"Tentang Kita"
Zaky Andriawan è
28 tahun. Pilot muda sebuah maskapai
penerbangan. Seorang suami. Tenang. Pekerja keras. Suka fisika. Suka basket.
Punya satu saudara lelaki. Tinggi 175 cm. Berat 62kg. Tidak merokok. Memiliki
ego sama seperti lelaki umumnya.
Annanita Inezia è
28 tahun. PR di sebuah bank. Seorang
isteri. Humoris. Mudah cemas. Penyuka model rambut bobnya Nicole Richie dan
masih setia dengan model jadul itu. Suka seni dan warna. Punya satu saudara
lelaki. Tante dari seorang anak laki-laki lucu berusia tiga tahun. Tinggi 163
cm dan berat 50 kg. Berperasaan halus sama seperti wanita umumnya.
Inez
Inez membuka
album foto pernikahan yang sudah berlalu nyaris setahun lalu. Diusapnya sebuah
foto pasangan yang tengah tertawa bahagia itu. Foto pengantin dalam busana
tradisional adat Palembang berwarna merah cerah, lengkap dengan mahkota yang
berwarna emas berkilauan.
Sesekali dia
melirik handphonenya yang masih setia membisu beberapa hari ini. Biasanya di
jam-jam segini, menjelang tidur suaminya akan menelepon memberi kabar atau
sekadar mengobrol ringan melepas rindu karena tengah berjauhan.
Tapi sudah
beberapa hari ini menjelang jam sepuluh malam handphone Inez bisu padahal
suaminya sudah tiga hari ini dinas beruntun keluar kota.
Beberapa minggu
terakhir ini mereka kerap ribut, dan puncaknya minggu lalu mereka ribut besar.
Inez merasa dikhianati dan tidak dicintai oleh suaminya sendiri. Tak pernah
sekalipun suaminya bercerita bahwa ia kembali bertemu dan akrab dengan seorang
wanita yang Inez tahu adalah mantan pacar suaminya semasa sekolah.
Dan yang menurut Inez lebih menyakitkan adalah
bahwa suaminya menikahi Inez karena kasihan, takut menolak permintaan orang
tua, dan karena merasa ditinggalkan oleh pacarnya dulu.
Inez marah,
kecewa, dan sakit hati. Satu minggu mereka sudah tinggal dalam keterasingan,
tidur terpisah, dan Inez enggan untuk mengurusi suaminya walaupun sekadar soal
pakaian dan makanan. Yah Inez dan suaminya memang pasangan hasil perjodohan,
walaupun sebenarnya mereka berdua sudah saling kenal karena dulu adalah teman
satu sekolah dari SMP sampai SMA, namun dulu mereka tidak akrab bahkan tidak
pernah satu kelas. Inez hanya tahu suaminya adalah anak yang pintar dipelajaran
Fisika karena beberapa kali semasa sekolah suaminya menyabet juara olimpiade
maupun juara lomba lainnya yang berhubungan dengan Fisika dan Astronomi. Bahkan
sekarang pun di rumah mereka, mereka memiliki sebuah teleskop bintang.
Sudah beberapa hari ini sepertinya suaminya memilih
terus mengambil jatah terbangnya, sengaja untuk menghindari Inez. Baru
dirasakan Inez rumah terasa sepi. Ingin sekali dia meminta maaf namun setiap
mengingat kelakuan suaminya hati Inez terasa nyeri. Yang makin membuatnya
kecewa tak sedikitpun suaminya berusaha untuk menjelaskan tentang hubungan
dirinya dan mantan pacarnya.
Inez berbaring dalam kamarnya yang dingin,
meringkuk sambil memeluk album foto. Malam semakin beranjak, sunyi dan dingin.
Tanpa terasa perlahan air mata jatuh dari pelupuk matanya. Dan ditemani angin
malam yang mengusik ribut Inez terisak pelan.
Zaky
“Mari kapten dan
mas Zaky, penumpang udah keluar semua,” ucap pramugari kepala setelah tak
berapa lama mereka landing. Setelah
petugas kembali memeriksa kondisi pesawat sekali lagi, seluruh kru turun dan
siap untuk dijemput guna menuju hotel untuk beristirahat.
Kota Surabaya
gemerlap dengan lampu jalanannya. Zaky memandang jalanan malam dari balik kaca
mobil yang merayap dengan setengah termenung. Pikirannya melayang ke rumah. Ke
istrinya yang sudah beberapa hari ini mendiamkannya. Sedang apa wanitanya itu?
Sudah tidurkah atau masih di depan tv menunggu telepon darinya.
Semuanya bermula
dari pertemuan tidak sengaja dirinya dengan seorang teman lamanya, okeh teman
lama yang dulu pernah amat sangat dekat alias pacarnya dulu semasa sekolah.
Kebetulan temannya itu sekarang tinggal dan bekerja di Bandung dan sedang ada
dinas ke Tangerang untuk waktu beberapa lama.
Mereka memang
kerap bertemu apalagi sang teman sering meminta untuk ditunjukkan tempat-tempat
yang dia ingin kunjungi di daerah Banten namun belum pernah ke sana mengingat
sang teman yang berprofesi sebagai dokter. Zaky menemaninya dalam kapasitas
murni seorang teman lama dan tidak pernah terpikir yang aneh-aneh, toh dia
sudah punya isteri yang menurutnya jauh lebih baik. Walaupun isterinya bukan
seorang dokter dengan profesi mentereng, tapi baginya memiliki isterinya adalah
sebuah kebanggaan. Keceriaan isterinya dan sifat humorisnya dengan
celetukan-celetukan yang spontan selalu mampu untuk membuatnya tersenyum.
Makanya dia tak pernah harus merasa untuk menjelaskan tentang teman lamanya,
toh isterinya sudah tahu teman lamanya ini siapa, dulu mereka sama-sama teman
sekolah.
Tapi Zaky lupa
bahwa wanita punya pemikiran berbeda, ketika sore di hari libur dinasnya teman
lamanya menelepon dan tidak sengaja dijawab oleh isterinya. Wanita itu marah
dan kesal. Mereka ribut besar dan isterinya semakin marah saat esoknya dirinya
tetap memutuskan pergi menemui teman lamanya dan bersedia untuk mengantarkan
teman lamanya ke sebuah rumah sakit di daerah Banten yang agak jauh dari kota.
Zaky sudah menjelaskan bahwa ia bersedia karena sudah terlanjur berjanji dan
tidak enak untuk membatalkannya apalagi teman mereka itu sendirian di
Tangerang, tapi isterinya hanya diam seribu bahasa sebagai bentuk protes hingga
saat ini.
Zaky menghela
nafas, mungkin karena desahannya terlalu keras seorang pramugari junior
menegurnya. “Mas Zaky kenapa?? Tumben menghela nafas begitu hehehe.”
Zaky menoleh dan
tersenyum, “Gak ada apa-apa. Cuma macetnya lumayan juga, udah pengen tidur
nih,” selorohnya diikutin kata setuju dari yang lain.
“Kamu belum ambil
libur seminggu ini Zak?” tanya sang kapten.
“Belum, masih ada
beberapa lagi gantiin pak Riza yang ada urusan keluarga,” jawabnya. Para wanita
di dalam mobil itu sudah asyik mengobrol sendiri.
“Jangan terlalu
diforsir. Sehabis jadwal ini mintalah libur sehari atau dua hari,” nasihat
partnernya.
“Baik kapten,”
Zaky tersenyum. Kembali dia tenggelam dalam pikirannya. Sebuah pesan singkat
masuk dari teman lamanya yang menanyakan keberadaan dan kabarnya. Tapi Zaky
sedang malas untuk membalasnya, bukan dia yang ingin dia ketahui kabarnya, tapi
wanitanya yang sepertinya masih terlalu marah untuk menghubunginya.
Dia rindu tapi di
satu sisi dia juga marah pada isterinya, bagaimana bisa isterinya menuduhnya
berselingkuh dan yang lebih membuatnya kecewa tuduhan isterinya pada dirinya
yang mau menikahinya hanya karena kasihan dan takut menolak permintaan orang
tua mereka. Tak pernah terpikir sedikitpun di dalam kepalanya tentang semua
tuduhan isterinya.
Mereka memang
dijodohkan oleh orang tua mereka yang ternyata adalah teman lama satu profesi.
Dan begitu tahu siapa yang hendak ditawarkan kedua orangtuanya padanya, Zaky
bersedia berkenalan. Dan dia masih ingat bagaimana raut wajah isterinya dulu
saat mereka pertama kali bertemu setelah sekian lama tidak bertemu selepas
kelulusan sekolah. Dengan senang hati Zaky meminang isterinya lalu sekarang
bagaimana bisa dia dituduh macam-macam. Ego laki-lakinya tidak terima tanpa perlu
diusir Zaky sendiri memutuskan untuk tidur di kamar satunya yang ada di rumah
mereka.
Tak tahan dengan
kondisi perang dingin di rumah Zaky menerima permintaan tolong rekan kerjanya
untuk bisa menggantikan tugasnya karena ada urusan keluarga mendadak. Jadilah
sudah hampir satu minggu ini Zaky terbang nonstop. Berharap tidak harus tidur
sendirian di rumah dengan tersiksa.
Sekali lagi
pikirannya melayang ke rumah. Rumah tempat isterinya biasa menyambutnya kala
pulang dinas. Rumah tempat mereka menghabiskan waktu seharian dengan nonton
film secara marathon. Rumah tempat dia menikmati masakan isterinya. Rumah
tempatnya mendengar omelan isterinya. Zaky rindu, rindu sekali. Tapi ego
laki-lakinya merasa terluka dan dia memilih untuk tidak mau mengalah.
Inez
Sore menjelang
maghrib berkumandang Inez berlari begitu turun dari taksi. Segera dia menuju
bagian informasi, begitu mendapat keterangan yang dia cari segera dia menuju
ruang IGD rumah sakit bandara itu. Jantungnya memburu membuat nafasnya turun
naik sarat kecemasan. Matanya liar mengamati ruang IGD yang lumayan ramai,
langkahnya langsung berderap menuju sebuah bangsal yang tengah dikerumuni oleh
orang-orang dengan seragam khas sebuah maskapai penerbangan.
“Ya ampun Zak!!
Kamu kenapa?? Apa tifus kamu kambuh?? Kamu makan gak teratur pastinya. Sok
kebanyakan kerja,” Inez langsung merepet begitu mendapati suaminya terbaring,
dia tidak peduli dengan keadaan sekitar. Tidak peduli dengan kerumunan
teman-teman suaminya, tidak peduli dengan dokter dan suster yang tengah
memasangkan infus ke pergelangan tangan suaminya. Inez spontan meraba dahi
suaminya. “Tuh kan panas,” gerutunya. Beberapa pramugari yang spontan
menyingikr begitu mendengar suaranya tersenyum geli. Inez langsung sadar dan
salah tingkah begitu dokter angkat bicara dan menjelaskan perihal kondisi
suaminya.
“Bisa jadi memang
tifusnya kambuh bu, tapi untuk tahu lebih lengkapnya kita tetap akan melakukan
pemeriksaan darah. Nanti suster akan kembali untuk mengambil sampel darah pak
Zaky. Untuk sementara biarkan pak Zaky berisitirahat.” Dokter itu tersenyum
diikuti anggukan dari Inez. Begitu dokter pergi satu persatu kolega Zaky mohon
pamit karena hari sudah gelap. Inez melirik Zaky yang tengah memejamkan mata di
atas brankar IGD. Selang infus sudah terpasang. Inez duduk di bangku dekat
tempat tidur. Ada koper kulit hitam dan sebuah tas di dekat tempat duduknya.
Tas dinas Zaky.
Inez langsung
turun dari ruang kerjanya dan menyetop taksi pertama yang dilihatnya begitu
mendapat telepon dari kantor suaminya. Mereka memberi kabar bahwa suaminya
masuk rumah sakit dan langsung drop begitu menyelesaikan penerbangan kembali ke
Jakarta dari Denpasar.
Dirabanya sekali
lagi dahi suaminya, masih panas. Spontan suaminya perlahan membuka mata begitu
tangan Inez menyentuh keningnya. Mereka saling memandang, ada rasa canggung
yang menggantung. Inez menurunkan tangannya perlahan sambil tersenyum tipis.
Didengarnya suaminya berdehem pelan lalu membalikkan badannya memunggungi Inez.
Ada yang mencelos dihatinya dan Inez memilih duduk kembali.
Tak berapa lama
suster datang dan mulai melakukan tugasnya mengambil sampel darah suaminya.
Inez bertanya berapa lama hasil tes darah akan keluar dan apakah suaminya butuh
untuk rawat inap atau bisa pulang. Suster memintanya menemui dokter untuk
berkonsultasi.
Dokter
menyarankan agar suaminya istirahat di rumah sakit dulu sembari menunggu hasil
tes darah dan meminta Inez untuk segera mendaftarkan suaminya ke bagian
administrasi agar bisa mendapat kamar. Selesai semua urusan administrasi rumah
sakit Inez kembali ke ruang IGD dan mendapati suaminya sudah terpejam. Inez
merapikan selimut dan kaget ketika mendengar suaminya bersuara karena dia
mengira Zaky sudah tertidur.
“Kamu tahu aku
pernah sakit tifus??” tanya Zaky dengan mata masih terpejam.
“Tahulah. Dulu
kan jaman sekolah kita SMP kamu pernah sakit itu dan gak masuk sampai hampir
dua minggu. Banyak yang bilang tifus itu bisa kambuh kalo badan drop.” Inez
duduk di bangku dan mengeluarkan ponselnya.
“Gak usah hubungi
mama. Aku cuma kecapekan,” sergah suaminya sambil menatapnya. Inez balik
memandangnya dan memasukkan kembali ponselnya dan mengangguk tanda mengerti.
Mereka kembali hening.
Karena Zaky
memilih berbalik memunggunginya Inez memutar kursinya dan duduk menghadap meja
dokter jaga yang tengah kosong, mereka saling memunggungi kini. Ruang IGD itu
perlahan sepi hanya ada dua pasien lain yang mungkin juga tengah menunggu kamar
yang siap sama seperti mereka.
Suara derak
tempat tidur terdengar dibelakang Inez, tapi Inez malas untuk sekadar berbalik.
Lalu perlahan sebuah tangan merangkulnya dari dibelakang. Inez terhenyak. Suara
nafas berat suaminya terdengar di belakang kepalanya. Rangkulan hangat yang
ternyata amat sangat ia rindukan.
“Maaf,” suara
Zaky terdengar samar. “Maaf karena tidak menceritakan soal Citra. Aku benci
kita berjauhan, aku ingin kita baikan lagi. Please!!”. Inez masih tidak
bergeming.
“Apa artinya aku
buat kamu Zak??” tanya Inez akhirnya masih dalam posisi yang sama. Akhirnya ia
memiliki keberanian untuk menanyakan pertanyaan yang membebaninya selama ini.
Awalnya ia takut menanyakannya karena takut dengan jawabannya, tapi sekarang ia
ingin siap akan jawaban apapun yang diberikan Zaky. Kalau memang ia terpilih
karena sebuah keterpaksaan ia ingin mundur dengan perasaan lega, bukan bertahan
dengan perasaan bertanya-tanya.
“Rumah. Kamu
rumahku. Tempat aku selalu ingin kembali. Tempat aku disambut. Tempat aku
menemukan kedamaian. Tempat aku menemukan diriku sendiri. Tempat aku
beristirahat. Kamu rumah aku Nez.”
Dadanya serasa membengkak oleh rasa bahagia,
jawaban Zaky terlalu diluar perkiraannya. Lalu dia berdiri dan berbalik
memandang Zaky yang tampak terkejut.
“Kamu masih kuat
duduk kan??” tanya Inez. Zaky mengangguk pelan dengan wajah bingung. “Aku mau
dipeluk,” ucapnya manja. “Tapi dipeluknya sambil kamu duduk,” lanjutnya. Senyum
terkembang di wajah Zaky. Laki-laki itu berusaha duduk walaupu kepalanya terasa
nyut-nyutan. Begitu suaminya duduk, Inez spontan memeluknya. Merangkul lehernya
dengan sayang.
“Aku kangen banget,”
bisiknya pelan.
Zaky tersenyum
dan mengangguk tanda setuju karena ia pun merasakan hal yang sama.
“Jadi kita
baikan?” tanya Inez masih belum mau melepaskan pelukannya.
Sekali lagi Zaky
mengangguk.
Zaky
Jadi dia tahu
kalau aku pernah sakit tifus, batin Zaky. Jawaban Inez terlalu mengejutkannya.
Walaupun dulu mereka tidak pernah akrab ternyata Inez tahu dan masih ingat.
Mendapati wanita
itu duduk membelakanginya Zaky merasa kecewa. Dia ingin Inez menatapnya dengan
sorot mata hangat yang selama ini Zaky terima. Kalau melihat Inez duduk seperti
ini, dimana Zaky hanya bisa memandangi punggung dan rambutnya, dia merasa Inez
seperti akan hendak meninggalkannya.
Dan sesungguhnya
dia amat senang ketika melihat Inez masuk ke ruang IGD dan berbicara tanpa henti
seperti itu. Gosh!! Ternyata dia
memang amat merindukan wanita ini. Dia tidak ingin berjauhan. Diabaikan oleh
Inez, tidak dibuatkan sarapan dan tidak disambut seperti biasa rasanya begitu
menyiksa.
Dia rindu
sentuhan Inez pada dirinya. Bahkan sentuha kecil tangan Inez pada dahinya
seperti barusan adalah jawaban dari betapa dirinya merindukan Inez.
Betul, Inez
adalah rumahnya. Pusatnya. Inez adalah tempat ia ingin selalu berpulang dan
menemukan kedamaian sama seperti rumah. Dan ia ingin mereka berbaikan. Awalnya
ia kaget luar biasa saat Inez melepaskan rangkulan lengannya dan berdiri
dihadapannya. Namun kemudian ia tersenyum tipis dan membumbung tinggi saat
mendengar permintaan Inez.
Zaky menyesap
dalam-dalam aroma yang selama ini sungguh familiar dan sudah beberapa hari ini
menghilang. Inez memeluknya erat. Ajaibnya kepalanya yang tadi berasa pening
luar biasa dan badannya yang seperti diganduli barbel seperti terangkat. Ringan
dan melegakan.
Akh Inez, sampai
kapanpun aku ingin selalu memperjuangkanmu. Zaky mendekap erat Inez. Ini semua
tentang kita. Tidak akan ada orang lain. Tentang aku dan kamu. Selalu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar