Sabtu, 13 September 2014

"Tentang Kita" -- Sebuah cerpen

"Tentang Kita"


Zaky Andriawan è 28 tahun. Pilot muda sebuah maskapai penerbangan. Seorang suami. Tenang. Pekerja keras. Suka fisika. Suka basket. Punya satu saudara lelaki. Tinggi 175 cm. Berat 62kg. Tidak merokok. Memiliki ego sama seperti lelaki umumnya.

Annanita Inezia è 28 tahun. PR di sebuah bank. Seorang isteri. Humoris. Mudah cemas. Penyuka model rambut bobnya Nicole Richie dan masih setia dengan model jadul itu. Suka seni dan warna. Punya satu saudara lelaki. Tante dari seorang anak laki-laki lucu berusia tiga tahun. Tinggi 163 cm dan berat 50 kg. Berperasaan halus sama seperti wanita umumnya.

Inez
                Inez membuka album foto pernikahan yang sudah berlalu nyaris setahun lalu. Diusapnya sebuah foto pasangan yang tengah tertawa bahagia itu. Foto pengantin dalam busana tradisional adat Palembang berwarna merah cerah, lengkap dengan mahkota yang berwarna emas berkilauan.
                Sesekali dia melirik handphonenya yang masih setia membisu beberapa hari ini. Biasanya di jam-jam segini, menjelang tidur suaminya akan menelepon memberi kabar atau sekadar mengobrol ringan melepas rindu karena tengah berjauhan.
                Tapi sudah beberapa hari ini menjelang jam sepuluh malam handphone Inez bisu padahal suaminya sudah tiga hari ini dinas beruntun keluar kota.
                Beberapa minggu terakhir ini mereka kerap ribut, dan puncaknya minggu lalu mereka ribut besar. Inez merasa dikhianati dan tidak dicintai oleh suaminya sendiri. Tak pernah sekalipun suaminya bercerita bahwa ia kembali bertemu dan akrab dengan seorang wanita yang Inez tahu adalah mantan pacar suaminya semasa sekolah.
Dan yang menurut Inez lebih menyakitkan adalah bahwa suaminya menikahi Inez karena kasihan, takut menolak permintaan orang tua, dan karena merasa ditinggalkan oleh pacarnya dulu.
                Inez marah, kecewa, dan sakit hati. Satu minggu mereka sudah tinggal dalam keterasingan, tidur terpisah, dan Inez enggan untuk mengurusi suaminya walaupun sekadar soal pakaian dan makanan. Yah Inez dan suaminya memang pasangan hasil perjodohan, walaupun sebenarnya mereka berdua sudah saling kenal karena dulu adalah teman satu sekolah dari SMP sampai SMA, namun dulu mereka tidak akrab bahkan tidak pernah satu kelas. Inez hanya tahu suaminya adalah anak yang pintar dipelajaran Fisika karena beberapa kali semasa sekolah suaminya menyabet juara olimpiade maupun juara lomba lainnya yang berhubungan dengan Fisika dan Astronomi. Bahkan sekarang pun di rumah mereka, mereka memiliki sebuah teleskop bintang.
Sudah beberapa hari ini sepertinya suaminya memilih terus mengambil jatah terbangnya, sengaja untuk menghindari Inez. Baru dirasakan Inez rumah terasa sepi. Ingin sekali dia meminta maaf namun setiap mengingat kelakuan suaminya hati Inez terasa nyeri. Yang makin membuatnya kecewa tak sedikitpun suaminya berusaha untuk menjelaskan tentang hubungan dirinya dan mantan pacarnya.
Inez berbaring dalam kamarnya yang dingin, meringkuk sambil memeluk album foto. Malam semakin beranjak, sunyi dan dingin. Tanpa terasa perlahan air mata jatuh dari pelupuk matanya. Dan ditemani angin malam yang mengusik ribut Inez terisak pelan.

Zaky
                “Mari kapten dan mas Zaky, penumpang udah keluar semua,” ucap pramugari kepala setelah tak berapa lama mereka landing. Setelah petugas kembali memeriksa kondisi pesawat sekali lagi, seluruh kru turun dan siap untuk dijemput guna menuju hotel untuk beristirahat.
                Kota Surabaya gemerlap dengan lampu jalanannya. Zaky memandang jalanan malam dari balik kaca mobil yang merayap dengan setengah termenung. Pikirannya melayang ke rumah. Ke istrinya yang sudah beberapa hari ini mendiamkannya. Sedang apa wanitanya itu? Sudah tidurkah atau masih di depan tv menunggu telepon darinya.
                Semuanya bermula dari pertemuan tidak sengaja dirinya dengan seorang teman lamanya, okeh teman lama yang dulu pernah amat sangat dekat alias pacarnya dulu semasa sekolah. Kebetulan temannya itu sekarang tinggal dan bekerja di Bandung dan sedang ada dinas ke Tangerang untuk waktu beberapa lama.
                Mereka memang kerap bertemu apalagi sang teman sering meminta untuk ditunjukkan tempat-tempat yang dia ingin kunjungi di daerah Banten namun belum pernah ke sana mengingat sang teman yang berprofesi sebagai dokter. Zaky menemaninya dalam kapasitas murni seorang teman lama dan tidak pernah terpikir yang aneh-aneh, toh dia sudah punya isteri yang menurutnya jauh lebih baik. Walaupun isterinya bukan seorang dokter dengan profesi mentereng, tapi baginya memiliki isterinya adalah sebuah kebanggaan. Keceriaan isterinya dan sifat humorisnya dengan celetukan-celetukan yang spontan selalu mampu untuk membuatnya tersenyum. Makanya dia tak pernah harus merasa untuk menjelaskan tentang teman lamanya, toh isterinya sudah tahu teman lamanya ini siapa, dulu mereka sama-sama teman sekolah.
                Tapi Zaky lupa bahwa wanita punya pemikiran berbeda, ketika sore di hari libur dinasnya teman lamanya menelepon dan tidak sengaja dijawab oleh isterinya. Wanita itu marah dan kesal. Mereka ribut besar dan isterinya semakin marah saat esoknya dirinya tetap memutuskan pergi menemui teman lamanya dan bersedia untuk mengantarkan teman lamanya ke sebuah rumah sakit di daerah Banten yang agak jauh dari kota. Zaky sudah menjelaskan bahwa ia bersedia karena sudah terlanjur berjanji dan tidak enak untuk membatalkannya apalagi teman mereka itu sendirian di Tangerang, tapi isterinya hanya diam seribu bahasa sebagai bentuk protes hingga saat ini.
                Zaky menghela nafas, mungkin karena desahannya terlalu keras seorang pramugari junior menegurnya. “Mas Zaky kenapa?? Tumben menghela nafas begitu hehehe.”
                Zaky menoleh dan tersenyum, “Gak ada apa-apa. Cuma macetnya lumayan juga, udah pengen tidur nih,” selorohnya diikutin kata setuju dari yang lain.
                “Kamu belum ambil libur seminggu ini Zak?” tanya sang kapten.
                “Belum, masih ada beberapa lagi gantiin pak Riza yang ada urusan keluarga,” jawabnya. Para wanita di dalam mobil itu sudah asyik mengobrol sendiri.
                “Jangan terlalu diforsir. Sehabis jadwal ini mintalah libur sehari atau dua hari,” nasihat partnernya.
                “Baik kapten,” Zaky tersenyum. Kembali dia tenggelam dalam pikirannya. Sebuah pesan singkat masuk dari teman lamanya yang menanyakan keberadaan dan kabarnya. Tapi Zaky sedang malas untuk membalasnya, bukan dia yang ingin dia ketahui kabarnya, tapi wanitanya yang sepertinya masih terlalu marah untuk menghubunginya.
                Dia rindu tapi di satu sisi dia juga marah pada isterinya, bagaimana bisa isterinya menuduhnya berselingkuh dan yang lebih membuatnya kecewa tuduhan isterinya pada dirinya yang mau menikahinya hanya karena kasihan dan takut menolak permintaan orang tua mereka. Tak pernah terpikir sedikitpun di dalam kepalanya tentang semua tuduhan isterinya.
                Mereka memang dijodohkan oleh orang tua mereka yang ternyata adalah teman lama satu profesi. Dan begitu tahu siapa yang hendak ditawarkan kedua orangtuanya padanya, Zaky bersedia berkenalan. Dan dia masih ingat bagaimana raut wajah isterinya dulu saat mereka pertama kali bertemu setelah sekian lama tidak bertemu selepas kelulusan sekolah. Dengan senang hati Zaky meminang isterinya lalu sekarang bagaimana bisa dia dituduh macam-macam. Ego laki-lakinya tidak terima tanpa perlu diusir Zaky sendiri memutuskan untuk tidur di kamar satunya yang ada di rumah mereka.
                Tak tahan dengan kondisi perang dingin di rumah Zaky menerima permintaan tolong rekan kerjanya untuk bisa menggantikan tugasnya karena ada urusan keluarga mendadak. Jadilah sudah hampir satu minggu ini Zaky terbang nonstop. Berharap tidak harus tidur sendirian di rumah dengan tersiksa.
                Sekali lagi pikirannya melayang ke rumah. Rumah tempat isterinya biasa menyambutnya kala pulang dinas. Rumah tempat mereka menghabiskan waktu seharian dengan nonton film secara marathon. Rumah tempat dia menikmati masakan isterinya. Rumah tempatnya mendengar omelan isterinya. Zaky rindu, rindu sekali. Tapi ego laki-lakinya merasa terluka dan dia memilih untuk tidak mau mengalah.

Inez
                Sore menjelang maghrib berkumandang Inez berlari begitu turun dari taksi. Segera dia menuju bagian informasi, begitu mendapat keterangan yang dia cari segera dia menuju ruang IGD rumah sakit bandara itu. Jantungnya memburu membuat nafasnya turun naik sarat kecemasan. Matanya liar mengamati ruang IGD yang lumayan ramai, langkahnya langsung berderap menuju sebuah bangsal yang tengah dikerumuni oleh orang-orang dengan seragam khas sebuah maskapai penerbangan.
                “Ya ampun Zak!! Kamu kenapa?? Apa tifus kamu kambuh?? Kamu makan gak teratur pastinya. Sok kebanyakan kerja,” Inez langsung merepet begitu mendapati suaminya terbaring, dia tidak peduli dengan keadaan sekitar. Tidak peduli dengan kerumunan teman-teman suaminya, tidak peduli dengan dokter dan suster yang tengah memasangkan infus ke pergelangan tangan suaminya. Inez spontan meraba dahi suaminya. “Tuh kan panas,” gerutunya. Beberapa pramugari yang spontan menyingikr begitu mendengar suaranya tersenyum geli. Inez langsung sadar dan salah tingkah begitu dokter angkat bicara dan menjelaskan perihal kondisi suaminya.
                “Bisa jadi memang tifusnya kambuh bu, tapi untuk tahu lebih lengkapnya kita tetap akan melakukan pemeriksaan darah. Nanti suster akan kembali untuk mengambil sampel darah pak Zaky. Untuk sementara biarkan pak Zaky berisitirahat.” Dokter itu tersenyum diikuti anggukan dari Inez. Begitu dokter pergi satu persatu kolega Zaky mohon pamit karena hari sudah gelap. Inez melirik Zaky yang tengah memejamkan mata di atas brankar IGD. Selang infus sudah terpasang. Inez duduk di bangku dekat tempat tidur. Ada koper kulit hitam dan sebuah tas di dekat tempat duduknya. Tas dinas Zaky.
                Inez langsung turun dari ruang kerjanya dan menyetop taksi pertama yang dilihatnya begitu mendapat telepon dari kantor suaminya. Mereka memberi kabar bahwa suaminya masuk rumah sakit dan langsung drop begitu menyelesaikan penerbangan kembali ke Jakarta dari Denpasar.
                Dirabanya sekali lagi dahi suaminya, masih panas. Spontan suaminya perlahan membuka mata begitu tangan Inez menyentuh keningnya. Mereka saling memandang, ada rasa canggung yang menggantung. Inez menurunkan tangannya perlahan sambil tersenyum tipis. Didengarnya suaminya berdehem pelan lalu membalikkan badannya memunggungi Inez. Ada yang mencelos dihatinya dan Inez memilih duduk kembali.
                Tak berapa lama suster datang dan mulai melakukan tugasnya mengambil sampel darah suaminya. Inez bertanya berapa lama hasil tes darah akan keluar dan apakah suaminya butuh untuk rawat inap atau bisa pulang. Suster memintanya menemui dokter untuk berkonsultasi.
                Dokter menyarankan agar suaminya istirahat di rumah sakit dulu sembari menunggu hasil tes darah dan meminta Inez untuk segera mendaftarkan suaminya ke bagian administrasi agar bisa mendapat kamar. Selesai semua urusan administrasi rumah sakit Inez kembali ke ruang IGD dan mendapati suaminya sudah terpejam. Inez merapikan selimut dan kaget ketika mendengar suaminya bersuara karena dia mengira Zaky sudah tertidur.
                “Kamu tahu aku pernah sakit tifus??” tanya Zaky dengan mata masih terpejam.
                “Tahulah. Dulu kan jaman sekolah kita SMP kamu pernah sakit itu dan gak masuk sampai hampir dua minggu. Banyak yang bilang tifus itu bisa kambuh kalo badan drop.” Inez duduk di bangku dan mengeluarkan ponselnya.
                “Gak usah hubungi mama. Aku cuma kecapekan,” sergah suaminya sambil menatapnya. Inez balik memandangnya dan memasukkan kembali ponselnya dan mengangguk tanda mengerti. Mereka kembali hening.
                Karena Zaky memilih berbalik memunggunginya Inez memutar kursinya dan duduk menghadap meja dokter jaga yang tengah kosong, mereka saling memunggungi kini. Ruang IGD itu perlahan sepi hanya ada dua pasien lain yang mungkin juga tengah menunggu kamar yang siap sama seperti mereka.
                Suara derak tempat tidur terdengar dibelakang Inez, tapi Inez malas untuk sekadar berbalik. Lalu perlahan sebuah tangan merangkulnya dari dibelakang. Inez terhenyak. Suara nafas berat suaminya terdengar di belakang kepalanya. Rangkulan hangat yang ternyata amat sangat ia rindukan.
                “Maaf,” suara Zaky terdengar samar. “Maaf karena tidak menceritakan soal Citra. Aku benci kita berjauhan, aku ingin kita baikan lagi. Please!!”. Inez masih tidak bergeming.
                “Apa artinya aku buat kamu Zak??” tanya Inez akhirnya masih dalam posisi yang sama. Akhirnya ia memiliki keberanian untuk menanyakan pertanyaan yang membebaninya selama ini. Awalnya ia takut menanyakannya karena takut dengan jawabannya, tapi sekarang ia ingin siap akan jawaban apapun yang diberikan Zaky. Kalau memang ia terpilih karena sebuah keterpaksaan ia ingin mundur dengan perasaan lega, bukan bertahan dengan perasaan bertanya-tanya.
                “Rumah. Kamu rumahku. Tempat aku selalu ingin kembali. Tempat aku disambut. Tempat aku menemukan kedamaian. Tempat aku menemukan diriku sendiri. Tempat aku beristirahat. Kamu rumah aku Nez.”
                 Dadanya serasa membengkak oleh rasa bahagia, jawaban Zaky terlalu diluar perkiraannya. Lalu dia berdiri dan berbalik memandang Zaky yang tampak terkejut.
                “Kamu masih kuat duduk kan??” tanya Inez. Zaky mengangguk pelan dengan wajah bingung. “Aku mau dipeluk,” ucapnya manja. “Tapi dipeluknya sambil kamu duduk,” lanjutnya. Senyum terkembang di wajah Zaky. Laki-laki itu berusaha duduk walaupu kepalanya terasa nyut-nyutan. Begitu suaminya duduk, Inez spontan memeluknya. Merangkul lehernya dengan sayang.
                “Aku kangen banget,” bisiknya pelan.
                Zaky tersenyum dan mengangguk tanda setuju karena ia pun merasakan hal yang sama.
                “Jadi kita baikan?” tanya Inez masih belum mau melepaskan pelukannya.
                Sekali lagi Zaky mengangguk.

Zaky
                Jadi dia tahu kalau aku pernah sakit tifus, batin Zaky. Jawaban Inez terlalu mengejutkannya. Walaupun dulu mereka tidak pernah akrab ternyata Inez tahu dan masih ingat.
                Mendapati wanita itu duduk membelakanginya Zaky merasa kecewa. Dia ingin Inez menatapnya dengan sorot mata hangat yang selama ini Zaky terima. Kalau melihat Inez duduk seperti ini, dimana Zaky hanya bisa memandangi punggung dan rambutnya, dia merasa Inez seperti akan hendak meninggalkannya.
                Dan sesungguhnya dia amat senang ketika melihat Inez masuk ke ruang IGD dan berbicara tanpa henti seperti itu. Gosh!! Ternyata dia memang amat merindukan wanita ini. Dia tidak ingin berjauhan. Diabaikan oleh Inez, tidak dibuatkan sarapan dan tidak disambut seperti biasa rasanya begitu menyiksa.
                Dia rindu sentuhan Inez pada dirinya. Bahkan sentuha kecil tangan Inez pada dahinya seperti barusan adalah jawaban dari betapa dirinya merindukan Inez.
                Betul, Inez adalah rumahnya. Pusatnya. Inez adalah tempat ia ingin selalu berpulang dan menemukan kedamaian sama seperti rumah. Dan ia ingin mereka berbaikan. Awalnya ia kaget luar biasa saat Inez melepaskan rangkulan lengannya dan berdiri dihadapannya. Namun kemudian ia tersenyum tipis dan membumbung tinggi saat mendengar permintaan Inez.
                Zaky menyesap dalam-dalam aroma yang selama ini sungguh familiar dan sudah beberapa hari ini menghilang. Inez memeluknya erat. Ajaibnya kepalanya yang tadi berasa pening luar biasa dan badannya yang seperti diganduli barbel seperti terangkat. Ringan dan melegakan.
                Akh Inez, sampai kapanpun aku ingin selalu memperjuangkanmu. Zaky mendekap erat Inez. Ini semua tentang kita. Tidak akan ada orang lain. Tentang aku dan kamu. Selalu.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar