Menurutnya pasangan itu harus dicari sendiri, sesuai selera.
Namun entah
kenapa akhir-akhir ini mamanya kerap menyinggung-nyinggung soal perkenalan,
pernikahan, jodoh, dan segala tetek bengek menyangkut isteri dan wanita.
Awalnya dia biasa saja, karena pikirnya itu tidak ditujukan padanya, toh selama
ini sepertinya sang mama baik-baik saja menyangkut statusnya yang belum juga
menikah. Sampai dua minggu lalu mamanya terang-terangan bertanya apakah dirinya
keberatan kalau diperkenalkan pada seorang gadis anak teman mamanya. Ezar yang
malam itu baru pulang kantor dan sedang duduk-duduk santai di gazebo sambil
main game mendadak jadi bego dan bengong. Ajaibnya mamanya meninggalkan dirinya
yang masih terbengong-bengong dengan santai, padahal biasanya mamanya bakal
ngambek berat kalau pertanyaannya atau permintaanya tidak segera dijawab.
Dan disinilah
akhirnya dia terdampar, di toko buku. Sori, walaupun seorang arsitektur yang
kerja bareng teman-temannya mendirikan sebuah perusahaan jasa konsultan
bangunan yang mulai diperhitungkan, Ezar bukan tipe orang kutu buku yang doyan
ke toko buku. Tapi sore ini dia gak punya pilihan. Selain masih
terngiang-ngiang dengan permintaan sang mama, yang hingga hari ini belum iya
jawab dan si mama juga gak pernah tanya lagi, Ezar merasa stuck dengan proyek terbarunya. Seorang klien baru datang ke
kantornya dua hari lalu dan minta untuk dibuatkan rancangan awal untuk hunian
pribadinya. Klien ini minta untuk dibuatkan rancangan yang berbeda dari yang
sudah tren saat ini. Dan klien ini menyukai segala hal yang bersifat klasik dan
kuno, namun dia tidak ingin jika huniannya dibuat seperti rumah-rumah model
lama, dia ingin tetap terkesan kuno namun juga artistik dan modern sesuai
zaman. Nah loh gimana otak Ezar gak mumet. Dia sudah coba berkunjung ke rumah
sang klien saat ini, juga ke kantor sang klien yang memiliki usaha ekspedisi, namun
dia masih belum mampu menarik benang merah dari kemauan si klien.
Sepulang kantor
tadi dia melintasi sebuah mall besar dan mendadak terpikir untuk mampir ke toko
buku didalamnya, berharap mendapatkan inspirasi dari buku-buku soal desain yang
dijual di sana. Fajar, rekan kerjanya yang mengurusi masalah desain interior,
dan Adi yang seorang anak teknik sipil sudah menyerahkan sepenuhnya pada Ezar.
Bukan karena mereka lepas tangan, namun karena mereka berdua juga lagi sibuk
dengan proyek mereka. Adi masih harus mengawasi kontraktor yang masih membangun
sebuah perumahan kecil nan elit yang desain bangunannya juga dibuat oleh Ezar,
pun dengan Fajar yang masih mengurusi beberapa proyek dari klien. Jadi dengan
proyek mereka yang masih menggunung, Ezar mau tidak mau mencari inspirasi
sendiri walaupun tetap akhirnya mereka akan bertemu dan menggelar rapat
bersama.
Ezar
membolak-balik beberapa buku dihadapannya. Bosan dengan ide yang belum mau
muncul juga, dirinya beralih ke tumpukan komik di bagian tengah toko buku. Ezar
tengah membaca komik Detective Conan seri terbaru ketika tanpa sadar dia
menyadari sedari tadi sebuah tangan bolak-balik mengambil komik, lalu
menaruhnya kembali. Ezar memperhatikan tanpa sadar kelakuan seorang cewek
dihadapannya dari balik kaca mata berbingkai tipis miliknya. Barulah kemudian
ia sadar apa yang dilakukan cewek itu.
Tumpukan
komik-komik itu tidak rapi dan ada banyak komik yang letaknya tida pada
tempatnya alias ditaruh asal dan sembarangan. Dan cewek itu mengambil komik,
membaca sinopsisnya lalu meletakkannya kembali ke tempat tumpukan yang berjudul
sama, begitu terus, dan kadang dia malah tidak membaca sinopsisnya hanya
mengembalikannya ke tumpukan yang seharusnya. Apa cewek ini maniak kerapihan
atau ia memang tipe yang bergerak otomatis jika melihat sesuatu yang berantakan
atau tidak pada tempatnya.
Lantas tanpa
disadarinya mata mereka bertemu, cewek itu spontan nyengir kearahnya lalu
meletakkan sebuah komik dan berlalu. Ezar terkesima untuk sepersekian detik.
Cewek itu lucu, simpulnya. Lantas dia sendiri sadar tujuannya kemari untuk
mencari ide dan segera kembali ke rak buku yang dicarinya.
Ekor matanya
spontan mencari sosok siluet lucu tadi. Lalu manik matanya menangkap siluet itu
di deretan rak-rak novel. Ezar mengamatinya. Cewek ini sebenarnya bukan
tipenya, wanita berambut panjang yang mengenakan dress bunga-bunga tak jauh
dari cewek itu berdiri yang menyandang tas mungil adalah tipe yang disukainya,
terkesan feminin dan lembut, mirip dengan pacar terakhirnya yang sudah putus
hampir setahun lalu. Sedangkan cewek lucu yang nyengir spontan dihadapannya
karena kepergok tadi rambutnya pendek lurus sedikit melewati bahu, mengenakan
celana panjang khaki yang bawahnya di gulung sedikit dan menggenakan oxford shoes yang klasik, dia juga
mengenakan topi fedora, terkesan jadul. Namun kalau kamu melihat kaus lengan
panjang bergaris biru putih yang dikenakannya dan tas yang tersandang dibahunya
dia terlihat modern, pas dengan tinggi tubuhnya yang sedang. Anehnya dua gaya
itu bersanding dalam kombinasi yang pas, padahal kalau dipikir-pikir
garis-garis biru itu agak tidak cocok dengan warna celananya, tapi anehnya kok
sah-sah saja. Ezar berbalik kembali menekuri buku desain bangunan dihadapannya,
perlahan satu persatu gambaran sebuah rumah melintas di otak kreatifnya.
Kata-kata klienya soal klasik dan modern kembali terngiang. Gambar rusuk-rusuk
bangunan di buku yang sedang dibukanya mempertegas gambaran imajinasinya.
Sepertinya dia harus segera pulang dan mulai menggambar atau idenya akan segera
menguap.
Ezar bergegas
mengembalikan buku itu ke raknya lalu teringat pada wanita tadi. Begitu matanya
mulai mencari dan menyapu cepat ruangan toko buku itu, Ezar tanpa sadar
mendesah pelan karena tidak berhasil mendapatkan siluet itu lagi. Benar,
asalkan seimbang, klasik dan modern pasti bisa berdampingan. Seimbang.
*
“Zar!” panggil
mama pelan. Ezar hanya bergumam sambil menoleh sekilas pada mama yang
menghampirinya di teras samping.
“Sibuk??” tanya
mama sambil menarik kursi di depan Ezar.
“Lumayan ma.
Dapat proyek dari petinggi pemerintah hehehe.”
“Gimana tawaran
mama kemarin-kemarin??” tanya mama sambil menyeruput teh hangat yang dibawanya.
Degg. Ternyata
mama serius, pikirnya. “Tawaran yang mana ma?” Ezar pura-pura lupa dan berharap
bukan tawaran mama soal perjodohan.
“Mama ada ketemu
sama temen mama dan kita bahas perihal kenalan itu Zar. Mama gak maksa, tapi
mama berharap kamu bisa ketemu dulu sama anaknya temen mama itu. Gimana??”.
“Bener mama gak
maksa aku?” Ezar mengalihkan pandangan sepenuhnya dari kertas dan laptop untuk
menatap sang ibu. Mamanya mengangguk sambil menyunggingkan senyum hangat.
“Mama gak maksa
kalo emang gak cocok, tapi untuk tahu cocok apa enggak mama pengen kamu
bersedia untuk ketemu dulu sama orangnya. Kamu dan dia sama-sama menilai dan
tahu,” kata mama bijak.
Hening
menggantung tak lama mamanya beranjak pergi. Diam-diam Ezar memikirkan ucapan
ibunya. Ibunya benar mana bisa dia langsung menolak kalau mereka tidak pernah
bertemu, itu tidak adil.
*
“Langsung dari kantor??”
sapa ibunya setelah Ezar sampai di meja yang di pesan ibunya siang itu.
“Iyah agak macet
dan tadi masih ada klien. Mama pesan makan apa itu kayaknya enak?” ujarnya saat
melihat piring ibunya sudah nyaris kosong.
“Ini pindang
ikan, enak. Asam manis pedasnya pas kalau kamu mau ikut pesan.” Tawar ibunya.
“Ken sudah
pergi?” tanya Ezar tentang adiknya sambil membolak balik buku menu.
“Sudah, baru saja
mama suruh dia berangkat les takut telat.”
“Andini mungkin
datang sebentar lagi, tadi dia bilang belum ada yang menggantikannya menjaga
tokonya. Pegawainya sedang mengantarkan pesanan kliennya.” Ibunya menjelaskan
karena tahu apa yang sedang ada dibenak anak laki-lakinya ini.
“Oh,” sahut Ezar
sok santai tanpa mengalihkan pandangan dari buku menu. Sejujurnya dia agak
gugup. Jadi namanya Andini, batinnya.
“Toko, memang dia
kerja di mana ma?” Ezar bertanya sambil memanggil pelayan.
“Dia seorang florist, tokonya ada di daerah Rajawali.”
Jawab sang ibu.
Ezar
manggut-manggut.
Tak lama setelah
pesanan minumnya datang pintu resto sebuah hotel ditengah jalan utama kota
Palembang itu terbuka. Seorang gadis masuk, celingukan sebentar lalu
menyungging senyum halus saat yang dicarinya ketemu.
“Tante!” sapanya
sopan. “Maaf kesiangan,” ucapnya dengan nada sopan.
“Tidak apa-apa.
Tante maklum. Mari duduk.” Sambut ibunya. Gadis itu mengangguk dan tersenyum
manis. “Kenalkan ini anak laki-laki tante, Ezar. Ezar ini Andini.”
Gadis itu hendak
duduk lalu batal dan tetap berdiri sambil menyalami Ezar dan menyebutkan namanya
sekilas. “Andini. Salam kenal mas.” Ezar spontan mengangguk dan tersenyum
tipis.
“Sayang mama kamu
gak bisa ikut. Karena mama kamu gak ada biar adil tante tinggal aja ya.
sekalian biar ngobrolnya enak. Lagipula tante ada urusan. Gak apa-apa kan An?”
“Saya lebih suka
tante ada, tapi kalau tante ada urusan gak apa-apa tante. Terima kasih.”
Ezar agak
terhenyak mendengar kalimat gadis itu dan tanpa sadar dia tersenyum samar.
Mereka duduk
dalam diam. Ezar menikmati makan siangnya dalam sunyi sambil sesekali mengamati
gadis dihadapannya. Bukan tipenya sih, tapi lumayan juga. Penampilannya kasual
sederhana namun rapi dan bersahaja. Dia seperti pernah melihat gadis ini tapi
entah di mana. Menurut cerita dari ibunya, Andini adalah adik kelasnya, tapi
Ezar sama sekali tidak ingat bahwa ada nama Andini di sekolahnya dulu.
“Diet?” serunya
saat pesanan gadis itu datang. Hanya jus alpukat tanpa makanan.
Gadis itu nyengir
spontan lalu berucap “Oh tidak. Tadi sudah makan, masih kenyang,” ucapnya
sambil tersenyum.
Ezar
manggut-manggut mengerti.
“Permisi
sebentar,” gadis itu beranjak. Ezar mengikuti kepergiannya yang ternyata
mengambil koran harian dari gantungan di pojok resto yang bersebelahan dengan
restoran cepat saji asal Amerika.
Melihat siluet
Andini, otaknya bekerja, mencari-cari memori beberapa minggu lalu. Otaknya
mengatakan gadis ini mirip dengan gadis yang ditemuinya di toko buku beberapa
minggu lalu. Rambut lurus sedikit melewati bahu, gaya jadul yang mirip, dan yah
cengirannya, gadis yang ditemuinya di toko buku itu juga memberikannya sengiran
malu karena tertangkap basah. Gosh,
benarkah mereka orang yang sama?? Gila dunia sempit amat yah, pikirnya.
Andini kembali ke
mejanya dan mendapati Ezar sudah hampir menyelesaikan makan siangnya.
“Kamu tahu kan
kenapa kita ketemu siang ini?” Ezar membuka percakapan.
“Iyah tahu,”
Andini menurunkan korannya dan menatap lekat sosok laki-laki dihadapannya.
Laki-laki yang diceritakan ibunya dan diterima tawarannya.
“Kamu gak
keberatan kita dijodohkan?” tanya Ezar to
the piont.
“Gak ada yang
salah dengan perjodohan. Lagi pula kita diberi kesempatan untuk bertemu dan
mengenal. Aku rasa itu adil.”
“Jadi bagaimana
apa kamu sudah suka aku?”
Alis Andini agak
naik dengan pertanyaan blak-blakan Ezar. Diseruputnya jus alpukatnya yang sudah
mulai berembun sekadar memberi jeda pada otaknya untuk berpikir.
“Suka itu
gampang. Asal kamu menghormati aku, aku rasa perasaan itu akan datang dengan
sendirinya. Kenapa? Kamu keberatan ya dengan perkenalan ini. Bukankah itu
tujuan dari perkenalan ini.”
“Maksudnya??”
“Kalau kamu
keberatan dengan perkenalan ini artinya kamu sudah menilai aku dan memiliki
jawaban atas perjodohan ini. Ya kan??”
Ezar tersenyum
antara geli dan jengkel. Gadis ini benar, sama seperti ucapan ibunya. Kalau dia
tetap tidak mau dengan perjodohan ini setelah bertemu berarti dia sudah
mengenali bagaimana gadis itu.
Ezar duduk
bersandar pada kursinya setelah tidak tahu harus menyela apa ucapan gadis muda
dihadapannya ini. Gadis itu balas tersenyum dengan sopan dan ramah.
“Kalau aku tidak
mau meneruskan perjodohan ini, kamu bagaimana??” tanya Ezar setelah beberapa
detik mereka diam.
Andini tersenyum
lalu tertawa kecil. “Aku ikut keputusan mas Ezar.”
“Maksudnya??”
Alis tebal Ezar bertaut.
“Yah. Kalau pihak
laki-laki yang akan dijodohkan dengan saya itu serius saya juga akan
menanggapinya dengan serius, namun kalau ternyata pihak laki-laki itu tidak
berkenan yah jawaban saya juga tidak berkenan, begitu.”
Ezar
manggut-manggut tanpa kentara. “Okeh kayaknya perkenalan kita sampai sini dulu,
kebetulan saya ada janji temu dengan klien.”
“Baiklah, tidak
apa-apa. Terima kasih untuk kesediaannya.”
Sekali lagi Ezar
tidak mampu berucap. “Oh ya,” serunya saat dia akan beranjak dari kursi.
“Yah!” Andini
menatapnya.
“Apa kamu suka ke
toko buku?”
Andini tersenyum
mengangguk. “Sangat suka sekali.”
*
Dan sekarang
disnilah Ezar. Sedang bersiap-siap untuk satu hari bersejarah dalam hidupnya.
“Sudah siap??
Ayo,” mamanya muncul di ambang pintu, merapikan pakaian anak laki-lakinya
sambil tersenyum bahagia. Ezar membalas senyum itu dengan tak kalah bahagia.
Siapa sangka akhirnya dia tunduk pada pilihan ibunya yang ternyata not bad.
“Cieh calon
manten,” goda Ken yang tiba-tiba muncul setelah ibu mereka pergi.
“Cakep gak??”
tanya Ezar bercanda.
“Cakep dong,
masnya siapa dulu,” lalu mereka tertawa konyol.
Perasaan Andini
bercampur antara gugup, cemas, takut, juga bahagia. Lalu tiba-tiba menyeruak
lega ketika sosok laki-laki yang dikenalnya secara singkat duduk dihadapannya.
Laki-laki itu menyunggingkan senyum tipis yang dibalas Andini.
Lalu tak sampai
satu jam kemudian Andini berganti duduk di samping Ezar, menerima maharnya dan
mencium tangan laki-laki itu. Mata mereka bertemu dan senyum sumringah itu
merekah.
*
Ezar mantap dengan
keputusannya yang sudah disampaikannya pada ibunya. Dan siapa sangka ibunya
memeluknya haru. Ayahnya tersenyum bangga akan keputusannya.
Mungkin Andini
memang bukan tipenya, bukan tipe yang selama ini ia kencani atau jadikan pacar.
Tapi pembawaan gadis itu memutarbalikkan logika dan perasaannya. Lagipula,
meskipun tak pernah terkatakan, siluet gadis itu hampir memenuhi ruang otaknya.
Menerbitkan ide-ide dikepalanya. Gadis itu seperti inspirasi yang nyata
untuknya. Andini dengan semua pembawaannya, tutur katanya, menariknya untuk
mengatakan yah aku bersedia melanjutkan perjodohan ini.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar